theIndonesian – Pembangunan nasional diarahkan untuk mewujudkan kemakmuran dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pelaksanaan Pembangunan tersebut menjadi kewenangan presiden sebagai penyelenggara pemerintahan negara.
Namun, kewenangan presiden bukanlah tidak terbatas, karena ia bertanggung jawab kepada rakyat dan harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Pembangunan yang dilaksanakan presiden sudah tentu harus benar-benar untuk kepentingan umum, untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Ketika pembangunan akan dilaksanakan, secara otomatis negara membutuhkan lahan atau tanah. Cara pengadaan tanah, pada praktiknya ditempuh negara ketika perbuatan hukum keperdataan mengalami kebuntuan.
Pengadaan tanah oleh negara atas nama kepentingan umum kerap menimbulkan masalah. Hernando de Soto, seorang ekonom dari Peru yang dikenal atas pemikirannya di bidang ekonomi informal, mengungkapkan, beberapa pemerintah banyak terlibat dalam proses pengambilalihan tanah untuk kepentingan ekonomi secara extra legal.
Bahkan, penelitian Asian Development Bank yang disampaikan pada Resettlement Guidelines Development workshop di Yogyakarta pada 1998 berkesimpulan bahwa banyak kerugian dan potensi kerugian sebagai dampak pengadaan tanah oleh negara untuk kepentingan umum.
Problematika pengadaan tanah untuk kepentingan umum, selain dipicu faktor besaran ganti rugi dan faktor level atau materi perundangannya, tetapi juga disumbangkan juga dari penentuan atau penetapan jenis dan bentuk kepentingan umum.
Banyak kasus, semula pengadaan tanah oleh negara dialokasikan untuk kepentingan umum namun realisasinya dipergunakan untuk kepentingan komersial. Hal tersebut banyak diungkap oleh Gunanegara dalam bukunya yang berjudul Rakyat & Negara dalam Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
Gunanegara dalam bukunya tersebut juga menulis, pengalihan penggunaan tanah dari tujuan semula akan mencederai hak-hak kepemilikan rakyat, dan secara kultural terbangun opini masyarakat bahwa pengadaan tanah yang dijalankan negara akan melahirkan kesengsaraan pemilik tanah.
Soal istilah kepentingan umum, tulis Gunanegara, itu yang menjadi kata kunci dalam pengadaan tanah oleh negara. Istilah kepentingan umum merupakan konsep hukum yang dapat digunakan digunakan untuk melemahkan penggunaan hak-hak rakyat atas tanah.
Namun, tidak berarti kepentingan perorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum. Keseimbangan di antara kedua hak, antara hak perorangan dan hak negara telah diatur dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang memperhatikan dan menjamin kepentingan perseorangan.
Namun, ada pula prinsip ‘semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial’. Artinya, bahwa hak atas tanah apa pun, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya.
Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifatnya yang bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang empunya, nasyarakat, dan negara.
Sudah seperti axioma (pernyataan di mana pernyataan yang diterima sebagai suatu kebenaran dan sifatnya umum, serta tidak perlu adanya pembuktian, red)—baik di negara liberal apalagi di negara sosialis—bahwa kepentingan umum adalah konsepsi yang superior dibanding kepentingan perserorangan.
Superioritas kepentingan umum yang demikian itu harus ditetapkan dengan undang-undang dan harus dirumuskan dengan jelas, tegas, dan limitatif.
Pengaturan kepentingan umum menjadi strategis untuk menghindari tindakan kesewenang-wenangan dari negara terhadap hak-hak rakyatnya, sekaligus untuk kepastian hukum, jaminan hukum, dan perlindungan hukum hak-hak rakyat.
Superioritas kepentingan umum harus tetap menghormati dan memperhatikan kepentingan perserorangan, karena hak-hak privat telah dijamin UUD 1945, khususnya pasal 28H dan 28G.
Kenapa superioritas kepentingan umum harus dibatasi? Karena arti kepentingan umum tidak mudah untuk dirumuskan. Teoris hukum terkenal dari Belanda, Jan Gijssel, berpendapat, kepentingan umum adalah pengertian kabur (vage begrip), sehingga tidak mungkin diinstusinalisasikan ke dalam norma hukum, yang apabila dipaksakan akibatnya akan menjadi norma kabur (vage normen).
JJH Bruggink, ahli hukum yang diakui dunia, mengatakan, kepentingan umum sebagai suatu ‘pengertian yang kabur’ artinya suatu pengertian yang isinya tidak dapat ditetapkan secara tepat, sehingga lingkupnya tidak jelas.
Membicarakan tanah tidak hanya berkaitan dengan hak, tapi juga berhubungan dengan moralitas, etika, kodrat, bahkan kepentingan. Hak milik menurut Georg Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf idealis Jerman, merupakan karakteristik dari hukum positif. Istilah hak pada dasarnya adalah ‘claim’ atau tuntutan, dan suatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum. Sementara kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi.
Hans Kelsen, seorang ahli hukum dan filsuf Austria, lebih tegas dengan pendapatnya yang mengatakan hanya hak yang dilindungi oleh hukum. Sedangkan kepentingan pada hakekatnya mengandung kekuasaan yang dijamin dan dilindungi oleh hukum. Melalui perlindungan hukum tersebut, maka subyek hak dapat menuntut haknya terhadapn setiap gangguan pihak lain, termasuk negara.
Artinya, kepentingan merupakan sasaran hak, bukan hanya karena ia dilindungi oleh hukum, melainkan juga karena adanya pengakuan terhadapnya. Jika disederhanakan—bahwa hak adalah kepentingan—jadi hak privat adalah kepentingan privat, sedangkan hak publik adalah adalah kepentingan umum.
Kedua kepentingan atau kedua hak tersebut dalam implementasinya selalu bertolak belakang atau selalu berseberangan, bahkan tidak bisa disatukan tetapi bisa didekatkan. Secara implisit, jangan sampai ketika pengadaan tanah atas nama kepentingan umum maka negara memliki kuasa penuh dan mengakibatkan rakyatnya merana.
(TheIndonesian)