theIndonesian – Indonesia diprediksi akan mengalami potensi defisit pasokan nikel pada tahun ini, meskipun sebanyak 107 rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) pertambangan nikel telah disetujui oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan, kebutuhan nikel untuk smelter yang sudah beroperasi di Tanaah Air sebesar 200 juta ton, sedangkan total kapasitas produksi dari 107 RKAB nikel yang disetujui hanya 152,61 juta ton untuk periode 2024—2026.
“Jika hanya 152,6 juta ton saja kuota yang disetujui, maka justru sebaliknya, pasar nikel akan defisit karena smelter kekurangan bahan baku bijih nikel. Diperkirakan suplai nikel akan mengalami defisit dan dampaknya harga nikel akan bergerak naik lagi,” kata dia, dilansir dari Bloomberg Technoz, Kamis (21/3).
Rizal menilai, sesuai dengan hukum ekonomi, keterbatasan pasokan bijih nikel tentu bakal menyebabkan harga nikel terkerek naik. Namun, hal tersebut justru memberikan dampak positif bagi penambang nikel di luar negeri seperti Australia dan New Caledonia.
“Harga (nikel) naikbakal membuat penambang tersebut bernapas lega dan membuka kembali tambang nikel setelah selama ini menghentikan operasional untuk melakukan perawatan dan perbaikan,” jelas dia.
Dia bilang, “Tapi Indonesia bakal merasakan dampak negatif dari kondisi defisit tersebut. Penyebabnya, kuota produksi dari 107 RKAB yang telah disetujui, yakni 152,6 juta ton, lebih rendah dari realisasi produksi bijih nikel sebesar 193,5 juta ton pada 2023.”
Kondisi tersebut membuat smelter bakal kekurangan bahan baku untuk diolah. Padahal, jumlah smelter diperkirakan terus bertambah karena sebagian besar masih dalam penyelesaian konstruksi, sehingga kuota tersebut masih jauh di bawah kebutuhan smelter.
Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, hingga Maret 2024, Indonesia memiliki total 44 smelter nikel yang beroperasi di bawah binaan Ditjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE). Lokasi terbanyak berada di Maluku Utara dengan kapasitas produksi 6,25 juta ton per tahun.
Jumlah tersebut belum termasuk 19 smelter nikel yang sedang dalam tahap konstruksi, serta tujuh lainnya yang masih dalam tahap studi kelaikan. Secara keseluruhan, total proyek smelter nikel di Indonesia per Maret 2024 mencapai 70 proyek. Smelter nikel sekaligus menjadi yang terbanyak dibandingkan dengan pabrik peleburan dan pemurnian untuk mineral logam lainnya di Tanah Air.
Adanya defisit pasokan nikel tersebut, ungkap Rizal Kasli, bakal memicu kemunculan praktik tambang ilegal atau illegal mining. Jika kondisi tersebut benar terjadi, maka bakal merugikan negara karena penambang tersebut tidak memiliki legalitas untuk memberikan pemasukan bagi negara melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP). “Hal ini bergantung negara yang diwakili oleh aparat penegak hukum, apakah bisa melakukan pengawasan dan penindakan di lapangan?” ucap dia.
The Indonesian | Bloomberg Technoz