theIndonesia – Nama Harvey Moeis belakangan menjadi viral dan semakin terkenal. Suami dari pesohor Sandra Dewi ini terkenal bukan karena hal positif, melainkan sebagai salah satu tersangka megakorupsi tata niaga komoditas timah PT Timah Tbk yang mencapai Rp 271 triliun.
Sosok Harvey Moeis merupakan idaman para kaum perempuan. Ganteng dan tajir melintir. Bahkan, tidak sedikit Harvey dilihat sebagai husband material. Namun, fakta mengejutkan terjadi. Ia ternyata bagian dari sindikasi garong dan ‘tikus kotor’ korupsi tambang timah di republik ini.
Pria kelahiran 20 November 1985 dari pasangan Hayong Moeis dan Irma Silviani ini namanya mulai dikenal publik saat menikahi Sandra Dewi pada 8 November 2016. Harvey dan Sandra mengucap janji suci di Gereja Katedral, Jakarta.
Selang enam hari kemudian, tepatnya 14 November 2016, pasangan pengantin baru ini menggelar resepsi pernikahan. Resepsi Harvey dan Sandra jadi sorotan publik lantaran diselenggarakan di Disneyland, Tokyo, Jepang.
Harvey kembali menjadi sorotan ketika kerap memberikan hadiah mewah pada Sandra Dewi juga anaknya. Harvey Moeis diketahui pernah membelikan Sandra Dewi mobil Rolls Royce. Selain itu, publik sempat juga dihebohkan ketika Harvey Moeis membelikan private jet untuk anaknya yang baru berusia dua tahun, Raphael Moeis, senilai Rp 428,5 miliar.
Pembelian private jet itu pun sempat disorot Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ia bilang, “Sekarang ini ada juga di media sosial, anak-anak yang baru umurnya dua tahun sudah dikasih hadiah pesawat, bukan pesawat-pesawatan ya, pesawat beneran sama orang tuanya,” kata Sri Mulyani dalam tayangan video di TikTok pada Maret 2022.
Sri Mulyani menambahkan, “Jadi kan di Indonesia ada yang crazy rich, ada yang memang dia mendapatkan fasilitas dari perusahaannya itu memang luar biasa besar, itu yang sekarang dimasukkan dalam perhitungan perpajakan. Itu yang disebut tadi aspek keadilan.”
Sejumlah sumber menyebutkan, konon Harvey merupakan seorang pengusaha batu bara. Ia disebut-sebut menguasai tambang batu bara di Bangka Belitung yang tak lain merupakan kampung halaman sang istri.
Perusahaan itu bernama PT Multi Harapan Utama. Harvey duduk sebagai presiden komisaris di perusahaan tersebut. Ia juga juga disebut-sebut memiliki saham di lima perusahaan batu bara lainnya. Sebut saja PT Refined Bangka Tin, CV Venus Inti Perkasa, PT Tinindo Inter Nusa, PT Sariwiguna Bina Sentosa, dan PT Stanindo Inti Perkasa.
Ketika kasus korupsi tersebut mencuat ke publik, stigma bahwa untuk kaya raya harus kerja keras, dengan mudah terbantahkan. Cukup lewat jalan singkat, yaitu menjadi koruptor, Anda bisa langsung kaya raya.
Bisa jadi ia memang kerja kerja. Ya, kerja keras korupsinya agar tidak ketahuan aparat penegak hukum. Sosok Harvey Moeis dan Helena Lim menjadi bukti. Harvey disinyalir memiliki peran penting dalam korupsi ini.
Harvey ditetapkan sebagai tersangka dalam kapasitasnya sebagai perpanjangan tangan atau pihak yang mewakili PT Refined Bangka Tin (RBT), yang disebut-sebut juga dikendalikan oleh pengusaha bernama Robert Priantono Bonosusatya.
Harvey bersama dengan mantan Direktur Utama PT Timah Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (MRPP) alias RS disebut mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah untuk mendapat keuntungan.
Baca juga: Kejaksaan Agung Sita Rolls Royce dan Mini Cooper Milik Harvey Moeis
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Kuntadi, pernah berkomentar, “Sekira tahun 2018 sampai dengan 2019, saudara HM ini menghubungi Direktur Utama PT Timah yaitu saudara MRPP atau saudara RS alias saudara RS dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.”
Pertemuan berlangsung beberapa kali. Kemudian, Harvey dan MRPP menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut dikemas dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.
Kuntadi berkata, “Selanjutnya tersangka HM ini menghubungi beberapa smelter, yaitu PT SIP, CV VIP, PT SPS, dan PT TIN, untuk ikut serta dalam kegiatan dimaksud. Selanjutnya, Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan.”
Dia kembali berucap, “Keuntungan itu kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana coorporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Manager PT QSE Helena Lim (HLN) yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka.”
Harvey kemudian diduga melanggar ketentuan pasal 2 Ayat (1), pasal 3 jo pasal 18 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Harvey pun ditetapkan sebagai tersangka. Total ada 16 tersangka dalam kasus ini.
Peran Helena Lim yang terkenal dengan julukan crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) ini juga tidak bisa dianggap remeh. Awalnya, banyak yang mengetahui Helena sebagai pengusaha sukses dan kaya raya yang kerap menampilkan kemewahan.
Hal itu tercermin dari pilihan fesyen Helena. Saat tampil di podcast milik Kaesang Pangarep, Helena mengenakan pakaian berharga Rp 40 juta. Tidak hanya itu, Helena juga mengenakan anting seharga Rp 5 miliar dan gelang bernilai Rp 70 juta. Tidak ketinggalan, ada jam tangan seharga Rp 2 miliar.
Helena juga kerap menampilkan rumah mewah di PIK yang memiliki campuran gaya klasik dan modern. Rumah tersebut dilengkapi dengan kolam renang hingga salon pribadi. Selain soal kekayaannya yang melimpah, Helena Lim sempat membuat heboh pada 2021 silam karena mendapat suntik vaksin Covid-19 yang pertama.
Penyuntikan vaksin terhadap Helena Lim menjadi perbincangan karena ia dianggap tidak masuk kriteria kelompok prioritas penerima vaksin. Helena Lim diketahui sempat berprofesi sebagai seorang penyanyi. Ia pernah merilis lagu berjudul Pasrah.
Publik pun kini terbuka matanya. Kekayaan Helena diperoleh ternyata lewat jalan haram, yakni menjadi bagian dari koruptor untuk mengeruk kekayaan sumber daya alam di republik ini.
Sudah Berlangsung Lama
Korupsi hasil tambang timah ternyata telah berlangsung lama, bahkan bisa puluhan tahun, dengan aktor garongnya yang berganti-ganti. Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman dalam keterangan tertulis, Minggu (31/3), mengatakan, Kejaksaan Agung masih belum sepenuhnya mengurai serta menelusuri kasus ini lebih dalam lagi.
“Jika pihak Kejaksaan Agung lebih serius menelusuri lebih dalam penerima manfaat dalam kasus korupsi timah dengan menerapkan UU TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang), mungkin bisa jadi puluhan orang bisa menyusul jadi calon tersangka,” kata dia.
Yusri kemudian mengutip pernyataan dari Sukrisno, mantan direktur utama PT Timah Tbk periode 2012-2016. Pada medio Juni 2015, disebuah media daring, Sukrisno pernah mengungkapkan bahwa praktik tambang timah ilegal sudah berlangsung puluhan tahun sebelumnya, bahkan belum bisa dihilangkan ketika Sukrisno masih menjabat saat itu.
Pengungkapan Sukrisno, “Belum ada langkah konkret yang dilakukan untuk membasmi para penambang liar yang punya backing dan tak tersentuh hukum.” Menurut Sukrisno, saat itu dirinya sudah menyampaikan hal praktek ilegal tersebut kepada Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Maritim.
“Berdasarkan keterangan mantan dirut PT Timah dan berita yang berkembang di media serta temuan tim Kejaksaan Agung, dapat disimpulkan praktik tambang timah ilegal telah berlangsung jauh sebelum 2015,” kata Yusri.
Yusri pun berani menegaskan bahwa patut diduga praktik ilegal itu berlangsung sistemik, masif dan terstruktur dalam jangka waktu sekitar 15 tahun lalu dengan melibatkan oknum petinggi BUMN, oknum aparat penegak hukum, oknum aparat pengawasan, serta oknum aparat pemberi izin lintas instansi.
Mengingat penambangan ilegal di IUP PT Timah Tbk berada didarat dan laut serta ada yang berada di APL (Areal Penggunaan Lain) dan kawasan hutan, maka DLHK Provinsi Babel, Ditjen Gakum KLHK dan Direktur Teknik Lingkungan Ditjen Minerba KESDM yang membawahi Inspektur Tambang di daerah perlu dimintakan pertanggungjawabannya.
“Sehingga timbul pertanyaan mengapa Pidsus Kejagung hanya membatasi praktek ilegal tambang di PT Timah Tbk hanya mulai tahun 2015, bukan jauh sebelumnya atau setidak tidaknya mulai tahun 2004, agar tidak menimbulkan prasangka ada upaya melindungi orang tertentu atau tebang pilih,” ujar Yusri.
Jadi, tambah Yusri, nilai kerugian akibat kerusakan lingkungan yang disebutkan penyidik Pidsus berdasarkan perhitungan ahli dari IPB sekitar Rp 271 triliun perlu dipertanyakan. “Apakah akibat praktek ilegal timah sejak tahun 2004 atau sejak tahun 2015, tentu timbul pertanyaan kritis bagaimana cara membedakannya jika hanya dari analisa citra salelit saja,” pungkasnya.(CERI)
Peran Si ‘Tikus dan Kucing’
Siapa tak kenal tikus? Hewan pengerat ini sering dianggap sebagai hama. Hewan satu ini bisa beradaptasi dengan baik dengan lingkungannya. Salah satu alasannya adalah karena tikus merupakan hewan yang cerdas.
Dibandingkan dengan mamalia lain, tikus punya tingkat intelegensia yang cukup tinggi. Mereka bisa menganalisa situasi dengan baik, sehingga berdampak pada kelangsungan hidup kawanan mereka. Ukurannya yang kecil juga membuat tikus mudah masuk ke gorong-gorong dan berbagai celah sempit di rumah.
Tikus termasuk hewan yang cerdik. Mereka tahu kapan waktu harus keluar mencari makan dan kapan waktu bersembunyi. Ukuran tikus sangat beragam. Tikus juga tipe hewan yang sosial. Tikus sangat suka berkumpul antarsesamanya. Jadi jangan heran ketika Anda menemukan satu ekor di rumah, sebenarnya masih ada banyak lagi yang bersembunyi.
Sementara istilah kucing garong adalah istilah yang bisanya digunakan untuk merujuk pada kucing liar atau kucing yang tidak dipelihara, dan biasanya kurang terbiasa dengan keberadaan manusia. Kucing juga kerap dianalogikan dengan ‘maling’ karena kerap mengambil ikan yang telah disembunyikan oleh empunya, meskipun telah disimpan di dalam lemari.
Harvey Moeis dan Helena Lim bisa disebut perannya sebagai ‘tikus kotor’ dalam kasus korupsi ini. Harvey dan Helena bisa dengan mudah beradaptasi dengan siapa pun, mulai dari kalangan petinggi BUMN, pejabat, pesohor, dan sebagainya. Peran itu yang kemudian dimanfaatkan.
Sementara, para gerombolan direksi BUMN, serta pihak swasta lainnya yang telah berkolaborasi, dan bisa jadi nanti ada oknum penegak hukum, bisa dikatakan sebagai kucing garong. Mereka melakukan itu semua secara sadar dan beramai-ramai.
Melky Nahar, koordinator nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), bilang, pembersihan segala kasus korupsi harus dimulai di tubuh aparat penegak hukum (APH). Bahkan, Melky berani komentar, “Tersangka yang ditetapkan Kejaksaan Agung saat ini masih berupa ‘tikus kecil’.”
Melky dengan lantang kembali berucap bahwa dalam kasus korupsi timah di Bangka Belitung, sebetulnya yang menjadi tersangka saat itu adalah pemain-pemain kecil, seperti jajaran kepengurusan perusahaan atau manajemen selaku operator.
Dia berkata, “Kejagung tampak belum punya nyali untuk membongkar apa peran aparat penegak hukum, semisal kepolisian yang diduga ikut membiarkan keberadaan tambang ilegal beroperasi, hingga kemudian terjadi proses kerja sama dengan pihak PT Timah untuk terlihat sah secara regulasi.”
Dugaan Melky, indikasi keterlibatan aparat dalam ‘main kotor’ di tambang timah ini sudah merebak sejak 2019. Ironi, tiba-tiba pemerintah kembali tertunduk seakan tak tahu. Melky pun mempertanyakan di mana ketegasan negara dan aparat ketika PT Timah menjalin kerja sama dengan lima perusahaan smelter. Kerja sama itu disebut untuk menampung timah dari hasil penambangan ilegal.
Versi Jatam, ada empat celah yang mungkin menjadi pintu masuk permainan para aktor korupsi ini. Pertama, sejak pra-perizinan, seperti administrasi, teknis, finansial, dan urusan lingkungan.
Kedua, celah dalam urusan perizinan. Ini bisa dilihat dari perolehan wilayah, seperti wilayah izin usaha pertambangan (WIUP), wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK), hingga wilayah pertambangan (WP). Celah urusan perizinan bisa dimasuki dari lelang wilayah untuk mineral logam dan batu bara, permohonan wilayah untuk mineral bukan logam, batuan, hingga izin pertambangan rakyat.
Ketiga, pembinaan dan pengawasan. Ini dimulai dari persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB), persetujuan rencana reklamasi dan pascatambang, pengawasan operasional tambang, seperti operasi produksi yang mencakup penambangan, pengangkutan, penjualan, pengolahan, dan pemurnian.
Keempat, urusan penegakan hukum. Ini menyangkut aspek perlindungan dan jaminan keamanan perusahaan. Celah lain juga bisa terjadi pada proses penyusunan dan pengesahan rencana tata ruang dan wilayah (RTRW).
Mafia Besar
Komisi VI DPR saat rapat kerja bersama Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Senin (1/4), mencecar Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia soal korupsi komoditas timah tersebut.
Baca juga: Diperiksa 13 Jam Tapi Kejaksaan Agung Belum Tetapkan Robert Bonosusatya Jadi Tersangka, Ada Apa?
Politikus PDI Perjuangan Mufti Anam bilang, “Soal skandal timah Pak Menteri yang melibatkan suaminya Sandra Dewi yaitu Harvey Moeis yang di dalamnya juga ada Helena Lim dan kemudian ternyata di belakangnya ada mafia besar yang kami dapatkan infonya namanya adalah Robert Bonosusatya, Pak Menteri.”
Mufti lantas mencecar Bahlil dengan mempertanyakan sikapnya sebagai menteri investasi di kasus ini. Dia komentar, “Maka kami ingin tanya di tempat ini, kami jujur suasana kebatinan kami terganggu, ke mana ya Kementerian Investasi ya kok nggak punya rasa tanggung jawab publik.”
Sayangnya Bahlil tidak merespons pertanyaan itu di ruang rapat. Usai rapat, Bahlil mengaku belum mengetahui secara rinci duduk perkara kasus yang sedang diusut Kejaksaan Agung tersebut. ” Ia hanya berkata, “Saya kan belum tahu duduk perkara yang sesungguhnya, kami sedang mengkaji sampai sekarang.”
Bahlil bahkan berdalih bahwa dirinya tidak paham dengan mekanisme Harvey beserta rekan dalam mengakali IUP di kasus ini. Celoteh Bahlil, “Saya juga lagi bingung dia ini mengerjakan di atas IUP-nya, atau di atas IUP yang lain. Sekarang tim kami di deputi saya lagi mempelajarinya.”
Lalu siapa sosok Robert Bonosusatya yang dimaksud tersebut? Ia adalah pria dengan nama lengkap Robert Priantono Bonosusatya. Ia merupakan mantan petinggi di PT Refined Bangka Tin (RBT). Sebelumnya, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mengirimkan somasi kepada Kejaksaan Agung untuk segera mengungkap peran Robert.
Robert dalam kasus ini diduga justru menjadi penikmat utama keuntungan yang diperoleh Harvey Moeis dan Helena Lim serta tersangka lainnya untuk memanipulasi uang hasil korupsi dengan modus CSR (corporate social responsibility) atau tanggung jawab sosial perusahaan.
Bahkan, Koordinator MAKI Boyamin Saiman mendesak Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung agar segera menetapkan tersangka dan melakukan penahanan terhadap Robert dalam kasus dugaan korupsi tambang timah.
Robert cukup dikenal di kalangan pengusaha. Ia adalah lulusan sains di University of California San Francisco Foundation. Melansir informasi dari Bloomberg, pria bernama lengkap Robert Priantono Bonosusatya ini pernah duduk sebagai komisaris utama PT Citra Marga Nusaphala Tbk dan PT Jasuindo Tiga Perkasa Tbk.
PT Citra Marga Nusaphala Tbk adalah perusahaan pengakomodasi jalan tol yang berkantor di Jakarta. Sementara PT Jasuindo Tiga Perkaasa Tbk adalah perusahaan yang bergerak di bidang percetakan dan memproduksi dokumen keamanan.
PT Jasuindo disebut pernah menggarap proyek mencetak Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), dan Surat Izin Mengemudi (SIM) di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Robert juga duduk sebagai president direktur PT Pratama Agro Sawit sejak 2008. Perusahaan itu bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit.
Beberapa waktu lalu, Robert pernah disorot media ketika Surat Kabareskrim Polri bernomor B/1538/VI/2010/BARESKRIM tanggal 18 Juni 2010 ke PPATK beredar di lingkungan DPR. Saat itu, Robert menjadi penjamin kredit untuk anak Komjen Budi Gunawan, Muhammad Heriano Widyatma yang saat itu berstatus tersangka KPK namun juga calon kapolri.
Sebelum kasus korupsi PT Timah mencuat, nama Robert sempat terseret di kasus-kasus yang melibatkan petinggi Polri. Ia pernah tersangkut di tengah kasus hukum yang menyeret Ferdy Sambo dan anak buahnya mantan Karo Paminal Propam Polri Brigjen Hendra Kurniawan.
Kala itu, Hendra tercatat menggunakan jet pribadi bersama anak buahnya untuk berangkat ke kediaman keluarga almarhum Brigadir Josua di Jambi atas perintah Irjen Ferdy Sambo pada Senin (11/7/2023).
Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso saat itu mengklaim berdasarkan penelusuran yang dilakukan diketahui bahwa pesawat pribadi yang digunakan Hendra tersebut bertipe Jet T7-JAB. Ia menduga pesawat jet pribadi yang digunakan oleh Hendra tersebut merupakan kepunyaan Robert Bonosusatya.
“Berdasarkan catatan IPW, dia (Robert Bonosusatya) ketua konsorsium judi online Indonesia yang bermarkas di Jalan Gunawarman, Jakarta Selatan, yang hanya berjarak 200 meter dari Mabes Polri,” kata Sugeng, beberapa waktu lalu.
Saat itu, Robert membantah tudingan IPW soal penyedia jet pribadi untuk Hendra, serta mengaku tidak memiliki jet pribadi. Namun, Robert tidak menampik jika dirinya mengenal Hendra meski sudah lama tidak saling kontak dengan Hendra.
Moratorium
Jauh sebelum kasus korupsi timah ini muncul, pada September 2017, Jatam pernah mengeluarkan pernyataan sikap bahwa aktivitas tambang timah di darat dan laut telah menimbulkan berbagai dampak signifikan.
Tambang timah di darat telah mengakibatkan deforestasi dan degradasi hutan. Tambang di laut telah mengakibatkan kehancuran ekosistem pesisir dan perairan laut, dan pada akhirnya berdampak pada sekitar 45 ribu nelayan tradisional yang mengandalkan hidupnya dari pesisir dan laut.
Bahkan, yang ironi, tulis Jatam, menempatkan provinsi berada di urutan tertinggi dengan kondisi lahan rusak dan kondisi kritis atau sangat kritis, dibandingkan dengan provinsi lainnya, yakni mencapai 1.053.253,19 hektare (ha) atau 62 persen dari luas daratan Bangka Belitung.
Jatam juga mengkritisi, bukan hanya krisis lingkungan hidup dan keselamatan rakyat yang terancam, ekonomi masyarakat, khususnya nelayan terancam dengan semakin masifnya tambang timah beroperasi.
“Jika tambang timah selalu digembar-gemborkan sektor yang menghasilkan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi nasional atau daerah, faktanya kerugian negara juga begitu besar akibat dari tata kelola yang buruk,” tulis rilis tersebut.
Jatam juga mengingkatkan dengan adanya temuan Korsup Minerba KPK yang menemukan ada 601 IUP yang belum clean and clead (CnC) atau sekitar 55 persen dari total 1085 IUP. Inilah yang nampaknya menjadi tali temali korupsi di sektor tambang timah.
Indonesia Corruption Watch (ICW) juga pernah merilis bahwa dalam kurun 2004-2014, kerugian negara dari timah mencapai Rp 68 triliun yang bersumber dari pajak, biaya reklamasi, royalti, pajak ekspor dan penerimaan non pajak.
Berdasarkan sejumlah fakta tersebut, sekumpulan organisasi masyarakat sipil yang memiliki perhatian pada persoalan lingkungan hidup lalu mendesak kepada Presiden Jokowi segera mengeluarkan kebijakan moratorium industri timah di Bangka Belitung.
Tujuan moratorium itu untuk melindungi keselamatan rakyat dan memastikan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup, berupa peraturan presiden. Kebijakan moratorium dinilai sebagai langkah untuk menghentikan aktivitas tambang timah dan beralih ke sumber ekonomi lain yang berkeadilan dan berkelanjutan seperti sektor pertanian dan perikanan.
Kebijakan moratorium yang dikeluarkan pun harus berbasis capaian dengan indikator yang jelas dan dibarengi dengan sejumlah langkah, seperti audit lingkungan hidup, reviu perizinan, penegakan hukum, dan pemulihan lingkungan hidup, serta memastikan lubang-lubang tambang direklamasi sebagai salah satu kewajiban bagi perusahaan
The Indonesian