theIndonesian – Indonesia yang diwakili PT Pertamina (Persero) harus bersiap mencari investor baru untuk pengembangan kilang minyak di Tuban, Jawa Timur dan pengembangan blok migas Blok Tuna di Laut Natuna Utara.
Pasalnya, Rusia sebagai salah satu investor di kedua proyek tersebut saat ini belum memberikan kejelasan kapan proyek itu mulai akan dikerjakan, dengan alasan Rusia masih terlibat konflik dengan Ukraina sejak Februari 2022.
Seperti diketahui, Rusia memiliki dua proyek hulu migas besar di Indonesia, yaitu PJSC Rosneft Oil Company di proyek Grass Root Refinery (GRR) Kilang Tuban dan JSC Zarubezhneft, BUMN migas Rusia, di Blok Tuna.

Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal, Rabu (27/3), dilansir dari Bloomberg Technoz, menjelaskan, pencarian investor baru harus tetap dilaksanakan, meskipun Indonesia saat ini kerap meminta kepastian kepada Rusia.
Moshe bilang, “Kalau dari Rusia resmi mundur, kita harus menghargai itu. Harus ada investor lain yang masuk menggantikan bahwa proyek harus terus dijalankan, saya lihat memang potensinya luar biasa besar.”
Dia kembali komentar, Indonesia harus proaktif dalam mencari kejelasan. Apalagi, banyak investor yang selama ini hanya berdiam dan tidak memberikan kejelasan apakah mereka benar-benar akan melanjutkan proyek hulu migas di Tanah Air atau memutuskan untuk hengkang. Bila Indonesia tidak mendapatkan kejelasan, maka proyek itu maka berpotensi bakal terus menggantung.
Moshe juga memberi gambaran lain terkait konflik antara Rusia dan Ukraina, yang menyebabkan adanya sanksi dari negara-negara Barat kepada Rusia. Tapi hal tersebut semestinya membuat Indonesia khawatir dalam menggandeng Negeri Beruang Merah tersebut.

Terpisah, sebelumnya Menteri ESDM Arifin Tasrif pernah berkata bahwa pihaknya terus mengupayakan untuk menjaga investasi Rosneft Singapore Pte Ltd di proyek Kilang Tuban yang berlokasi di Jawa Timur.
Namun, Arifin mengaku kesulitan dalam menjaga investasi Rusia tersebut di tengah sanksi dari negara-negara Barat imbas invasi Kremlin terhadap Ukraina. “Kami lagi upayakan, lagi susah ini. Susahnya Rusia tidak bisa jalan (karena sanksi). Kalau kita jalan sama Rusia, kita dimusuhin,” ungkap dia, Jumat (22/3).
Kementerian ESDM pun tetap menjaga agar proyek Kilang Tuban yang menjadi proyek strategis nasional (PSN) tersebut bisa berlanjut, di mana Indonesia bakal memprioritaskan untuk mengerjakan hal-hal mudah lebih dahulu.
Arifin tidak memberikan penjelasan apakah keputusan investasi akhir atau final investment decision (FID) bakal tetap diumumkan pada Maret tahun ini, sesuai dengan target awal yang sebelumnya ditetapkan.
Sementara, PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) memastikan keputusan FID Rosneft di proyek Kilang Tuban masih dalam proses. Senada, Sekretaris Perusahaan PT KPI Hermansyah C Nasroen juga enggan menjelaskan apakah FID bakal tetap diumumkan pada Maret tahun ini. “FID belum selesai, masih berproses. Ditunggu saja,” ujarnya singkat.
Namun, Hermansyah memastikan bahwa PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia (PRPP), sebagai anak usaha dari PT KPI, saat ini masih bersama dengan Rusia untuk pelaksanaan proyek GRR Tuban.

Dikutip dari laman Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP), proyek Kilang Tuban dirancang untuk produksi minyak hingga 300 ribu barel per hari dan menelan nilai investasi Rp 238,25 triliun, dengan Pertamina selaku penanggung jawab.
Proyek GRR Tuban awalnya didirikan sebagai antisipasi Indonesia dalam menghadapi krisis energi, khususnya kemampuan penyediaan bahan bakar minyak (BBM), seiring dengan kenaikan konsumsi dari tahun ke tahun yang berbanding terbalik dengan produksi kilang di dalam negeri.
Kilang BBM yang saat ini dioperasikan oleh Pertamina hanya sanggup memproduksi 0,65 juta barel per hari, padahal kebutuhan domestik mencapai 1,18 juta barel per hari. Pertamina memprediksi pada 2030, permintaan BBM domestik menembus 1,65 juta barel per hari.
Sementara terkait Blok Tuna, data yang dihimpun The Indonesian, blok migas tersebut berlokasi di utara Natuna. Blok migas tersebut dioperatori oleh kontraktor kontrak kerjasama (KKKS) Premier Oil Tuna BV (Harbour Energy Group), perusahaan berbasis di Inggris, dengan hak partisipasi 50 persen.

Premier Oil lantas bermitra dengan perusahaan migas pelat merah asal Rusia yang bernama Zarubezhneft, melalui anak usahanya ZN Asia Ltd, yang mengakuisisi 50 persen hak partisipasi Premier Oil di Blok Tuna pada 2020.
Tapi adanya kerja sama dengan Zarubezhneft tersebut justru membuat Premier Oil mengalami kesulitan untuk merealisasikan rencana pengembangan Blok Tuna. Diprediksi total investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan Blok Tuna mencapai Rp 45,4 triliun.
Kontrak bagi hasil Blok Tuna telah diteken pada 21 Maret 2007. Rencana pengembangan atau plan of development (PoD) pertama Lapangan Tuna di Wilayah Kerja (WK) Tuna pun telah disetujui Menteri ESDM Arifin Tasrif pada akhir 2022.
Data SKK Migas menungkapkan, perkiraan biaya investasi untuk pengembangan Lapangan Tuna terdiri atas investasi (di luar sunk cost) sebesar USD 1,05 miliar, investasi terkait biaya operasi sampai dengan economic limit sebesar USD 2,02 miliar dan biaya abandonment and site restoration (ASR) sebesar USD 147,59 juta.
Kemudian, pemerintah mengambil bagian gross revenue sebesar USD 1,24 miliar atau setara dengan Rp 18,4 triliun. Sementara kontraktor kebagian gross revenue sebesar USD 773 juta atau setara dengan Rp 11,4 triliun dengan cost recovery mencapai USD 3,315 miliar.
The Indonesian | Bloomberg Technoz