theIndonesian – Kejaksaan Agung diminta tidak langsung mengklaim bahwa kerugian akibat kasus korupsi izin usaha pertambangan (IUP) yang terjadi di PT Timah Tbk dalam kurun 2015 hingga 2022 mencapai angka yang fantastis Rp 271 triliun.
Hal tersebut ditegaskan oleh Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) dalam keterangan tertulis yang dikirim ke The Indonesian, Rabu (3/4). Direktur Eksekutif CERI Yusri Usman bilang, “Angka itu bukan dari Laporan Hasil Perhitungan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berhak melakukan penghitungan.”
Baca juga: Kasus Korupsi Komoditas Timah, Kejagung Blokir Semua Rekening Harvey Moeis
Yusri kembali komentar, “Angka itu merupakan kerugian ekologis menurut guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo yang diamati menggunakan citra satelit sejak 2015 hingga 2022.”
Pendapat Yusri, “Nilai itu sangat fantastis, hingga kini menjadi sorotan publik. Jangan sampai ini menjadi fitnah luar biasa bagi 16 orang yang saat ini telah ditetapkan sebagai tersangka beserta keluarganya.”
Yusri pun menilai dengan janggal soal kerugian ekologis yang mencapai ratusan triliun rupiah tersebut. Alasan dia, setiap pemilik IUP Operasi Produksi berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, mewajibkan jaminan reklamasi ( jamrek) yang ditentukan besarannya oleh Ditjen Minerba Kementerian ESDM.
“Dana ini yang kemudian digunakan Ditjen Minerba untuk memulihkan lubang tambang jika pemilik IUP tidak melakukan reklamasi. Bahkan jamrek ini juga dijadikan syarat RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) setiap tahunnya,” kata Yusri.
Baca juga: Kejaksaan Agung Sita Rolls Royce dan Mini Cooper Milik Harvey Moeis
Yusri mempertanyakan jangan sampai kemudian jamrek tersebut tidak dipenuhi oleh pemilik IUP dengan persetujuan pejabat di Ditjen Minerba. Komentar dia, “Kalau ini terjadi, celaka. Perlu diketahui juga, kerugian akibat kerusakan lingkungan berbeda dengan kerugian negara.”
Yusri lalu menyitir pasal 2 dan 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK. Penegasan dia, “Masyarakat jangan dikasih informasi yang menyesatkan. Penghitungan guru besar IPB itu seharusnya tidak serta merta dijadikan oleh Kejaksaan Agung sebagai besaran dugaan kerugian negara.”
Dia kembali mengingatkan, “Secara konstitusional, BPK lebih berhak menghitung besarnya kerugian negara. Jangan main-main, karena menyangkut harkat dan martabat 16 warga negara yang dijadikan tersangka beserta keluarganya.”
Baca juga: Menguak Para “Tikus dan Kucing Garong” Hingga Mafia Besar dalam Korupsi Tambang Timah
Yusri juga menyindir bahwa hal tersebut adalah cara-cara tidak manusiawi yang terkesan hanya sekadar mencari sensasi dengan seolah-olah menyebutkan angka fantastis. Dia berkata, “Betul saya setuju kita harus mendukung pemberantasan korupsi secara tuntas dan jangan tebang pilih, karena ini kejahatan luar biasa. Tapi harus juga dengan cara yang menjunjung hak asasi manusia.”
Ia pun menambahkan kewenangan BPK sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara tertuang dalam pasal 23E UUD 1945 dan dipertegas kembali dalam UU No.15 Tahun 2006 tentang BPK.
“Sehingga sebagai lembaga pemeriksa tertinggi harus menghitung kerugian negara secara adil, bijaksana, objektif dan komperhensif terhadap dugaan korupsi tata niaga timah di IUP PT Timah agar publik tidak simpang siur memahaminya,” jelas dia.
The Indonesian