theIndonesian – Sektor minyak dan gas bumi masih berperan penting dalam kehidupan manusia, meskipun saat ini dunia punya komitmen untuk melakukan transisi energi bersih demi mencapai target nol emisi karbon pada 2060.
Hal itu diungkapkan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif pada pembukaan Indonesia Petroleum Association Conference and Exhibition (IPA Convex) 2024 di Tangerang, Banten, Selasa (14/5).
Kata Arifin, “Bagi Indonesia, selama transisi menuju Net Zero Emission pada 2060, minyak dan gas akan terus memainkan peran penting dalam mengamankan pasokan energi, khususnya di bidang transportasi dan pembangkit listrik.”
Arifin pun bilang, “Gas akan digunakan untuk menjembatani 100 persen penerapan pembangkit energi terbarukan. Meskipun demikian, industri hulu migas harus menerapkan strategi penurunan emisi, termasuk penerapan teknologi energi bersih seperti CCS/CCUS.”
Arifin lalu menjelaskan bahwa guna memenuhi kebutuhan migas dalam negeri, saat ini Indonesia fokus pada upaya eksplorasi cekungan migas.
Komentar dia, “Indonesia masih menyimpan banyak cadangan migas yang belum dimanfaatkan, dari 128 cekungan hidrokarbon, 68 di antaranya belum dieksplorasi.”
Arifin pun lalu menukil laporan BP Energy Outlook terkait dengan masa depan migas secara keseluruhan. Laporan tersebut menunjukkan total konsumsi akhir, termasuk minyak dan gas, yang mencapai puncaknya pada pertengahan hingga akhir 2020-an dalam skenario Accelerated dan Net Zero.
Arifin berkata, “Sebaliknya, dalam skenario New Momentum, yang mencerminkan sistem energi dunia saat ini, total konsumsi akhir meningkat hingga sekitar 2040, setelah itu konsumsi energi mencapai titik stabil pada tahun 2050.”
Perlu diketahui, lanjut Arifin, dalam tiga skenario transisi energi, yakni Accelerated, Net Zero, dan New Momentum, pemanfaatan minyak dan gas tetap dilakukan hingga 2050, meskipun penggunaan langsungnya menurun karena peningkatan efisiensi energi, peningkatan penggunaan listrik, dan dekarbonisasi sektor ketenagalistrikan.
Di sisi lain, sejumlah pengamat menilai bahwa jebloknya produksi minyak dan gas nasional salah satunya disebabkan tidak mumpuninya kinerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) di bawah kendali Dwi Soetjipto.
Bahkan, desakan untuk mencopot Dwi Soetjipto dari kursi kepala SKK Migas terus santer terdengar. Pasalnya, selama di bawah komando Dwi, peran SKK Migas seakan tidak memiliki taji dan terlihat memble. Padahal, Dwi telah duduk sebagai kepala SKK Migas sudah lebih dari lima tahun.
Data The Indonesian mengungkapkan, saat ini produksi minyak nasional hanya 586 ribu barel per hari (bph). Di sisi lain, impor crude oil (minyak mentah) telah mencapai 514 ribu bph. Ini dengan perhitungan bahwa kapasitas kilang nasional yang sekitar 1,1 juta bph dikurangi 576 ribu bph, jadinya 514 ribu bph.
Secara nasional, Indonesia kini hanya bisa memproduksi BBM sebanyak 850 ribu bph, dengan konsumsi nasional mencapai 1.4 juta bph.
Indonesia pun perlu impor BBM sebanyak 550 ribu bph. Total impor crude oil dengan BBM berarti 514 ribu bph ditambah 550 ribu bph, jadi 1,064 juta bph.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman pernah menegaskan, selisih impor yang lebih besar dibandingkan produksi dalam negeri sangat mengkhawatirkan.
“Ini soal ketahanan energi nasional. Jelas bahwa program produksi satu juta bph gagal total. Pihak yang paling bertanggung jawab adalah Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto. Dia harus secepatnya dicopot,” tegas Yusri.
The Indonesian