theIndonesian – Pemberian pinjaman kepada pengusaha atau eksportir di sektor sumber daya alam harus lebih diperketat. Tujuannya, untuk mencegah kerugian negara yang diakibatkan oleh praktik kecurangan (fraud) di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI).
Hal itu diungkapkan ekonom Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto. Dilansir dari BBC News Indonesia, Kamis (21/3), Eko bilang, bisnis di sektor tambang seperti nikel, batubara, juga kelapa sawit rawan terjadi pelanggaran hukum.
Alasannya, karena biasanya bisnis ini dikuasai oleh pengusaha kelas kakap yang dekat dengan penguasa, sehingga bisa ‘menekan’ pejabat pemerintah agar menyalurkan bantuan kredit. Penjelasan dia, adanya laporan Menteri Keuangan Sri Mulyani soal dugaan kecurangan (fraud) di LPEI menunjukkan bahwa persoalan ini sangat serius.
Sri Mulyani, pendapat Eko, kesal karena nilai kerugiannya cukup besar. Apalagi perusahaan yang terlibat kecurangan ada di sektor ‘”‘yang harga komoditasnya sering menghijau’ di pasar internasional. Sebut saja kelapa sawit, batubara, dan nikel.
“Kasus fraud ini kemungkinan ada dua sebab, yaitu tata kelola yang buruk atau penyelewengan oleh orangnya. Kalau merujuk pada kejadian yang teradi di LPEI saat ini, saya menduga persoalan ada pada aspek manusianya,” ungkap dia.
Eko kembali komentar, layaknya pengajuan kredit di perbankan, sebelum seorang pengusaha atau eksportir mengajukan pinjaman, maka pejabat LPEI mesti melakukan penilaian atas laporan keuangannya, kemudian meneliti aset-aset yang dijaminkan, serta memastikan debitur tersebut memiliki komitmen membayar kewajibannya.
“Sehingga, kalau bisnisnya gagal, ada mekansime exit strategy yang sudah jelas akan dilakukan. Perkara di LPEI ini, sistem yang ketat itu diduga tidak betul-betul dilaksanakan. Penjelasan kejaksaan, ada masalah di nilai agunan, berarti celahnya ada di aspek human daripada sistem,” terang dia.
Eko pun berkata, “Sebaik apapun sistem, bisa diakali kalau manusianya tidak profesional. Kayaknya itu yang terjadi. Ilustrasinya biasanya dari ketika pinjam lancar, begitu bisnis tidak bagus dan jaminannya tidak pas. Di sini baru muncul masalah, kenapa diberikan pinjaman kalau ternyata tidak layak?”
Sederhananya, tegas Eko, ada kongkalikong antara pengusaha dan pejabat LPEI. “Ini harus diusut juga. Meski kemungkinan besar iya. Ke depan, LPEI harus benar-benar menjaring perusahaan yang layak mendapatkan fasilitas kredit,” ucap dia.
Sekilas info, LPEI merupakan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan pembiayaan ekspor nasional. Terpisah, Direktur Eksekutif LPEI Riyani Tirtoso mengatakan, pihaknya menghormati proses hukum yang saat ini sedang berjalan.
Penegasan Riyani, lembaganya akan mematuhi perundangan yang berlaku dan siap bekerjasama dengan Kejaksaan Agung, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta aparat penegak hukum lainnya dalam penyelesaian kasus debitur bermasalah.
“LPEI sepenuhnya mendukung langkah menteri Keuangan dan jaksa agung untuk melakukan pemeriksaan dan tindakan hukum yang diperlukan terhadap debitur LPEI yang bermasalah secara hukum,” jelas dia, disitir dari Kompas.
Riyani pun menegaskan bahwa perusahaan berupaya menjunjung tinggi tata kelola perusahaan yang baik, berintegrasi dalam menjalankan seluruh aktivitas kegiatan operasi lembaga dan profesional.
Di satu sisi, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana mengungkapkan, saat ini pihaknya masih meneliti laporan dugaan korupsi yang diadukan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Senin (18/3).
Kendati tidak merinci lebih jauh, tapi dia bilang bahwa dugaan korupsi di LPEI sudah pernah ditangani Kejaksaan Agung dan telah berkekuatan hukum tetap pada 2022. Saat itu, ada tiga kasus yang pelakunya melibatkan pejabat LPEI dan direktur perusahaan.
Kemudian ada satu kasus lain yang sedang dalam proses penghitungan kerugian negara. “Sudah ada hasilnya (kerugian negara) dan naik ke penyidikan kasusnya. Sebentar lagi ada penetapan tersangka,” ucap dia, dilansir dari BBC News Indonesia.
Sumedana membeberka, terkait laporan terbaru dari Menteri Keuangan Sri Mulyani, aduan tersebut terbagi dalam tiga bagian. Pertama, adalah perusahaan kelapa sawit, batubara, nikel, dan perkapalan yang diduga melakukan praktik kecurangan (fraud) dalam pembiayaan ekspor sebesar Rp 2,5 triliun.
Kedua, enam eksportir yang disebutnya masih ditangani oleh tim gabungan dalam rangka penagihan, karena masih ada peluang ditagih oleh tim. Ketiga, kasus dugaan tindak pidana umum yang sedang ditangani Mabes Polri. “Jika merujuk pada laporan Menteri Keuangan Sri Mulyani, total ada 24 perusahaan atau eksportir yang diduga bermasalah,” jelasnya.
Sementara, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron komentar, pihaknya menerima laporan pada 10 Mei 2023. Selanjutnya, penelahaan dilakukan hingga akhirnya KPK melakukan penyelidikan pada Februari 2024.
Berdasarkan hasil pemaparan penyelidik dan penyidik kepada pimpinan, maka pada 19 Maret 2024 KPK meningkatkan proses penyelidikan perkara tersebut ke penyidikan. Penjelasan KPK, dari tiga kasus debitur LPEI yang bermasalah, salah satu perusahaan yang diungkap KPK adalah PT PE yang disebut mendapatkan fasilitas kredit modal kerja ekspor sebanyak tiga kali yakni pada 2015, 2016, dan 2017.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menambahkan, ada dugaan LPEI memberikan kredit tidak hati-hati. Dia mencontohkan, pada 2015, Kredit Modal Kerja Ekspor (KMKE) yang disalurkan USD 22 juta, pada 2016 KMKE yang diberikan Rp 400 miliar, dan KMKE pada 2017 sebesar Rp 200 miliar.
“Jadi, secara keseluruhan fasilitas kredit modal kerja ekspor yang diberikan PT PE ini USD 22 juta dan Rp 600 miliar. Ini bertujuan mendukung modal kerja PT PE dalam usaha niaga umum BBM dan bahan bakar lainnya,” kata Alex.
The Indonesian | BBC News Indonesia