theIndonesian – Baru-baru ini publik dikagetkan dengan mundurnya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dari kursi jabatan komisaris utama (komut) PT Pertamina (Persero).
Ahok mundur sebagai komut Pertamina pada 2 Februari 2024 lalu. Dalam akun X @basuki_btp, Ahok mengunggah surat pengunduran dirinya sebagai komut.
Tapi, kali ini bukan persoalan mundurnya Ahok yang akan diulas panjang lebar, melainkan siapa orang yang menjabat sebagai direktur utama (dirut) terlama sejak Pertamina pertama kali berdiri. Berikut ulasannya.
Ibnu Sutowo (1968-3 Maret 1976)
Siapa tidak kenal Ibnu Sutowo? Bahkan, sebagian besar publik menjuluki ‘bapaknya’ Pertamina. Ibnu Sutowo lahir di Grobogan, Jawa Tengah, 23 September 1914. Ia mengenyam pendidikan selama 10 tahun di sekolah kedokteran Nederlands Artsen School (NIAS) Surabaya.
Setelah lulus tahun 1940, ia bekerja sebagai dokter di Palembang dan Martapura. Setelah kemerdekaan, Ibnu Sutowo bergabung dalam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), tepatnya pada 5 Desember 1946. Ia diangkat sebagai Kepala Jawatan Kesehatan Tentara di Sumatera Selatan pada 1946.
Sewaktu bertugas di sana, Ibnu Sutowo harus mengamputasi tangan Kolonel Bambang Utoyo tanpa bius dengan alat-alat seadanya. Ibnu Sutowo berhasil mengamputasi tangan Bambang Utoyo dengan sangat baik. Sejak saat itu, kariernya di militer semakin melejit.
Pada 18 Februari 1948 ia diangkat sebagai Kepala Staf Sub Komandemen Sumatera Selatan hingga 9 Juni 1949. Setelah itu, pada 9 Juni 1949 hingga 9 Desember 1949, Ibnu Sutowo menjabat sebagai Kepala Staf Daerah Militer Istimewa Sumatera Selatan.
Pada 9 Desember 1949 hingga 11 Juni 1955, Ibnu Sutowo dipercaya sebagai Kepala Staf Tentara Teritorium II/Sriwijaya. Lalu, sejak 11 Juni 1952 hingga 2 Juli 1956, ia diangkat sebagai Panglima Tentara Teritorium II/Sriwijaya.
Ibnu Sutowo juga pernah menjabat sebagai Asisten IV Kepala Staf Angkatan Darat pada 2 Juli 1956 hingga 25 Agustus 1958. Sejak 29 Desember 1956 hingga 9 Oktober 1968, Ibnu Sutowo ditunjuk sebagai Deputi II Bidang Operasi Kepala Staf Angkatan Darat merangkap Deputi Pelaksana Perang Pusat.
Karier Ibnu Sutowo di Pertamina bermula pada pada 1957—saat itu ia masih berpangkat kolonel, ketika AH Nasution (saat itu KSAD) menunjuk dia untuk mengelola PT Tambang Minyak Sumatera Utara (PT Permina). Pada 1968, perusahaan ini digabung dengan perusahaan minyak milik negara lainnya menjadi PT Pertamina.
Di era inilah nama Pertamina mulai diperkenalkan ke publik. Harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis pada 30 Januari 1970 memberitakan bahwa simpanan Ibnu Sutowo pada saat itu mencapai Rp 90,48 miliar (kurs rupiah saat itu Rp 400/dolar), dan melaporkan kerugian negara akibat kongkalikong Ibnu dan pihak Jepang mencapai US$1.554.590,28.
Saat itu, pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soeharto membentuk tim yang bernama Komisi Empat untuk menyelidiki dugaan korupsi di Pertamina.
Tim ini menghasilkan laporan yang menyimpulkan terjadinya beberapa penyimpangan-penyimpangan, tetapi tanpa tindakan hukum apa pun terhadap pelaku korupsi.
Pada 1975, Pertamina jatuh krisis. Pada 1976, Ibnu mengundurkan diri sebagai dirut Pertamina, dan meninggalkan Pertamina dalam kondisi utang sebesar US$ 10,5 miliar. Ibnu lalu masuk ke PT Golden Mississippi. Ibnu Sutowo duduk sebagai dirut— jika dihitung sejak bernama Pertamina—selama delapan tahun.
Faisal Abda’oe (19 Agustus 1988-6 Juni 1996)
Faisal Abda’oe bisa dikatakan dirut Pertamina terlama. Ia menjabat posisi dirut selama delapan tahun. Namun kariernya pascalengser penuh kontroversi.
Faisal pernah tersangkut kasus korupsi kerja sama antara Pertamina dan PT Ustraindo Petro Gas (UPG). Faisal kala itu
diduga merugikan negara AS$23,351 juta. Selama masa kepemimpinannya, Faisal melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, seperti menandatangani kontrak tanpa tender.
Faisal konon diduga yang bertanggung jawab atas kasus-kasus TAC (technical assistant contract) sebagai dirut Pertamina saat itu dan Suprapto, dirut PT Utstraindo Petrogas.
Sembilan kasus yang telah sampai ke tahap penyidikan adalah kasus TAC Sumur Pendopo oleh PT Ustraindo Petrogas, dua kasus TAC Sumur Jatibarang oleh PT Ustraindo Petrogas, kasus TAC Sumur Bunyu oleh PT Ustraindo Petrogas, dan kasus proyek pipanisasi Jawa oleh PT Triharsa Bima Nusa Tunggal.
Dalam kasus TAC antara Pertamina dan Ustraindo, antara 1992 sampai 1995, Faisal selaku dirut Pertamina telah melakukan perbuatan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya.
Faisal telah menyetujui dan menandatangani TAC antara Pertamina dengan Ustraindo Petrogas untuk tempat lapangan migas Pertamina yang masih produktif (lapangan minyak Pendopo, Prabumulih, Jatibarang dan Bunyu) tanpa melalui tender dan studi lapangan).
Faisal juga telah menyetujui dan menandatangani amandemen TAC yang memberikan NVO fee berlaku surat untuk TAC lapangan Jatibarang, dan penurunan tagu (standar) serta memberikan decline rate untuk lapangan Prabumulih.
Perbuatan Faisal yang telah menyetujui dan menandatangani kontrak TAC untuk keempat lapangan tersebut tanpa adanya studi lapangan yang dilakukan oleh Ustraindo bertentangan dengan kebiasaaan dalam prinsip pembuatan TAC.
Tindakan yang dilakukan tanpa melalui tender tersebut bertentangan dengan Keppres Nomor 29 Tahun 1984. Dalam kasus proyek pipanisasi Jawa oleh PT Triharsa Bima Nusa Tunggal (PT TBNT) Faisal Abda’oe selaku dirut bekerja sama dengan tersangka Rosano Barack selaku dirut TBNT pada kurun waktu 1987 sampai 1998.
Kerja sama itu antara lain; melakukan penunjukkan langsung kontraktor pelaksana pembangunan pipa BBM Cilacap-DKI Jaya-Jawa Barat-Jawa Tengah dan Yogyakarta yang bertentangan dengan Keppres No. 29 Tahun 1984 karena tidak dilakukan melalui tender.
Keduanya telah menandatangani build and transfer agreement yang memungkinkan adanya ganti rugi kepada TBNT dalam keadaan apa pun. Hal demikian juga bertentangan dengan Pasal 20 ayat (4) Keppres No. 29/84 di mana dalam surat perjanjian tidak dibenarkan mencantumkan sanksi ganti rugi yang dibebankan kepada pemerintah.
Faisal Abda’oe pernah menjadi tahanan di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung (Rutan Kejakgung), pada medio 2001. Kala itu, Abda’oe ditahan selama 20 hari berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor Print-50/F/F.2.1/03/2001, tanggal 21 Maret 2001.
Surat perintah dua lembar berwarna merah itu ditandatangani Direktur Penyidikan Sudibyo Saleh atas nama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Bachtiar Fachri Nasution.
Nicke Widyawati (19 April 2018-sekarang)
Nicke Widyawati, lahir 25 Desember 1967, adalah dirut Pertamina sejak 30 Agustus 2018, setelah sebelumnya menjadi pelaksana tugas Direktur Utama menggantikan Elia Massa Manik yang dicopot.
Nicke adalah alumni SMA Negeri 1 Tasikmalaya. Setelah lulus SMA, ia berkuliah di Institut Teknologi Bandung mengambil jurusan teknik industri dan lulus pada 1991. Kemudian ia melanjutkan pendidikan strata dua di Universitas Padjajaran mengambil jurusan hukum bisnis dan lulus pada 2009.
Nicke mulai bekerja pada usia 21 tahun saat masih menjalani pendidikan strata satu di Bank Duta cabang Bandung. Setelah itu ia sempat bekerja di PT Rekayasa Industri. Ia terlibat dalam beberapa proyek yang bekerja sama dengan Pupuk Sriwijaya di Palembang, Lhokseumawe, Cilegon, dan Malaysia.
Kemudian, ia bergabung dengan Mega Eltra, BUMN yang bergerak di bidang kelistrikan hingga menjadi dirut perusahaan tersebut. Setelah dari Mega Eltra, ia ditarik ke PLN sebagai direktur Pengadaan Strategis I pada tahun 2014. Pada 2017, ia mulai berkarier di Pertamina sebagai direktur Sumber Daya Manusia dan pelaksana tugas direktur Logistik, Rantai Pasokan dan Infrastruktur.
Baru beberapa bulan menjabat ia dijadikan pelaksana tugas dirut merangkap direktur SDM menyusul dicopotnya lima direksi Pertamina yang dipimpin dirut Elia Massa Manik mengenai kebijakan yang dinilai merugikan sektor minyak dan gas dalam negeri.
Pada medio Oktober 2023, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil Nicke Widyawati sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan gas alam cair LNG tahun 2011-2021 dengan tersangka mantan dirut Pertamina Galaila Karen Kardinah alias Karen Agustiawan.
(TheIndonesian)