theIndonesian – Kinerja Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) saat ini sedang mendapat sorotan tajam dari sejumlah pihak, terutama terkait terus jebloknya produksi migas nasional dan tidak tercapainya secara terus menerus lifting nasional.
Bahkan, desakan untuk mencopot Dwi Soetjipto dari kursi kepala SKK Migas terus santer terdengar. Pasalnya, selama di bawah komando Dwi, peran SKK Migas seakan tidak memiliki taji dan terlihat memble. Padahal, Dwi telah duduk sebagai kepala SKK Migas sudah lebih dari lima tahun.
Sejumlah anggota DPR pun mendesak agar secepatnya posisi Dwi Soetjipto segera digantikan oleh orang yang lebih paham sektor migas.
Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) menegaskan bahwa Indonesia saat ini memerlukan sejumlah terobosan yang kolaboratif dan komprehensif demi memajukan kembali industri migas Tanah Air.
Pasalnya, saat ini kondisi industri migas di Indonesia sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja.
Namun, Aspermigas menilai bahwa jika dilihat dari sisi potensi migas, Indonesia masih sangat besar dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Sekretaris Jenderal Aspermigas Elan Biantoro di Jakarta, Kamis (2/5), bilang, “Saat ini kami yang di dalam Aspermigas sedang berusaha untuk menata kembali dari kinerja sampai produksinya.”
Elan kembali komentar, “Sebenarnya perusahaan migas di Indonesia masih memiliki semangat yang sangat bagus, semangat untuk maju, untuk naik, untuk memperbaiki performances.”
Elan kemudian membandingkan kondisi geologi Indonesia dengan Malaysia. “Produksi migas kita dengan Malaysia itu hampir sama. Padahal Malaysia jumlah cekungannya sedikit sementara Indonesia sangat banyak. Itu menandakan kita tidak memberdayakan sumber daya minyak dan gas kita secara optimal,” kata dia.
Penjelasan Elan, sebagai negara net importer migas, Indonesia tidak bisa terlepas dari kondisi yang terjadi dalam tataran global. Dia lalu menyebut soal perang antara Rusia dan Ukraina hingga konflik Iran dan Israel yang turut mendongkrak naiknya harga minyak.
Elan pun kembali melanjutkan analisanya, meskipun dari sisi hulu perusahaan migas masih bisa meraup untung, namun dari sisi hilir cukup terjepit dengan tingginya harga minyak.
Kata dia, “Beban negara yang masih menanggung subsidi energi pun menjadi bertambah. Harga minyak naik ini membuat beban negara besar sekali karena Indonesia saat ini masih tergantung pada impor. Berat bagi kita sebagai net importer minyak maupun elpiji.”
Penegasan Elan, “Saat ini masih ada ketidakpaduan dalam sistem pengelolaan migas di Indonesia dan hal tersebut perlu dibenahi. Hal itu bisa dimulai dari regulasi dalam hal ini soal revisi UU Migas.”
Elan kemudian sedikit bercerita soal kejayaan industri migas nasional pada dekade 1970an, 1980an, hingga 1990an. “Ada kekhususan minyak yang sempat diterapkan pada periode tersebut. Saat itu kita punya yang namanya kekhususan minyak, di mana negara betul-betul mengawal, jangan ada yang ganggu, termasuk mafia migas.”
Menilik kondisi saat ini, Elan lalu menyarankan agar republik ini kembali berkaca pada era kejayaan tersebut. “Perlu dibuat proses sistem yang komprehensif dari hulu ke hilir satu bundling system, satu tata kelola yang tidak terpisah-pisah,” ujar dia.
Dia melanjutkan, “Sekarang ini hulu sendiri, hilir sendiri, midstream pun sendiri. Artinya lembaga pengawas dan pengedalinya terpisah sehingga untuk berkoordinasi menjadi tidak singkron.”
Elan pun sedikit memberi solusi perlunya satu lembaga atau badan usaha yang ditunjuk oleh negara sebagai kuasa usaha yang mengurus sektor migas dari hulu ke hilir.
“Ini bisa memperbaiki sistem tata kelola migas di Indonesia ke arah lebih baik. Kami beberapa kali dipanggil untuk berdiskusi dengan Komisi VII DPR, yang kami bawa itu. Substansi itu harus dimasukkan,” jelas Elan.
The Indonesian