theIndonesian – Anda ingin menjadi penguasa tanpa batas? Semua orang takut kepada Anda? Semua orang akan menuruti perintah Anda? Dan, Anda bisa berlaku sesuka hati kalian ketika kalian menjadi penguasa? Kalimat tersebut mungkin terdengar provokatif. Tapi itulah yang ada di dalam buku Sang Penguasa atau ada yang menyebutnya juga Sang Pangeran (Il Principe) karangan Niccolo Machiavelli.
Buku ini awalnya diterbitkan pada 1532 oleh Machiavelli dan terkenal karena menyoroti sifat manusia, kekuasaan, dan politik. Machiavelli menggunakan pendekatan realistis dan pragmatis terhadap politik, menganggap politik sebagai arena kekuasaan yang harus dijalankan dengan kecerdikan.
Machiavelli adalah seorang filsuf, penulis, diplomat, dan pemikir politik yang lahir di Firenze, Italia, pada 3 Mei 1469, dan meninggal pada 21 Juni 1527 di Firenze. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh terpenting dalam pemikiran politik pada masa Renaisans. Il Principe adalah salah satu karya paling terkenal yang ditulis olehnya.
Semula, buku itu ditulis oleh Machiavelli sebagai persembahannya kepada Lorenzo De’Medici (1 Januari 1449 – 9 April 1492), seorang negarawan Italia dan penguasa de facto Republik Florentine pada masa Renaissance Italia.
Buku tersebut menggambarkan sejumlah petunjuk bagaimana para raja harus memerintah, memahami sepenuhnya sifat dan ciri rakyat, orang harus menjadi raja, dan untuk memahami sepenuhnya ciri dan sifat raja-raja.
Melalui buku ini, Machiavelli berharap kepada De’Medici menjadi raja yang dapat mencapai puncak kemuliaan. Perkembangannya, banyak orang yang membaca dan mendalami buku. Sebut saja Adolf Hitler dan Bennito Mussolini. Keduanya bahkan menerapkan ada yang ada di dalam buku tersebut sampai pada titik ekstrim.
Akibatnya, Machiavelli dicap sebagai guru para excellence pengkhianatan politik dengan siasat yang jahat dan beriku-liku. Namun, ada juga yang menganggap Machiavelli sebagai god father intelektual dalam politik. Adanya dua penilaian yang berbeda itu menjadi menarik untuk dikaji, apalagi jika dihubungkan dengan munculnya para penguasa di dunia dengan berbagai karakter yang berbeda.
Konon, hampir semua pimpinan di dunia pernah membaca buku ini. Kabarnya, Napoleon Bonaparte selalu tidur dengan buku ini berada di bawah bantalnya. Begitu pula dengan Adolf Hitler, Vladimir Lenin dan Joseph Vissarionovich Stalin.
Bennito Mussolini bahkan secara khusus mengkaji buku ini dalam karya tulis doktoralnya. Bila membaca lebih dalam metode Machiavelli, maka kita akan menemukan pula kesamaannya dengan metode yang dulu atau bahkan kini sedang diterapkan kembali di Indonesia.
Karangan Machiavelli ini ditempatkan dalam konteks wacana mengenai bagaimana mendapatkan suatu kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Machiavelli banyak melihat bagaimana cara-cara seorang pemimpin itu berkuasa terutama di Italia tempat ia dilahirkan dan kemudian dia tuliskan.
Machiavelli oleh Michael H Hart (Penulis Buku Best Seller The 100 a Ranking of the Most Influential Persons in History) dimasukkan ke dalam deretan 100 tokoh yang paling berpengaruh dalam sejarah Manusia.
Salah satu pernyataan Machiavelli yang cukup fenomenal dan kontroversi di dalam Il Principe adalah, “….membunuh sahabat seperjuangan, menghianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki agama: kesemua hal ini tidak dapat digolongkan sebagai tindakan yang bermoral, namun dapat memberikan kekuatan…”
Selama berabad-abad, kemudian nama Machiavelli dijadikan sebuah sinonim negatif bagi kelicikan dan kepalsuan. Orang yang terlihat begitu ambisius dan selalu berupaya mencapai tujuannya dengan segala cara akan disebut sebagai machiavellis.
***
Il Principe, sebagai sebuah bacaan terkait strategi, propaganda, dan taktik, biasanya akan lebih mudah diterapkan di dalam sebuah negara yang kondisi politiknya tidak stabil dan kerap terjadi konflik.
Machiavelli di dalam buku itu coba memberikan panduan praktis kepada para pemimpin dalam menjalankan kekuasaan dan mempertahankan negara mereka. Il Principe tetap menjadi karya yang relevan dan kontroversial dalam ilmu politik hingga saat ini, menimbulkan diskusi dan perdebatan yang berkelanjutan.
Machiavelli menolak pandangan romantik atau idealis tentang politik dan menggambarkannya sebagai arena kekuasaan yang keras dan penuh dengan intrik. Ia juga percaya bahwa para pemimpin harus memiliki pemahaman yang jelas tentang sifat manusia dan kekuasaan untuk mempertahankan kendali mereka.
Machiavelli di dalam bukunya melakukan sebuah kajian teoritis, di mana salah satunya adalah analisis historis. Ia mempelajari sejarah negara-negara kuno dan peristiwa politik yang terjadi untuk menarik kesimpulan yang relevan.
Secara cerdas Machiavelli melalui studi kasus sejarahnya mengamati keputusan dan tindakan para penguasa yang berhasil dan yang gagal, dan menyimpulkan prinsip-prinsip politik yang dapat diterapkan dalam situasi politik yang beragam.
Kepintaran Machiavelli juga terlihat ketika ia mempertimbangkan sifat manusia dalam konteks politik. Ia menyoroti ambisi, kepentingan pribadi, dan naluri manusia untuk mencapai tujuan mereka sendiri. Sejumlah pemahaman ini kemudian membentuk dasar teoritis Machiavelli dalam merumuskan strategi politik yang efektif.
Pendapat Machiavelli, pemimpin harus memahami kekuatan manusia dan memanfaatkannya untuk keuntungan politik mereka. Kemudian, Machiavelli juga mencermati hubungan antara penguasa dan rakyat.
Kecerdikan Machiavelli juga terlihat ketika ia mengakui bahwa pemimpin harus mempertimbangkan kepentingan rakyat untuk memperoleh dukungan mereka, tetapi pada saat yang sama, harus berani dan tegas dalam mengambil keputusan yang sulit, meskipun harus mengkhianati rakyatnya sendiri.
Kajian Machiavelli lainnya berfokus pada dinamika kekuasaan dan interaksi antara pemimpin dan rakyat. Ia menggunakan pendekatan realistis dan pragmatis. Machiavelli lantas mengeksplorasi dimensi politik yang sering kali diabaikan atau diromantisasi oleh teori politik konvensional.
Pernyataan Machiavelli paling kontroversi lainnya adalah, dalam mencapai tujuan, pemimpin harus mampu mengambil tindakan yang diperlukan, terlepas dari pertimbangan moralitas. Pemimpin harus siap menggunakan kekuatan dan manipulasi politik untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Machiavelli juga menyoroti pentingnya kecerdikan dan kebijaksanaan dalam menjalankan kekuasaan. Ia menyatakan bahwa pemimpin harus cerdas dalam membaca situasi politik, memahami dinamika kekuasaan, dan mampu mengambil keputusan yang tepat.
Ia pun menekankan bahwa pemimpin harus fleksibel dan siap beradaptasi dengan situasi yang terus berubah untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Machiavelli membahas strategi dan taktik yang efektif dalam mempertahankan kekuasaan.
Ia menguraikan prinsip-prinsip politik seperti membangun sekutu yang kuat, memenangkan kepercayaan rakyat, dan mengendalikan elit politik. Machiavelli menekankan pentingnya kekuasaan yang kokoh dan tidak bergantung pada faktor-faktor yang tidak dapat diandalkan.
“….pemimpin harus siap untuk melakukan tindakan yang tidak bermoral jika itu diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan dan kestabilan negara”.
***
Saking tersohornya Machiavelli bahkan ‘dunia kesehatan/kejiwaan’ membuat sebuah nama atau istilah baru bernama machiavellianism. Machiavellianism merupakan suatu bentuk kepribadian yang manipulatif. Saat seseorang dengan kepribadian ini memiliki tujuan, mereka akan memikirkan dan melakukan berbagai cara untuk mencapainya. Sayangnya, mereka tidak memikirkan perasaan orang lain yang terlibat.
Pengidap Machiavellianism kerap juga menggunakan perilaku manipulatif untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, bahkan tindak penipuan dan eksploitasi. Kepribadian machiavellianism cenderung lebih umum terjadi pada pria, tetapi dapat menyerang siapa saja dan segala usia.
Bagi orang awam yang tidak mengetahui soal Machiavellianism, saat berinteraksi dengan pengidap, kita mungkin menemukan perilaku mereka sangat menawan dan menarik. Akan tetapi, kita tidak pernah benar-benar merasa ‘dekat’ dengan mereka. Tidak seperti seorang narsisis, pengidap kepribadian ini cenderung akan berusaha untuk mencapai tujuannya tanpa menjadi pusat perhatian.
Para ahli kejiwaan menggolongkan kepribadian machiavellianism dalam the dark triad. Kepribadian ini muncul pada 2002 silam dengan tiga jenis, yaitu narsisme, psikopat, dan machiavellianism.
Adapun, yang menjadi penyebab munculnya kepribadian ini bisa jadi sangat beragam. Namun, sebagian besar kasus gangguan kesehatan mental ini terjadi karena adanya kecenderungan genetik terhadap kepribadian yang manipulatif, egois, dan tidak memiliki perasaan.
Efek yang pengidap dapatkan dari orang tua juga memiliki peran penting dalam terjadinya machiavellianism. Pasalnya, awal mula terbentuknya kepribadian seseorang bisa jadi karena melihat sosok yang bisa menjadi panutan. Oleh karena itulah, awal hidup yang buruk akan berperan dalam pembentukan karakter.
Setiap orang bisa memiliki kepribadian manipulatif ini, namun risiko lebih besar terjadi pada beberapa kondisi berikut, seperti berjenis kelamin pria, memiliki sosok yang menjadi panutan, pengaruh dari kedua orang tua.
Sementara terkait gejala yang muncul, penderita machiavellianism umumnya menunjukkan sejumlah sikap dan perilaku berikut. Pertama, manipulatif. Machiavellianism cenderung berbohong, menipu, dan menyanjung untuk mendapatkan apa yang menjadi keinginan mereka. Machiavellianism juga merupakan seorang perencana yang andal untuk jangka panjang dan ahli strategi yang baik.
Seorang machiavellianism dapat membaca karakter seseorang dan cenderung memanfaatkan rasa takut atau kelemahan orang lain untuk memenuhi keinginannya. Selain itu, ia juga berpura-pura simpati, dan dapat sangat memesona pada awalnya, tetapi kemudian menggunakan taktik yang lebih agresif seperti intimidasi.
Kedua, menipu. Machiavellians memahami bahwa memiliki informasi itu adalah hal yang sangat penting. Inilah sebabnya, pengidap sering tidak berbagi informasi dengan orang lain kecuali hal itu menguntungkan baginya. Namun, mereka mungkin memanipulasi informasi dan bisa sangat licik dalam mengambil informasi yang tidak berkaitan dengan luar konteks.
Ketiga, ambisius. Seorang machiavellianism bisa sangat ambisius dan kerap menggunakan berbagai cara untuk mencapai ambisi tersebut. Sebuah studi pada 2016, mengevaluasi machiavellianism pada supervisor, menemukan tipe kepribadian ini membuat manajer menjadi kasar dan menyendiri.
Selain itu, pelecehan menjadi tindakan yang paling umum ketika berada dalam posisi kekuasaan. Para peneliti menganggap bahwa kekuatan mungkin merupakan penguat yang menarik kecenderungan perilaku, emosi, dan keyakinan yang sudah ada sebelumnya.
Keempat, minim empati dan kasih sayang. Machiavellianism kurang empati dan kasih sayang. Kalau pun mereka melakukan itu, mereka sedang berpura-pura atau bersandiwara. Terlepas dari kekuatan mereka dalam memanipulasi orang lain, penelitian dalam Twin Research and Human Genetics menunjukkan bahwa orang dengan kepribadian ini sebenarnya cenderung kurang cerdas secara emosional.
Kelima, fokus pada kepentingan pribadi. Biasanya, machiavellians selalu menunjukkan sikap sinis. Setiap pengidap kepribadian machiavellianism percaya bahwa setiap orang bertindak untuk kepentingan sendiri, sehingga mereka tidak menjalin hubungan dekat dan tidak mudah percaya.
Uang dan kekuasaan lebih berarti bagi mereka daripada hubungan dengan orang lain. Orang-orang pada kelompok ini juga bisa sangat tidak loyal, karena tekad diri dapat membuat mereka mengabaikan aspek sosial atau ikatan kepercayaan.
Keenam, kompetitif. Machiavellian sangat kompetitif, jadi mereka memandang semua orang sebagai musuh. Mereka bersedia untuk mengambil kursi belakang atau menjadi pemain tim hanya jika menguntungkan untuk diri mereka sendiri.
Pertanyaannya kemudian, apakah gejala machiavellians dan penganut garis keras Machiavelli sudah ada di republik ini? Atau memang sebenarnya sudah terjadi namun kita tidak sadar dan tidak memahaminya?
(TheIndonesian)