theIndonesian – Masyarakat Indonesia, khususnya yang tinggal di Pulau Jawa, mengetahui kisah atau legenda Ken Arok. Ia dicap sebagai pemuda tanpa etika yang haus akan kekuasaan. Memaksakan diri untuk berkuasa sebelum waktunya dengan cara merebut keris Mpu Gandring dan membunuhnya. Kelak Ken Arok akan binasa oleh pusaka tersebut hingga tujuh keturunannya
Sebagian mengetahui kisah bahwa Ken Arok membunuh penguasa Kadipaten Tumapel—sekarang Singosari, Malang—bernama Tunggul Ametung untuk mempersunting istrinya yang bernama Ken Dedes.
Konon, Ken Dedes kelak akan menurunkan raja-raja yang akan berkuasa di tanah Jawa. Sejumlah literasi menyebutkan Ken Arok, ada pula yang menyebut Ken Angrok atau Sri Ranggah Rajasa lahir di timur Gunung Kawi pada 1182.
Kisah Ken Arok terkenal karena dia rela melakukan apa saja untuk meraih kekuasaannya, bahkan meskipun harus berkhianat, melanggar semua norma dan etika, hingga membunuh sekali pun.
Ken Arok merupakan pendiri dari Wangsa Rajasa dan Kerajaan Tumapel yang lebih dikenal dengan nama Kerajaan Singhasari. Ia memerintah sebagai raja pertama bergelar Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi pada 1222.
Ayah Ken Arok bernama Arya Gajah Para, seorang Wedana Blitar era kerajaan Kediri. Sementara Arya Gajah Para merupakan keturunan Arya Wayahan Dalem Manyeneng dari Kediri, Jawa Timur berdasarkan catatan Babad Arya Gajahpara.
Berdasarkan Serat Pararaton, Ken Arok (disebut pula Ken Aŋgrok) digambarkan juga sebagai keturunan Dewa Brahma. Hal ini secara simbolis menggambarkan perbedaan status sosial kognitif Ken Arok di kemudian hari dengan anak-anak seusianya pada saat itu.
Pararaton (dari bahasa Jawa: ‘para ratu’, yang berarti ‘para penguasa’) adalah sebuah kitab naskah sastra Jawa pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, berupa 32 halaman seukuran folio yang terdiri dari 1.126 baris.
Isinya adalah sejarah raja-raja Singhasari dan Majapahit di Jawa Timur. Kitab ini juga dikenal dengan nama Pustaka Raja, yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti ‘kitab raja-raja’. Tidak terdapat catatan yang menunjukkan siapa penulis Pararaton.
Pararaton diawali dengan cerita mengenai inkarnasi Ken Arok, yaitu tokoh pendiri kerajaan Singhasari (1222-1292). Selanjutnya hampir setengah kitab membahas bagaimana Ken Arok meniti perjalanan hidupnya, sampai ia menjadi raja pada 1222. Penggambaran pada naskah bagian ini cenderung bersifat mitologis.
Serat Pararaton menceritakan, Ken Arok merupakan putra Gajah Para yang berasal dari Campara (Bacem, Sutojayan, Blitar) dengan seorang wanita asal Desa Pangkur (Jiwut, Nglegok, Blitar) bernama Ken Ndok.
Gajah adalah nama jabatan setara wedana (pembantu adipati) pada era kerajaan Kediri. Ayah Ken Arok meninggal dunia saat ia masih dalam kandungan. Saat ibunya dibawa ke Kediri, bayi Ken Arok dibuang di sebuah pemakaman, hingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembong.
Ken Arok tumbuh menjadi seorang pria beranjak remaja bersifat begundal yang lihai mencuri dan gemar berjudi. Lembong pun terbebani akan tingkah dan perilaku Ken Arok, serta banyak memiliki utang akibat kelakuan Ken Arok.
Lembong lalu mengusir Ken Arok. Ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi dari Desa Karuman (sekarang Garum, Blitar) yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan.
Namun, Ken Arok tidak betah hidup menjadi anak angkat dari Bango Samparan yang beristri Genukbuntu. Selain beristrikan Genukbuntu, Bango Samparan juga memiliki istri muda bernama Thirthaja.
Pernikahan Bango Samparan dengan Thirthaja menghasilkan lima orang anak, yaitu Panji Bawuk, Panji Kuncang, Panji Kunal, Panji Kenengkung dan yang bungsu wanita bernama Cucupuranti.
Ken Arok lalu berkawan dengan Tita, anak kepala Desa Siganggeng (sekarang Senggreng, Sumberpucung, Malang). Keduanya lalu menjadi pasangan perampok yang ditakuti di seluruh kawasan Kerajaan Kediri.
***
Kisah berlanjut. Ken Arok lalu bertemu dengan seorang Brahmana dari India bernama Lohgawe, yang datang ke tanah Jawa mencari titisan Wisnu. Berdasarkan ciri-ciri yang ditemukan, Lohgawe yakin kalau Ken Arok adalah orang yang dicarinya.
Berdasarkan Serat Pararaton, Ken Arok digambarkan juga sebagai keturunan Dewa Brahma. Hal ini secara simbolis menggambarkan perbedaan status sosial kognitif Ken Arok di kemudian hari dengan anak-anak seusianya pada saat itu.
Kisah bergulir. Lohgawe lalu membawa Ken Arok ke Kadipaten Tumapel (sekarang Singosari, Malang), yaitu salah satu daerah bawahan Kerajaan Kadiri, yang saat itu di pimpin oleh seorang akuwu (setara camat zaman sekarang) bernama Tunggul Ametung.
Melalui bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung. Air susu dibalas air tuba, itu gambaran terhadap Ken Arok. Kebaikan Tunggul Ametung dibalas dengan bentuk pengkhianatan oleh Ken Arok.
Ken Arok tertarik pada Ken Dedes, istri Tunggul Ametung yang sangat cantik. Ramalan Lohgawe, Ken Dedes akan melahirkan keturunan raja-raja di tanah Jawa. Hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk menyingkirkan Tunggul Ametung dan merebut Ken Dedes, meskipun tidak direstui Lohgawe.
Guna memenuhi hasrat kuasanya, Ken Arok membutuhkan sebuah senjata yang ampuh sakti mandraguna yang akan digunakan untuk membunuh Tunggul Ametung. Kala itu, Tunggul Ametung terkenal akan kesaktiannya pula.
Cerita berlanjut. Ayah angkat Ken Arok, Bango Samparan, kemudian memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring, seorang ahli pembuat pusaka ampuh asal Desa Lulumbang (sekarang Plumbangan, Doko, Blitar).
Ken Arok meminta kepada Mpu Gandring untuk dibuatkan sebuah senjata, yaitu sebilah keris pusaka dalam waktu satu tahun. Mpu Gandring pun menyanggupinya. Namun, hasrat kuasa Ken Arok tak bisa menahan waktu terlalu lama.
Ken Arok yang tidak sabar, lima bulan kemudian datang mengambil pesanan kerisnya. Permintaan tersebut tentu saja ditolak oleh Mpu Gandring, bahkan Mpu Gandring menolak memberikan keris yang belum sempurna tersebut.
Libido berkuasa yang memuncak di benak Ken Arok tak kuasa dibendung. Ken Arok lalu merebut keris tersebut dan menusukkannya kepada Mpu Gandring sampai tewas. Sesaat sebelum ajal menjemput, dalam keadaan sekarat Mpu Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh tujuh orang penguasa, termasuk Ken Arok sendiri dan keturunannya.
***
Ken Arok lalu kembali ke Tumapel untuk menjalankan siasat jahatnya melenyapkan dan merebut kekuasaan Tunggul Ametung. Awalnya, Ken Arok memberikan keris pusakanya kepada Kebo Hijo, rekan sesama pengawal.
Kebo Hijo yang tidak mengetahui rencana jahat Ken Arok lalu dengan bangga memamerkan keris Mpu Gandring sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui, sehingga semua orang mengira bahwa keris itu adalah milik Kebo Hijo. Ia termakan siasat Ken Arok.
Malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Hijo yang sedang mabuk arak. Ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya. Namun, Ken Dedes pun mendukung rencana pembunuhan itu, karena dirinya menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.
Esok harinya, Kebo Hijo ditangkap karena disangkakan bahwa ia yang membunuh Tunggul Ametung. Kebo Hijo lalu dijatuhi hukuman mati karena keris Mpu Gandring yang di anggap miliknya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung.
Setelah Tunggul Ametung mati, Ken Arok lalu mengangkat dirinya sebagai akuwu baru Tumapel dan menikahi Ken Dedes. Tidak seorang pun yang berani menentang keputusan itu. Ketika menikah dengan Ken Arok, Ken Dedes saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung yang kelak diberi nama Anusapati, atau disebut juga Panji Anengah.
***
Pada 1221, terjadi perselisihan antara Raja Kediri Kertajaya dengan para brahmana. Para brahmana itu memilih pindah ke Tumapel meminta perlindungan Ken Arok karena diserang oleh Kertajaya.
Serasa mendapat angin segar, karena adanya dukungan dari kaum brahmana, Ken Arok lalu melakukan pemberontakan dan mempersiapkan penyerangan terhadap Kerajaan Kediri. Ken Arok menyatakan Kadipaten Tumapel sebagai ‘kerajaan’ merdeka yang lepas dari Kerajaan Kediri. Sebagai raja pertama Tumapel ia bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.
Raja Kertajaya (dalam Pararaton disebut Dhandhang Gendis) dengan lantang menyatakan ketidaktakutannya terhadap serangan Tumapel yang dipimpin Ken Arok. Kertajaya menegaskan, dirinya hanya dapat dikalahkan oleh Bhatara Siwa. Mendengar hal itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa (= Bhatara Guru) dan siap berperang melawan Kertajaya.
Akhirnya, pada 1222, Ken Arok memimpin pasukan Tumapel menyerang Kediri. Puncak peperangan antara Kediri dan Tumapel terjadi di dekat Desa Genter (Ganter), wilayah timur Kediri.
Pertempuran tersebut mengisahkan, pihak Kediri kalah dan Kertajaya dikabarkan melarikan diri naik ke alam dewa, yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk mati. Kemenangan yang menentukan tersebut menyebabkan runtuhnya Kerajaan Kediri pimpinan Kertajaya dan mengukuhkan kekuasaan Ken Arok di Jawa Timur, serta dimulainya Kerajaan Tumapel, dan pendirian pemerintahan Dinasti Rajasa.
***
Pernikahan Ken Arok dengan Ken Dedes, menurut Pararaton, melahirkan empat orang anak, yaitu Mahisa Wong Ateleng (dikenal juga dengan gelar Bhatara Parameswara), Apanji Saprang, Agnibhaya (identik dengan Guningbhaya), dan Dewi Rumbu.
Ken Arok juga memiliki selir bernama Ken Umang, yang telah memberinya empat orang anak pula, yaitu Tohjaya, Panji Sudhatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi. Selain itu, Ken Dedes juga memiliki putra dari Tunggul Ametung (versi Pararaton) yang bernama Anusapati.
Semua anak Ken Arok berjumlah sembilan orang, terdiri atas satu anak tiri laki-laki, enam anak kandung laki-laki dan dua anak kandung wanita. Setelah Mahisa Wong Ateleng beranjak dewasa, Ken Arok mengangkat Mahisa Wong Ateleng sebagai penguasa Kediri.
Hal ini menyebabkan Anusapati merasa heran pada sikap Ken Arok yang seolah menganaktirikan dirinya, padahal ia merasa sebagai putra tertua Ken Arok. Pada 1227, setelah mendesak ibunya (Ken Dedes), akhirnya Anusapati mengetahui kalau dirinya memang anak tiri. Bahkan, ia juga mengetahui kalau ayah kandungnya yaitu Tunggul Ametung telah mati dibunuh oleh Ken Arok.
Dendam kesumat pun membara. Setelah Anusapati berhasil mendapatkan Keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes, ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari Desa Batil untuk membunuh Ken Arok.
Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan. Kemudian, Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak dan mengangkat dirinya menjadi raja Tumapel menggantikan Ken Arok.
Peristiwa kematian Ken Arok dalam naskah Pararaton terjadi pada 1247. Adanya peristiwa pembunuhan terhadap Sri Rajasa dalam Pararaton diperkuat oleh prasasti Mula Malurung (1255). Disebutkan dalam prasasti itu, nama pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang meninggal di atas takhta kencana. Berita dalam prasasti ini menunjukkan kalau kematian Sri Rajasa memang tidak sewajarnya.
Ada versi lain terkait kisah Ken Arok. Uniknya, nama Ken Arok ternyata tidak terdapat dalam Nagarakretagama (1365). Naskah tersebut hanya mengisahkan bahwa pendiri Kerajaan Tumapel merupakan putra Bhatara Girinatha yang lahir tanpa ibu pada 1182.
Pada 1222, Sang Girinathaputra mengalahkan Kertajaya, raja Kediri. Ia kemudian menjadi raja pertama di Tumapel bergelar Sri Ranggah Rajasa Girinathaputra (kemungkinan nama Anumerta). Ibu kota kerajaannya disebut Kutaraja (pada 1254 diganti menjadi Singasari oleh Wisnuwardhana).
Sri Ranggah Rajasa meninggal dunia pada 1227 (selisih 20 tahun dibandingkan berita dalam Pararaton). Untuk memuliakan arwahnya didirikan candi di Kagenengan, di mana ia dipuja sebagai Siwa, dan di Usana, di mana ia dipuja sebagai Buddha.
Kematian Sang Rajasa dalam Nagarakretagama terkesan wajar tanpa pembunuhan. Hal ini dapat dimaklumi karena naskah tersebut merupakan sastra pujian untuk keluarga besar Hayam Wuruk, sehingga peristiwa pembunuhan terhadap leluhur raja-raja Majapahit dianggap aib.
Berdasarkan Negarakertagama, telah didirikan candi pendarmaan Ken Arok di Genengan sebagai Siwa dan di Usana sebagai Budha. Candi pendarmaan ini dipercaya berada di Situs Gunung Katu (sebagai Siwa) dan Situs Sokan (sebagai Budha) yang terletak di sebelah timur Gunung Kawi dan masuk ke dalam wilayah Wagir, Kabupaten Malang.
***
Kisah Ken Arok telah menjadi legenda di mana demi sebuah kekuasaaan, seseorang rela melakukan apa pun asalkan tujuannya tercapai. Nama asli Ken Arok atau Sri Rajasa tidak diketahui. Nama Ken Arok hanya dijumpai dalam Pararaton, sehingga diduga kuat merupakan nama ciptaan si pengarang sebagai nama masa muda dari Sri Rajasa.
Ken bisa diartikan ‘putra atau putri pejabat’. Sedangkan nama Arok diduga berasal dari kata ‘rok’ yang artinya ‘rampas’. Jadi nama Arok bisa juga diartikan ‘perampas’. Tokoh Ken Arok memang dikisahkan sebagai anak pejabat yang suka merampas dan gemar berkelahi. Sedangkan Sri artinya ‘bangsawan’ (raja atau ratu), nama Rajasa dalam bahasa Sansekerta diartikan dengan ‘merebut’.
Selain dijumpai dalam naskah sastra Pararaton dan Negarakertagama, juga dijumpai dalam Prasasti Balawi yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya, pendiri Majapahit pada 1305.
Prasasti itu bercerita, Raden Wijaya mengaku sebagai anggota keluarga Wangsa Rajasa dan memang adalah keturunan Rajasa. Nama Sri Rajasa adalah bentuk halus dari nama Ken Arok.
Pengarang Pararaton juga menciptakan karakter tokoh Ken Arok sebagai masa muda Sri Rajasa dengan penuh keistimewaan. Ken Arok diceritakan sebagai putra Brahma, titisan Wisnu, serta penjelmaan Siwa, sehingga seolah-olah karakter dan kekuatan Trimurti berkumpul dalam dirinya.
Pertanyaan penutup adalah, apakah di era modern ini masih ada manusia berperilaku seperti Ken Arok yang menghalalkan semua cara demi ambisi kekuasaannya? Sejarah mencatat Ken Arok adalah tokoh penuh kontroversi. Ia tidak peduli semua norma dan etika, hukum, dan sebagainya. Ia pun tidak pernah mendengar semua masukan kebaikan untuk dirinya. Ken Arok hanya berpikir dan berpikir bagaimana kekuasaan berada digenggamannya.
(TheIndonesian)