theIndonesian – Produsen nikel dan baja nirkarat (stainless steel) terbesar di dunia asal Cina, Tsingshan Holding Group Co, ternyata menjadi kekuatan tersembunyi di balik nikel Australia yang diproduksi Nickel Industries Ltd di Indonesia.
Tsingshan adalah pemegang saham terbesar Nickel Industries. Nickel Industries memiliki saham di lima pabrik di Indonesia yang menghasilkan lebih banyak komoditas dibandingkan dengan perusahaan terkenal seperti BHP Group Ltd.
Dilansir dari Bloomberg Technoz, Selasa (23/4), masuknya Nickel Industries kala itu dengan memanfaatkan sektor nikel di Indonesia yang booming karena Cina,
Publik perlu tahu, saat ini Nickel Industries telah menjelma dari perusahaan Australia yang kurang dikenal menjadi representasi Barat dari raksasa nikel Cina.
Nickel Industries berkat Tsingshan Holding Group Co telah berkembang dari penambang yang relatif kecil menjadi produsen logam terbesar keenam di dunia.
Mereka saat ini menghasilkan produk mulai dari baterai hingga baja nirkarat dalam waktu kurang dari satu dekade.
Bloomberg Technoz menulis, perusahaan yang dimiliki oleh miliarder Xiang Guangda itu telah membangun pabrik peleburan untuk perusahaan Australia tersebut dengan kecepatan dan biaya yang memberikan keunggulan dibandingkan dengan pesaingnya.
Sebagai imbalannya, Nickel Industries memberikan Tsingshan, yang sangat bergantung pada pasar Cina,akses ke investor Barat.
Hal ini pun kemudian dimanfaatkan oleh perusahaan Cina untuk mendapatkan kembali modal yang telah dikucurkan ke Indonesia dan potensi Cina untuk masuk ke pasar kendaraan listrik AS melalui ‘pintu belakang’.
Angela Durrant, analis logam dasar utama di konsultan CRU Group, bilang, “Mereka menyadari bahwa mereka harus mampu menjual ke pasar lain. Mereka ingin bisa mengatakan bahwa yang keluar bukan produk Cina.”
Bloomberg Technoz lalu mengungkapkan bahwa bagi Nickel Industries, hubungan dengan raksasa Cina ini adalah pedang bermata dua.
Catatan mereka, meskipun perusahaan-perusahaan Cina yang dipimpin oleh Tsingshan mendominasi hilirisasi nikel di Indonesia, beberapa perusahaan dan investor Barat khawatir akan ketergantungan pada perusahaan-perusahaan tersebut.
Sekedar informasi, di luar ketegangan geopolitik antara Beijing dan Washington, banyak perusahaan masih melihat Indonesia, yang menyumbang lebih dari setengah produksi nikel global, sebagai tempat yang berisiko untuk berinvestasi.
Hal ini sebagian disebabkan oleh sejarah investor asing kehilangan kendali atas aset atau terkena larangan ekspor komoditas mentah pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Ada pula kekhawatiran mengenai meluasnya penggunaan batu bara, kerusakan lingkungan akibat pertambangan dan kecelakaan industri yang mematikan.
Chief Executive Officer Nickel Industries Justin Werner dalam sebuah wawancara bulan lalu, dikutip dari Bloomberg News, bilang, “Ada skeptisisme karena kami mendapat pukulan ganda karena berada di Indonesia dengan mitra Cina.”
D satu sisi, perlu diakui bahwa tanpa Tsingshan, Nickel Industry tidak akan ada dalam bentuknya yang sekarang. Perusahaan yang bermarkas di Sydney ini memulai aktivitasnya di Indonesia dengan memulai pertambangan di tempat yang saat itu merupakan cadangan nikel terpencil di Sulawesi, sebelah timur Kalimantan.
Namun, perusahaan terpaksa menghentikan operasinya ketika pemerintah melarang ekspor bijih mentah untuk mendukung industri peleburan dalam negeri pada 2014.
Kala itu, Tsingshan sedang membangun beberapa pabrik peleburan nikel pertama di Indonesia yang terletak hanya beberapa kilometer jauhnya, tetapi mengalami kesulitan membeli saham di tambang terdekat.
Raksasa Tiongkok ini mulai membeli bijih perusahaan Australia tersebut, sebelum mengambil 20 persen saham seharga USD 26 juta pada 2018.
Justin Werner kembali komentar, “Itulah asal mula hubungan ini. Itu bukan perencanaan besar kami, hanya kebetulan.”
Nickel Industries menggunakan dana tersebut dan dana lainnya untuk membeli 25 persen kepemilikan di dua jalur peleburan nikel yang sedang dibangun Tsingshan di Indonesia Morowali Industrial Park, yang dikenal sebagai IMIP, di Pulau Sulawesi.
Sejak kedatangannya di Indonesia 15 tahun yang lalu, Tsingshan telah memelopori gelombang investasi Cina senilai lebih dari USD 30 miliar di sektor peleburan nikel.
Upaya tersebut dipusatkan pada kawasan industri besar seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang telah membantu lonjakan ekspor Indonesia dan pembangunan pabrik high-pressure acid leach (HPAL) yang menghasilkan nikel untuk sektor baterai.
Peningkatan produksi ini memicu anjloknya harga nikel pada tahun lalu, sehingga memaksa beberapa penambang di negara lain mempertimbangkan penutupan untuk selamanya.
Namun, berkat skala ekonomi, tenaga kerja murah dan batu bara, pabrik peleburan di dalam kawasan seperti IMIP tetap beroperasi. Pabrik tersebut termasuk empat pabrik yang mayoritas dimiliki oleh Nickel Industries yang dibangun oleh Tsingshan.
Konglomerat baja nirkarat tersebut telah menggunakan perusahaan Australia untuk mendiversifikasi investor yang terlibat di kawasan industri dan mengurangi konsentrasi risiko di sana, menurut seseorang yang mengetahui hal tersebut, sambil tetap mempertahankan pengaruhnya dengan memegang 23 persen saham perusahaan tersebut.
Angela Durrant kembali berkata, “Hubungan ini bersifat sepihak, tetapi menurut saya itulah yang harus mereka lakukan agar dapat beroperasi di Indonesia.”
Meskipun kerja sama dengan Cina telah menjadi berkah bagi Nickel Industries sejauh ini, terdapat risiko penurunan yang jelas. Sebab, sejak didirikan, IMIP telah menjadi tempat terjadinya sejumlah kecelakaan industri.
Kebakaran di fasilitas pengolahan nikel milik Tsingshan pada Desember 2023 menewaskan 21 orang dan mendorong pemerintah Indonesia untuk menuntut Cina meningkatkan operasi peleburan di Indonesia. Insiden itu masih dalam penyelidikan.
Sisi lainnya, keterlibatan Tsingshan juga berpotensi menjadi hambatan untuk Nickel Industries mengakses pasar yang berkembang pesat, Amerika Serikat.
Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau inflation Reduction Act (IRA) yang dikeluarkan pemerintahan Joe Biden menawarkan subsidi yang besar untuk kendaraan listrik, asalkan kendaraan tersebut hanya mengandung sedikit komponen dari perusahaan Cina.
The Indonesian | Bloomberg Technoz | Bloomberg News