theIndonesian – Ironi. Mungkin itu satu kata yang bisa menggambarkan kondisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat ini. Pemilu 2024 yang oleh mayoritas pengamat dan akademisi nilai sebagai pemilu terburuk dan paling brutal dalam sejarah pasca-reformasi akhirnya memakan korban.
Kali ini yang menjadi korban paling parah salah satunya adalah PPP. Partai yang merupakan fusi (gabungan) dari beberapa partai Islam dan menjadi salah satu partai yang didirikan di era rezim orde baru, harus mengalami nasib naas. Baru kali ini partai tersebut tidak lolos ke parlemen. Sungguh menyesakkan dada.
Masuknya sosok Sandiaga Uno, menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang di PPP juga dikasih jabatan sebagai ketua Badan Pemenangan Pemilu PPP ternyata tidak memberikan arti banyak. Bahkan, partai tersebut kian terpuruk. Tangan dingin Sandi di bisnis ternyata tidak berlaku di dunia politik.
Publik tahu, Rabu (20/3) malam Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil rekapitulasi nasional Pemilu Legislatif 2024. Berdasarkan Surat Keputusan No 360 Tahun 2024, KPU menetapkan hanya delapan partai petahana yang kembali bisa melenggang ke Senayan. Hanya PPP yang terpental.
Ketua DPP PPP Achmad Baidowi di KPU, Rabu (20/3), mengaku sangat terkejut dan dia bilang, “Tentu kami terkejut dengan hasil rekapitulasi secara bertentangan karena tidak sesuai berbeda dengan data internal kami. Kami memiliki waktu tiga hari, setelah pengumuman resmi dari KPU untuk mengajukan gugatan Mahkamah Konstitusi.”
Penjelasan Baidowi, dari hasil rekapitulasi internal, PPP dapat mencapai 4,04 persen atau melampaui ambang batas parlemen sebesar empat persen. Namun, faktanya hasil perolehan suara KPU ternyata berbeda dengan hasil internal.
Dia kembali komentar, “Jelas data-data kami sangat lengkap dan ketika nanti menggugat ke Mahkamah Konstitusi semuanya akan kami lampiran bukti bukti tersebut. Ada selisih 100-150 ribu suara dari hasil internal PPP dan rekapitulasi KPU. Kami ingin itu bisa membuktikan semua, di mana pergeseran-pergeseran suara itu. Tentu kami akan all out di Mahkamah Konstitusi.”
Sekilas info, seperti diketahui, pada pemilu 2024 ini, suara sah pileg secara nasional tercatat 151.796.630 yang berasal dari 84 daerah pemilihan (dapil). Dihitung secara manual dari data yang telah diumumkan KPU, terdapat delapan partai politik yang meraih suara lebih dari empat persen, di antaranya, PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN, PKB, Partai Demokrat, PKS, dan Partai NasDem. Raihan suara PPP secara nasional yakni 5.878.777 dari 84 daerah pemilihan atau 3,87 persen.
Berikut ini capaian suara PPP pada pileg pasca-reformasi:
Pemilu 1999
Suara: 11.329.905 (10,71 persen)
Kursi DPR: 89
Pemilu 2004
Suara: 9.248.764 (8,15 persen)
Kursi DPR: 58
Pemilu 2009
Suara: 5.544.332 (5,32 persen)
Kursi DPR: 58
Pemilu 2014
Suara: 8.157.488 (6,53 persen)
Kursi DPR: 39
Pemilu 2019
Suara: 6.323.147 (4,52 persen)
Kursi DPR: 19
Pemilu 2024
Suara: 5.878.777 (3,87 persen)
Kursi DPR: 0
Sejarah mencatat, PPP saat dideklarasikan pada 5 Januari 1973 adalah hasil gabungan dari empat partai keagamaan, yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI).
Ketua sementara saat itu adalah Mohammad Syafa’at Mintaredja. Penggabungan keempat partai keagamaan tersebut bertujuan untuk penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia dalam menghadapi pemilihan umum pertama pada masa Orde Baru pada 1973.
Karena logo partai yang khas melekat terhadap politik agama Islam, PPP secara populer dikenal sebagai Partai Ka’bah. Awalnya, 10 partai politik berpartisipasi dalam pemilu legislatif 1971, jumlah yang dianggap terlalu banyak oleh Presiden Soeharto. Soeharto ingin agar partai politik dikurangi menjadi dua atau tiga saja dan partai-partai tersebut dikelompokkan berdasarkan programnya.
Dasar penggabungan yang kemudian melahirkan PPP adalah koalisi empat Partai Islam di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang disebut Fraksi Persatuan Pembangunan. Fraksi ini terdiri dari Nahdatul Ulama (NU), Partai Islam Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Sebelumnya, Mahfud MD dalam acara Rosi di Kompas TV, Kamis (1/2) menilai memang benar pemilu 2024 sebagai pemilu yang paling brutal sepanjang era reformasi. Awalnya Mahfud ditanya, apakah benar pemilu tahun 2024 ini menjadi yang paling brutal? “Iya, kalau dibandingkan selama reformasi ya,” ujar Mahfud.
Mahfud kemudian menceritakan kondisi pemilu 1999 yang berjalan dengan baik, begitu juga dengan pemilu berikutnya 2004 dan 2009. Ia bahkan sempat menyinggung sikap netralitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sama sekali tak menyentuh ranah yudikatif saat mencalonkan diri kembali sebagai petahana.
“Itu kan 2009 saya Hakim MK-nya, itu Pak SBY presiden, sama sekali enggak ada hubungan dengan saya untuk bicara perkara, dan saya enggak mau dan dia tahu,” tuturnya. “Jadi Pak SBY enggak pernah mau bicara perkara, ngutus orang ketemu saya enggak, pada waktu 2009 itu,” ucap Mahfud.
Namun kali ini, Mahfud bercerita tentang bagaimana kecurangan terjadi secara brutal, termasuk bentuk intimidasi dan penurunan alat peraga kampanye yang terjadi di beberapa daerah.
The Indonesian