theIndonesian – Berlatih kepanduan di Hizbul Watham dan menjadi guru di sekolah Muhammadiyah, Soedirman masuk tentara pada masa pendudukan Jepang. Kariernya melesat. Pada usia 29 tahun dia dipilih menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Soedirman dikenang sebagai jenderal sederhana yang dekat dengan prajurit. Ia peletak fondasi bagi kultur Tentara Nasional Indonesia (TNI)—institusi yang pernah dikutuk sekaligus dicintai.
Ia mungkin telah menjadi ikon. Sepotong jalan utama dan sebuah universitas negeri telah menggunakan namanya. Raut lelaki tirus itu pernah tertera pada sehelai uang kertas. Di Jakarta, tubuhnya yang ringkih diabadikan dalam bentuk patung setinggi 6,5 meter di atas penyangga 5,5 meter, dibalut jas yang kedodoran, ia memberi hormat—entah kepada siapa.
Buku Soedirman Seorang Panglima, Seorang Martir mencatat, tentara Indonesia menciptakan dirinya sendiri, bukan dibentuk pemerintah atau partai politik. Dalam sebuah sidang ‘revolusioner’, Soedirman mantan guru yang menjadi Komandan Divisi Purwokerto, dipilih dengan suara terbanyak sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat.
Soedirman didukung para komandan eks Pembela Tanah Air. Karismanya yang kuat mengundang kesetiaan anak buahnya. Dengan itulah dia berjuang membela kemerdekaan, bahkan ketika pemimpin pemerintah, Sukarno dan Hatta, menjadi tahanan politik Belanda.
***
Rapat pemelihan berlangsung ala koboi. Hampir semua peserta membawa senjata. Langsung merancang perang Ambarawa. Rapat di markas Tinggi Tentara Keamanan Rakyat di Gondokusuman, Yogyakarta, 12 November 1945 itu tiba-tiba memanas.
Kolonel Holland Iskandar, mantan perwira Pembela Tanah Air (PETA), menginterupsi sidang. Oerip Soemohardjo meminta peserta rapat memilih pemimpin tertinggi Tentara Keamanan Rakyat yang dibentuk seminggu sebelumnya.
Oerip, yang kala itu sebagai Kepala Staf Umum berpangkat letnan jenderal, kehilangan kendali atas pertemuan. Hari itu juga, Soedirman yang berpangkat kolonel, terpilih menjadi Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat.
Pemilihan berlangsung sangat sederhana. Nama-nama calon, di antaranya Oerip, Soedirman, Amir Sjarifoeddin, dan Moeljadi Djojomartono dari Barisan Banten, ditulis di papan tulis. Lalu panitia menyebutkan nama-nama calon, dan pendukungnya diminta mengacungkan tangan. Kalkulasi suara langsung ditulis di papan tulis.
Tjokropranolo dalam buku Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman mengatakan, pemilihan berlangsung dalam tiga tahap. Tahap pertama dan kedua diberlakukan sistem gugur. Cerita mengenai metode pemilihan ini, kata Tjokropranolo, yang pernah menjadi ajudan Soedirman, dia peroleh dari Komandan Batalion Badan Keamanan Rakyat Surakarta, Djatikoesoemo.
Selain mendapat dukungan luas dari tentara eks PETA, Soedirman, yang saat itu baru 29 tahun, dipilih utusan dari Sumatera, Kolonel Moh Noch. Suara Moh Noch yang mewakili enam divisi di Sumatera, turut menjadi penentu kemenangan Soedirman dalam pemilihan.
Oerip yang mendapat suara terbanyak kedua—dukungan untuknya dating dari para tentara eks Koninklijke Nederlands(ch)-Indische Leger (KNIL)—diminta tetap sebagai Kepala Staf Umum. Dia dinilai mahir dalam strategi militer menghadapi Belanda. Rapat juga memilih Sultan Hamengku Buwono IX sebagai Menteri Pertahanan. Sultan hadir sebagai tamu Istimewa Bersama Pakubuwono XII, Mangkunegoro, dan Paku Alam.
Ketika rapat di Gondokusuman berlangsung, situasi di Ambarawa dan Magelang memanas, menyusul kedatangan tentara Inggris pada 20 Oktober 1945—hampir sebulan sebelumnya. Tentara Inggris yang dipimpin Brigadir Jenderal Bethel berniat membebaskan tawanan perang.
Bethel telah bersepakat dengan Gubernur Jawa Tengah Wongsonegoro mengenai ini, tapi para pejuang mencurigai kehadiran tentara Ratu Elizabeth itu. Para pejuang khawatir tentara Belanda membonceng Rehabilitation Allied Prisoners of Wars and Internees—badan yang didirikan sekutu buat mengurus tawanan perang—untuk kembali menguasai Indonesia.
Kecurigaan ini menyebabkan meletusnya pertempuran melawan tentara Inggris di berbagai daerah. Pada 31 Oktober 1945, Presiden Sukarno meminta perang terhadap Inggris atau sekutu dihentikan. “Bukan saja di Surabaya, tapi Magelang,” kata Sukarno. Namun pertempuran terus terjadi. Dan pada November itu, konflik Kembali tak terkendali setelah pemimpin tentara Inggris di Surabaya, Brigadir Jenderal Mallaby, terbunuh.
Dua hari setelah pemilihan Soedirman, tepatnya pada 14 November 1945, Perdana Menteri Sutan Sjahrir mengumumkan komposisi kabinet. Sjahrir menunjuk Amir Sjarifoeddin sebagai Menteri Pertahanan.
Penunjukan Amir ini bertentangan dengan kesepakatan Gondokusuman, yang memilih Sultan sebagai Menteri Pertahanan. Ini antara lain karena Sjahrir tidak menyetujui peran PETA dan organisasi militer Jepang lainnya dalam TKR. Dia mengharapkan tentara Indonesia bebas dari pengaruh fasisme Jepang. Pendapat yang berbeda inilah yang membuat belakangan hubungan Soedirman dengan Amir dan Sjahrir beberapa kali tegang.
Sebenarnya, sejak Tentara Keamanan Rakyat dibentuk pemerintah pada 5 Oktober 1945, Presiden Sukarno telah menunjuk Soeprijadi sebagai panglima. Soeprijadi adalah komandan peleton atai shodancho tentara Pembela Tanah Air.
Sebelumnya, Soeprijadi ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Tapi Soeprijadi sudah menghilang sejak pemberontakan Blitar pada Mei 1945. Sebagian pejuang yakin dia sudah tewas terbunuh tentara Jepang.
***
Sejumlah kebijakan pemerintah meminggirkan tentara. Pak Dirman tersungkur sakit dalam tekanan batin. Matahari belum di atas ubun-ubun ketika tentara Komando Pertempuran Panembahan Senopati berbaris keluar dari barak dengan senjata lengkap.
Sedianya, pasukan yang bermarkas di Solo itu hanya akan unjuk kekuatan memperingati Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1948. Namun, Laskar Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Tentara Laut RI, dan TNI-masyarakat menyusup. Parade pun berubah menjadi aksi penolakan kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (ReRa) tentara.
ReRa akan memangkas personel dan kesatuan. Pasukan dari elemen rakyat khawatir tergusur. Beredar kabar, hanya perwira berpendidikan di atas sekolah menengah yang akan lolos. Demonstrasi besar-besaran merebak, melibatkan puluhan ribu tentara di Madiun dan Malang, Jawa Timur.
Sebab, “Tentara paling banyak hanya sekolah ongko loro. Tentu akan tersingkir,” tulis Soemarso, bekas petinggi Pesindo, dalam bukunya Revolusi Agustus.
Presiden Sukarno mengeluarkan Penetapan Nomor 14 tahun 1948 tentang pelaksanaan ReRa, 2 Januari 1948. Inisiatifnya datang dari Amir Sjarifoeddin ketika menjabat perdana Menteri. Niatnya mengefektifkan pasukan melawan Belanda. Pelaksanaannya dilakukan oleh Kabinet Mohammad Hatta, melalui Mayor Jenderal AH Nasution.
Pemerintah berdalih tak mampu lagi menggaji tentara. Jumlahnya mencapai 350 ribu orang, dan anggota laskar sebanyak 470 ribu orang. Tentara kian meradang dengan adanya penurunan pangkat.
ReRa dianggap diskriminatif dan menguntungkan para bekas anggota KNIL, tentara Kerajaan Belanda. Eks KNIL mendapat prioritas direkrut menjadi perwira dan mendapat kenaikan pangkat. Divisi Siliwangi mayoritas diisi mantan personel KNIL. Para bekas anggota PETA, yang hanya mengenyam Pendidikan lokal, pun turun pangkat.
Soedirman khawatir kebijakan ini menimbulkan perpecahan. Akhirnya, pemerintah mengalah. “Pak Dirman mempertahankan semua divisi lama, dan posisi komando pertempuran diteruskan,” tulis Nasution dalam buku bukunya Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai.
***
“Yang sakit itu Soedirman, tapi Panglima Besar tidak pernah sakit.” Pagi itu, 19 Desember 1948, Panglima Besar bangkit dan memutuskan memimpin pasukan keluar dari Yogyakarta, mengkonsolidasikan tentara, dan mempertahankan republik dengan bergerilya.
Panglima Besar sudah terikat sumpah; haram menyerah bagi tentara. Karena ikrar inilah Soedirman menolak bujukan Sukarno untuk berdiam di Yogyakarta. Dengan separuh paru-paru, ia memimpin gerilya. Selama delapan bulan, dengan ditandu, ia keluar masuk hutan.
Soedirman adalah seorang perokok kelas berat. Ia merokok sejak ramaja. Rokok kreteknya tak bermerek, tingwe alias nglinthing dewe yang artinya meramu sendiri. Sepulang bergerilya, kondisi Kesehatan Soedirman memburuk.
Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, pada 2012, putra bungsu Soedirman, ingat cerita ibunya, Siti Alfiah, bagaimana saat sakit bapaknya tetap ingin merokok. “Bapak dipaksa berhenti merokok oleh dokter. Karena tak bisa benar-benar meninggalkan rokok, Bapak meminta Ibu merokok dan meniupkan asap ke mukanya.”
Soedirman memang begitu sayang kepada istrinya. Menurut Teguh, ibunya pernah bercerita bagaimana bapaknya tergolong teliti untuk urusan kosmetik dan busana. “Bapak selalu memilih bedak dan busana untuk Ibu. Ibu tinggal mengenakan,” ujar Teguh. Bapaknya juga ternyata suka menjaga penampilan agar rapi dan berwibawa, terutama saat berpidato.
Ibunya sekali waktu bercerita, pernah saat Soedirman berpidato, ia merasa cemburu. Soedirman saat itu berpidato di hadapan putri-putri Keraton Solo. Mereka terlihat kagum pada penampilannya yang besus atau selalu rapi. Selesai pidato, Alfiah berseloroh,” Kamu senang, ya? Kalua begitu mau lagi?” Soedirman langsung menjawab, “Ya tidak, kan aku sudah punya kamu.”
Pada Ahad pagi, 29 Januari 1950, setelah lama terkulai lemas sejak Oktober di rumah peristirahatan tentara di Magelang, mendadak wajah Soedirman tampak cerah. “Waktu itu, menurut Ibu, tiba-tiba terdengar suara kaleng dan botol pecah mendadak. Bersamaan dengan itu, bendera di halaman melorot setengah tiang. Sampai Ibu bilang ke beberapa pengawal, ‘Ah itu hanya angin’.”
Setelag salah magrib, sebagaimana didengar dari Alfiah, Soedirman memanggil istrinya ke kamar. Di dalam, dia berkata, “Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil.” Alfiah menuntunnya mengucap Laa Ilaha Illallah, dan Soedirman mengembuskan napas terakhir.
Setelah 47 tahun berpisah, Alfiah bermimpi naik ke pelaminan bersanding dengan Soedirman. Menurut Teguh, ibunya bercerita, baju yang dipakai saat bersanding itu persis sama dengan baju ketika keduanya menikah di Tambakrejo, Cilacap.
“Guh, tadi malam aku mimpi menikah sama bapakmu. Ada apa, ya?” ujar Teguh. Satu bulan kemudian, tepatnya pada 22 Agustus 1997, Alfiah meninggal dan di makamkan di samping pusara Soedirman.
Dari Panglima Besar Jenderal Soedirman kita belajar arti sebuah perjuangan dan kesetiaan terhadap bangsa, negara, dan istrinya (pasangan). Jika bangsa dan negara saja kau khianati, bagaimana dengan kesetiaan kepada pasanganmu.
(TheIndonesian)