theIndonesian – Panasnya terik matahari dan kepulan debu yang menyesakan hidung tidak menyurutkan semangat Slamet (27) untuk terus bekerja. Bersama ratusan bahkan ribuan pekerja proyek lainnya, Slamet terus bekerja memburu waktu untuk menyelesaikan sebuah proyek apartemen mewah di bilangan Jakarta Selatan.
Hanya mengenakan kaos oblong dan celana jeans lusuh seadanya, Slamet tampak sibuk bekerja. Peralatan keselamatan kerja yang dipakai Slamet hanya sebuah helm proyek. Jam menunjukan pukul 12.15 WIB. Slamet menghentikan sejenak pekerjaannya untuk beristirahat. Bersama sejumlah rekannya, Slamet menghampiri sebuah warung makan (warteg). Selesai makan, Slamet menyempatkan diri untuk melepas lelah sejenak dibawah sebuah pohon sambil menghisap sebatang rokok.
Slamet mengatakan, dalam sehari rata-rata ia mendapatkan upah harian sekitar Rp 80.000 hingga Rp 100.000. Upah tersebut masih harus dipotong untuk keperluan sehari-harinya yang berkisar antara Rp 30.000 – Rp 50.000. Praktis, dalam seminggu paling banyak dia hanya dapat mengumpulkan uang sebanyak Rp 350.000, itu pun jika dia bekerja selama seminggu penuh. Sementara itu, untuk sistem pembayarannya dibayar setiap dua minggu sekali.
Selain upah harian, menurut Slamet ada juga pekerja proyek yang dibayar dengan sistem jam-jaman. Biasanya pekerja proyek tersebut mendapatkan upah Rp 12.000 hingga Rp 15.000 per jamnya. “Lumayanlah mas, daripada kita nganggur,” kata Slamet kepada penulis.
Namun, itu bukanlah pekerjaan yang bisa terus-menerus dia geluti. Setelah proyek tersebut berakhir, biasanya berakhir pulalah pekerjaan Slamet dan rekan-rekannya sesama pekerja proyek.
Pria bujang asal Yogyakarta tersebut jika malam terpaksa tidur disebuah tempat yang bernama bedeng. Bedeng yang Slamet tiduri berukuran 12 meter X 9 meter. Dalam sebuah bedeng, biasanya dapat menampung pekerja proyek 20 orang hingga 30 orang. Slamet dan sesama rekannya tidur beralaskan seadanya. Mulai dari kardus, koran, triplek, hingga tidak menggunakan alas.
Jika rasa rindu akan kampung halaman menghinggapi dirinya, Slamet terpaksa harus menahannya sejenak. Pasalnya, dia akan pulang kampung jika ia merasa telah mempunyai sedikit uang lebih.
“Saya pulang kampung paling cepat tiga bulan sekali, itupun kalau ada uang lebih. Di kampung, saya paling punya waktu sekitar tiga hari. Karena jika tidak cepat balik ke Jakarta, maka saya tidak diizinkan bekerja diproyek itu kembali,” ujar Slamet memelas.
Diajak Teman
Slamet sudah sekitar tiga tahun belakang ini bekerja sebagai pekerja proyek. Awalnya, ia tinggal di kampung halamannya membantu kedua orang tuanya bertani. Merasa tidak berkembang, Slamet memutuskan untuk ke Jakarta. Sesampainya di Jakarta, Slamet merasa kebingungan harus bekerja apa. Beruntung, seorang kawan mengajaknya untuk bekerja sebagai pekerja proyek.
Hari pertama bekerja, ia merasakan seluruh badannya pegal-pegal. Maklum, ia harus bekerja mulai dari jam 08.00 WIB – 18.00 WIB. Setelah seminggu, ia mulai terbiasa dengan rutinitas tersebut. Tak terasa, sudah hampir tiga tahun ini ia bekerja dari satu proyek ke proyek lainnya. Ini merupakan proyek ketiga tempat ia bekerja.
Tidak hanya pekerja kantoran, untuk bisa bekerja disebuah proyek, menurut Slamet, haruslah mempunyai relasi. Jika tidak, jangan harap bisa bekerja di proyek. “Susah mas masuk sini, harus ada teman yang ngajak,” ujar Slamet.
Hal tersebut diamini oleh Saiful (34 tahun) yang kebetulan menjadi salah satu mandor dari pembangunan proyek apartemen tersebut. Saiful yang berasal dari Tasikmalaya, Jawa Barat ini mengungkapkan, biasanya para kontraktor enggan menerima pekerja proyek yang tidak mempunyai hubungan dengan salah satu pekerjanya. Alasan kontraktor sederhana. Jika terjadi sebuah kecelakaan, maka sulit menghubungi pihak keluarganya.
Keselamatan Pekerja
Kecelakaan kerja bukanlah peristiwa yang langka di negeri ini, terutama kecelakaan kerja yang terjadi di sebuah pekerjaan proyek skala besar. Sering kita tersentuh ketika membaca sebuah harian terbitan ibukota atau situs berita daring yang memuat berita pekerja bangunan yang tewas akibat kecelakaan kerja.
Beberapa tahun silam, sejumlah harian ibukota memberitakan sebuah kecelakaan kerja akibat runtuhnya sebuah lantai beton bangunan proyek yang terletak di daerah Sunter Agung, Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Dalam kecelakaan tersebut, seorang pekerja proyek tertimpa lantai beton. Padahal, lantai beton itu adalah bagian dari bangunan yang sedang ia kerjakan. Ironisnya, dalam kondisi kaki yang terjepit reruntuhan beton bangunan, seorang pekerja dipaksa untuk menunggu datangnya bala bantuan.
Sekitar tujuh jam pekerja itu harus bertahan dalam kesakitan. Sampai akhirnya datang peralatan yang memungkinkan untuk mengangkat reruntuhan tersebut sehingga pekerja itu bisa ditarik ke luar dan dilarikan ke rumah sakit.
Menilik kejadian tersebut, setidaknya ada dua hal yang kita persoalkan dalam musibah runtuhnya lantai beton tersebut. Pertama, rendahnya pengamanan bagi para pekerja (hal itu bisa datang dari ketidakpedulian kontraktor proyek) dan yang kedua, bisa juga dari sikap semau gue dari para pekerja sendiri.
Begitu sering kita melihat, para pekerja berani bermain-main dengan maut. Standar keamanan yang disediakan pihak pemberi kerja sering kali tidak mereka pergunakan. Di sejumlah negara, terutama Malaysia, pekerja asal Indonesia dikenal sebagai pekerja penantang maut. Pekerja asal Indonesia berani mengerjakan pekerjaan yang umumnya mempunyai tingkat resiko kecelakaan tinggi.
Para pekerja Indonesia memang dikenal sebagai penantang maut. Di banyak negara seperti Malaysia, pekerja yang berani melakukan hal-hal yang sangat berbahaya umumnya adalah pekerja Indonesia.
Menurut direktur salah satu BUMN konstruksi, biasanya dalam pengerjaan sebuah proyek telah ada standarisasi mengenai keselamatan kerja. Disetiap proyek yang ditangani oleh perusahaannya, telah ada aturan baku yang diterapkan oleh perusahaan.
“Kami selalu berpegangan kepada aturan yang baku. Kebetulan kami juga telah mendapatkan sertifikat keselamatan kerja. Sertifikat tersebut dikeluarkan karena kami telah memenuhi standar K3 (keamanan dan keselamatan kerja),” ujar direktur tersebut.
Seorang pekerja proyek yang bekerja diproyek BUMN tersebut, yang enggan disebut namanya, mengatakan, jika seorang pekerja tidak mematuhi aturan, maka ia akan dikenakan denda. Dan, sanksi terparahnya adalah ia tidak boleh bekerja diproyek tersebut. Sebagai contoh, jika seorang pekerja memasuki area proyek tidak memakai helm pengaman, ia akan didenda sebesar Rp 50.000.
Untuk pekerja yang biasa merokok, ia tidak bisa merokok sembarangan. Ketahuan merokok di dalam proyek, ia kena denda Rp 30.000. “Aturan disini ketat mas,” ungkapnya singkat.
Prihatin
Kita bukannya ingin mengungkit rasa perhatian dan rendahnya penghargaan kita kepada manusia. Sering kali kita tidak menghargai arti kehidupan dan harkat dari seorang manusia. Sepertinya begitu murahnya harga sebuah nyawa itu.
Berbagai peristiwa mengenaskan yang terjadi tidak mengentakkan kesadaran kita untuk mencegah berulangnya peristiwa seperti itu. Setiap kali musibah yang hampir sama terjadi lagi dan kita pun hanya bisa sekadar prihatin.
Sering kita berbicara soal perbaikan ekonomi. Kita bangga bahwa perekonomian yang pernah terpuruk begitu dalam secara bertahap bisa kembali pulih. Kita dan sejumlah pejabat semuanya tersenyum jika mengetahui perekonomian kita bisa tumbuh beberapa persen.
Menjadi pertanyaan adalah, siapakah yang menikmati tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi itu? Apakah tingginya pertumbuhan ekonomi yang terjadi itu dinikmati oleh seluruh orang yang tinggal di kawasan ataukah hanya dirasakan segelintir orang saja?
Kita harus akui, pertumbuhan ekonomi itu tidak menetes ke semua orang. Hanya sebagian kecil saja yang menikmati hasil pembangunan. Hal itu terutama dirasakan oleh negara yang padat penduduknya seperti Indonesia dan Cina.
Indonesia dan Cina menghadapi persoalan distribusi kemakmuran, di tengah kemajuan ekonominya. Untuk itulah, Cina memutuskan untuk menurunkan tingkat pertumbuhan agar kesenjangan yang terjadi tidak semakin lebar.
Peristiwa yang dialami para pekerja proyek seperti Slamet dan ratusan pekerja proyek lainnya merupakan salah satu contoh dari persoalan kesenjangan distribusi kemakmuran. Betapa pun mereka bekerja keras, dengan tingkat risiko yang begitu tinggi, mereka hanya mendapatkan penghasilan yang pas-pasan.
Namun, Slamet dan rekannya lebih beruntung. Jutaan orang lainnya malah hidup di tengah ketidakpastian. Mereka masih berjuang untuk bisa diakui keberadaan, yakni bisa memperoleh pekerjaan.
Tingginya pengangguran di negeri khatulistiwa ini merupakan persoalan yang harus kita pecahkan bersama. Sepanjang masalah pengangguran belum bisa terselesaikan, maka bukan persoalan distribusi kemakmuran yang tidak bisa terselesaikan, tapi bentuk-bentuk penghargaan kepada kehidupan dan kemanusiaan masih akan terus rendah, terutama bagi para pekerja proyek.
(TheIndonesian)