theIndonesian – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) melaporkan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (19/03).
Laporan tersebut berkaitan dengan Keputusan pencabutan izin tambang oleh Menteri Bahlil yang diduga penuh koruptif, menguntungkan diri, kelompok dan orang lain, serta merugikan perekonomian negara.
Dikutip dari keterangan resmi Jatam, disebutkan bahwa Menteri Bahlil telah mencabut ribuan izin tambang di Indonesia. Pencabutan itu dilakukan setelah Menteri Bahlil mendapat kuasa dan mandat dari Presiden Jokowi sejak 2021.
Presiden Jokowi menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi, di mana Bahlil ditunjuk sebagai ketua Satuan Tugas (Satgas), untuk memastikan realisasi investasi dan menyelesaikan masalah perizinan, serta menelusuri izin pertambangan dan perkebunan yang tak produktif.
Pada 2022, Presiden Jokowi kembali meneken Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Satgas Penataan Lahan dan Penataan Investasi. Melalui Keppres ini, Menteri Bahlil diberi kuasa untuk mencabut izin tambang, hak guna usaha, dan konsesi Kawasan hutan, serta dimungkinkan untuk memberikan kemudahan kepada organisasi kemasyarakatan, koperasi, dan lain-lain untuk mendapatkan lahan/konsesi.
Puncaknya pada Oktober 2023, Presiden Jokowi kembali keluarkan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi. Melalui regulasi ini, Menteri Bahlil diberikan wewenang untuk mencabut izin tambang, perkebunan, dan konsesi Kawasan hutan, serta bisa memberikan izin pemanfaatan lahan untuk ormas, koperasi, dan lain-lain.
Rilis Jatam, organisasi tersebut menduga langkah Jokowi yang memberikan wewenang besar kepada Bahlil untuk mencabut ribuan izin tambang sesungguhnya penuh dengan koruptif. Indikasi korupsi itu diperkuat dengan adanya dugaan atau rumor bahwa Menteri Bahlil yang mematok tarif atau fee kepada sejumlah perusahaan yang ingin izinnya dipulihkan.
Jatam kemudian melaporkan Menteri Bahlil kepada KPK. Tujuannya, upaya untuk mengungkap dan mengusut dugaan tindak pidana korupsi itu. Organisasi itu memandang, dugaan tindak pidana korupsi oleh Menteri Bahlil itu merupakan perbuatan melawan hukum, memperkaya diri orang atau badan lain dan merugikan keuangan/perekonomian negara.
Selain itu, dugaan tindak pidana korupsi itu juga diduga telah menyalahgunakan kewenangan karena jabatan atau kedudukan yang pada akhirnya dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
Baca juga: Menelisik Jejak Tressee Kainama di Lingkaran Bisnis Tambang Bahlil Lahadalia
Adapun delik aduan atas dugaan tindak pinda korupsi yang dilakukan Menteri Bahlil itu, antara lain delik gratifikasi, suap-menyuap, dan pemerasan. Tipologi delik suap dan pemerasan akan terjadi, jika terjadi transaksi atau deal antara kedua belah pihak.
Sedangkan delik gratifikasi adalah pemberian yang tidak memiliki unsur janji, tetapi gratifikasi juga dapat disebut suap jika pihak yang bersangkutan memiliki hubungan dengan jabatan yang berlawanan dengan kewajiban dan hak yang bersangkutan. Ketiga delik ini, termasuk setelah mempelajari langkah dan kebijakan Menteri Bahlil kuat dugaan telah terpenuhi.
Jatam berharap dan mendesak KPK, agar bekerja dengan cepat pasca-pelaporan ini dilakukan, guna menyambungkan fakta-fakta yang sudah terungkap ke publik sehingga dapat melihat gambar utuh dari puzzle tersebut.
Bubarkan Satgas dan Cabut Mandat
Terpisah, anggota Komisi VII DPR Mulyanto pada Rabu (20/3) mendesak Presiden Jokowi segera mencabut mandat dan membubarkan Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi, terutama yang dipimpin Menteri Investasi Bahlil Lahadalia.
Mulyanto menegaskan, “Menteri investasi seharusnya tidak diberikan wewenang untuk mencabut ribuan IUP karena hal tersebut telah diatur dengan jelas oleh UU Minerba. Mandat untuk Satgas tersebut bukanlah bentuk implementasi tata kelola pemerintahan yang baik. Hal itu jelas-jelas menyalahi peraturan perundangan yang ada dan menimbulkan kebisingan politik yang tidak perlu.”
Mulyanto kembali komentar, “Mencabut IUP itu bukan kewenangan Satgas atau menteri Investasi/kepala BKPM, apalagi kalau dasarnya hanya selembar keputusan presiden.”
Dia menerangkan, sesuai dengan pasal 119 UU No.3/2020 tentang Pertambangan Minerba, yang berwenang mencabut izin usaha pertambangan (IUP) adalah menteri yang membidangi pertambangan minerba. “Kalau Keppres menyalahi UU di atasnya maka itu namanya bad governance. Praktik seperti ini harus dihapuskan,” tegas Mulyanto.
Mulyanto menilai, saat ada rapat kerja bersama menteri ESDM pada Selasa (19/3), semakin jelas bahwa kewenangan mencabut IUP berada di tangan menteri ESDM. Terungkap ada sebanyak 2.051 IUP yang dicabut. Pencabutan terhadap IUP dalam daftar melalui SK yang dikeluarkan oleh menteri Investasi/kepala BKPM.
The Indonesian