theIndonesian – Data Forbes realtime per Maret 2024 mencatat Projogo Pangestu menjadi taipan terkaya di Indonesia dalam daftar orang terkaya Indonesia pada Maret 2024. Prajogo diketahui memiliki kekayaan mencapai USD 42,4 miliar atau setara Rp 665,76 triliun. Pria pemilik nama asli Phang Djoen Phen kelahiran 13 Mei 1944 itu menjadi orang terkaya ke-29 di dunia, berada di atas co founder produsen sepatu Raksasa Nike, Phil Knight, yang menempati posisi 30.
Posisi kedua sebagai taipan terkaya di Indonesia diduduki oleh pendiri Bayan Resources, Low Tuck Kwong. Kemudian diikuti Hartono bersaudara, Sri Prakash Lohia, Chairul Tanjung, Tahir dan keluarga, Dewi Kam, Lim Hariyanto Wijaya Sarwono, dan Djoko Susanto.
Sekilas informasi, Prajogo adalah pemilik Grup Barito Pacific. Ia sukses meraup peningkatan kekayaan bersih lebih dari delapan kali lipat menjadi USD 42,4 miliar (Rp 665,42 triliun). Posisi dia naik lima peringkat dalam daftar tahun lalu.
Prajogo pun meraih keuntungan signifikan melalui pencatatan dua perusahaannya, yaitu produsen energi panas bumi PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) dan penambang batu bara PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN). Kenaikan kekayaan yang cukup cepat dalam waktu satu tahun itu didukung dari kenaikan kinerja saham-saham Prajogo.
Prajogo Pangestu diketahui lahir di Bengkayang, Kalimantan Barat. Saat ini, sedikitnya ada empat perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dimiliki oleh dirinya. Keempat emiten tersebut adalah, induk energi PT Barito Pacific Tbk (BRPT), perusahaan petrokimia PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA), perusahaan geotermal PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), dan emiten batu bara PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN).
Laman resmi Barito Pacific menulis, Prajoga Pangestu adalah anak dari seorang pedagang karet. Karena keterbatasan ekonomi, Prajogo hanya mampu mengenyam pendidikan hingga tingkat menengah. Kondisi tersebut yang membuat dia berpikir untuk mencari pekerjaan. Meskipun sempat mencoba peruntungannya di Jakarta, namun perjuangannya tersebut belum membuahkan hasil yang memuaskan.
Akhirnya Prajogo kembali ke kampung halamannya. Ketika kembali di kampung halamannya, ia mulai bekerja sebagai sopir angkot dan membuka usaha kecil-kecilan dengan menjual bumbu dapur dan ikan asin. Di sela pekerjaannya, Prajogo bertemu dengan pengusaha kayu asal Malaysia, Burhan Uray pada 1960-an. Pertemuan tersebut menjadi titik balik nasib Prajogo.
Pada 1969, Prajogo memutuskan untuk bergabung di perusahaan milik Burhan, yakni PT Djajanti Grup. Tujuh tahun kemudian, Burhan mengangkat Prajogo menjadi general manager (GM) di pabrik Plywood Nusantara, Gresik, Jawa Timur.
Prajogo hanya menjabat sebagai GM Djajanti Group selama satu tahun saja. Karena dia memutuskan untuk mengundurkan diri dan membeli sebuah perusahaan yang saat itu mengalami krisis finansial, yang bernama CV Pacific Lumber Coy.
Pada saat itu, Prajogo mengajukan pinjaman dari bank untuk membeli perusahaan tersebut. Setelah akuisisi, perusahaan tersebut diubah namanya menjadi PT Barito Pacific. Perusahaan yang didirikannya saat itu mulai go public pada 1993. Lalu pada 2007, ia mengganti nama perusahaannya menjadi Barito Pacific setelah mengurangi bisnis kayunya.
Barito Pacific kemudian mengakuisisi 70% saham perusahaan petrokimia Chandra Asri, yang juga diperdagangkan di BEI pada 2007. Lalu pada 2011, Chandra Asri bergabung dengan Tri Polyta Indonesia dan menjadi produsen petrokimia terbesar di Indonesia.
Thaioil kemudian mengakuisisi 15% saham Chandra Asri pada Juli 2021 dan menjadi produsen petrokimia terbesar di Indonesia. Mereka kemudian memulai mengembangkan situs petrokimia kedua pada 2022.
(TheIndonesian)