theIndonesian – Pemilihan presiden di Amerika Serikat bakal terlaksana dalam waktu dekat ini, tepatnya pada 5 November mendatang. Kemungkinan, petahana Joe Biden akan bertarung dengan petaha sebelumnya Donald Trump .
Seperti diketahui, Donald Trump merayakan kemenangan luar biasa dalam pemilu pendahuluan Partai Republik pada Selasa (5/3) waktu setempat, atau yang disebut Super Tuesday. Trump menyebut hasil pemilihan pendahuluan itu sebagai ‘malam yang luar biasa’.
Melansir AFP, Rabu (6/3), kemenangan Trump semakin membawa dirinya semakin dekat menjadi calon presiden (capres) resmi dari Partai Republik untuk pilpres yang dijadwalkan pada November mendatang. “Mereka menyebutnya Super Tuesday karena suatu alasan,” kata Trump saat berbicara kepada pendukungnya yang berkumpul di Florida.
Reuters juga melaporkan, Trump memenangkan pemilihan pendahuluan Partai Republik di negara bagian Alabama, Arkansas, Colorado, Maine, North Carolina, Oklahoma, Tennessee, Texas, dan Virginia.

Kemenangan tersebut menyingkirkan rival utamanya, Nikki Haley, mantan duta besar AS untuk PBB yang tidak bisa lagi melanjutkan pencalonannya. Lebih dari sepertiga delegasi Partai Republik diperebutkan dalam pemilihan pendahuluan di sebanyak 15 negara bagian dalam Super Tuesday.
Super Tuesday, yang jatuh pada 5 Maret, menurut CBS News, adalah momen ketika jumlah negara bagian terbanyak di AS menggelar pemilihan pendahuluan atau kaukus presiden. Lebih dari sepertiga delegasi yang tersedia untuk pencalonan presiden Partai Republik maupun Partai Demokrat dipertaruhkan saat Super Tuesday.

Jalan berliku mesti dilalui untuk menjadi negara liberal tersebut, Kontes politik dilakukan jauh hari dan untuk memastikan tiket calon presiden bisa didapatkan. Kembali ke Trump. Trump saat ini memimpin dengan sepuluh kali lebih kuat ketimbang pesaing terkuatnya, Nikki Haley.
Sampai primary atau pemilihan pendahuluan di Michigan, Trump memimpin dengan 122 delegasi, sedangkan Haley baru mendapatkan 24 delegasi. Bakal calon presiden AS dari Partai Republik lainnya jauh di bawah Trump dan Haley.
Perlu diketahui, seorang bakal calon presiden dari Partai Republik membutuhkan minimal 1.215 delegasi untuk bisa dinobatkan sebagai calon presiden dari partai berhaluan konservatif di Amerika Serikat tersebut.

Suara delegasi sebanyak itu mesti didapatkan dari proses yang disebut primary dan kaukus yang kerap diartikan dalam bahasa Indonesia dengan pemilu pendahuluan. Proses primary dan kaukus itu diperlukan untuk memilih delegasi dalam Konvensi Nasional Partai Republik 2024 guna menentukan calon presiden Amerika Serikat dari partai ini.
Baca juga: Mengapa Anggota Partai Republik yang Berpendidikan Tinggi Kembali Mendukung Trump?
Total dari proses ini terdapat 2.429 delegasi. Trump, Haley dan bakal-bakal calon lainnya cuma perlu meraih separuh dari total delegasi itu, atau 1.215 delegasi, untuk bisa dimaklumatkan sebagai calon presiden kubu republiken.
Proses primary dan kaukus diadakan di 50 negara bagian AS, ditambah daerah khusus ibu kota Washington District of Columbia, dan lima teritori AS (Puerto Rico, Kepulauan Virgin, Samoa Amerika, Kepulauan Nothern Mariana, dan Guam). Prosesnya berlangsung dari Januari sampai Juni 2024, sedangkan Konvensi Nasional Republik 2024 diadakan pada Juli di Milwaukee, Wisconsin.

Proses sama terjadi pada penentuan calon presiden dari Partai Demokrat. Namun karena kali ini proses itu melibatkan seorang petahana, yakni Presiden Joe Biden, maka hampir bisa dipastikan Biden akan dinobatkan kembali sebagai calon presiden. Apalagi sejak 1884 seorang petahana selalu memenangkan perebutan tiket calon presiden.
Sangat Teruji
Semua rakyat Amerika Serikat paham, diperlukan proses cukup panjang untuk bisa ditetapkan sebagai calon presiden di Negeri Paman Sam tersebut. Sebelum mengikuti primary dan kaukus, seorang bakal calon presiden harus terlibat dalam proses debat berjenjang.
Melansir Antara News, para calon presiden tersebut sangat abai kepada jajak pendapat yang mereka anggap sebagai rujukan untuk menaksir kecenderungan publik terhadap bakal calon. Para calon-calon presiden Amerika Serikat ini melewati proses debat puluhan kali di antara sesama partai sendiri, sebelum dipilih partai sebagai calon presidennya.
Uniknya, meskipun Amerika Serikat dikenal sebagai negara dengan kultur pop, popularitas dalam kontestasi politik tidak diukur dari popularitas belaka seperti orang mengenali selebritas. Namun semuanya harus melewati proses yang begitu lama, dan pastinya sangat mahal. Mereka mendapatkan calon-calon yang teruji dalam proses yang panjang, di mana sejak lama sudah dilembagakan di negara tersebut.

Hasilnya, proses yang lama itu membuat rekam jejak, sepak terjang dan komitmen politik si calon menjadi sangat penting dan terkomunikasikan dengan terang benderang kepada publik. Partai politik yang menentukan itu semua, dan kemudian diverifikasi oleh jajak pendapat. Semua hal itu membuat pemilih memiliki pengetahuan yang cukup untuk memilih para calon.
Banyak negara berusaha meniru proses rekrutmen politik di Amerika Serikat. Di Indonesia, upaya melalui proses konvensi untuk memilih calon presiden pernah dicoba oleh Partai Demokrat pada 2013 guna memilih calon presiden dari partai ini pada Pemilihan Presiden 2014.
Dua tahun lalu Partai NasDem juga berusaha mengadakan proses yang agak mirip dengan itu ketika mereka merekomendasikan sejumlah nama menjadi calon presiden, termasuk Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo.
Namun, kondisi itu dirusak dengan adanya politik jalan pintas yang dilakukan oleh Gibran Rakabuming Raka yang mendapat sokongan penuh dari ayahnya yang masih menjabat presiden di republik ini, Joko Widodo (Jokowi).
Perlu diketahui, pola rekrutmen politik di AS, tidak hanya untuk pemilihan presiden, memang menarik ditiru oleh siapa pun. Tapi kendalanya adalah biaya politik yang sangat mahal yang akan sangat memberatkan bagi negara berpendapatan menengah seperti Indonesia.
Melihat Rekam Jejak
Filosofi dan pesan paling menarik dari proses sepanjang itu adalah calon pemimpin digodok dalam sebuah proses yang membuat masyarakat dapat melihat dengan jelas pandangan dan komitmen para calon.
Kedewasaan berpolitik masyarakat pun semakin besar. Sehingga para politisi atau mereka yang terlibat dalam proses rekrutmen politik tidak tergoda mengambil jalan pintas, seperti menggunakan politik uang, bantuan ayah, atau pembiakan citra yang tak menyentuh kebutuhan pemilih.
Proses politik pun tak lagi merupakan proses elitis di mana suara rakyat hanya dipakai untuk mendapatkan tiket berkuasa. Sebaliknya, rekrutmen politik menjadi proses yang memang benar-benar melibatkan masyarakat, sehingga keterkaitan antara elite politik dengan pemilih tak hanya terjadi selama pemilu dan kampanye pemilu.
Hampir tidak ada upaya untuk merendahkan suara publik ketika seorang calon kalah, kecuali Donald Trump. Uniknya, para pemimpin Republik yang bersuara lain dengan Trump itu tetap menghormati suara rakyat yang memilih Trump. Mereka tak mau terbuka menentang Trump, karena ingin menghormati pilihan rakyat.
Orang-orang yang dahulu mendampingi dan kemudian menyeberang dengan Trump seperti John Bolton yang mantan duta besar AS untuk PBB pun nyaris tak berbalik menyerang orang yang dulu satu perahu dengan mereka. Bukan hanya karena soal etika, tapi juga demi menghormati rakyat yang memilih Trump.
Demokrasi pun menjadi benar-benar dipahami sebagai dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat.
Jalan Pintas Gibran Meraih Kuasa
Berbanding terbalik. Ketika semua negara berlomba menerapkan sistem demorasi dengan penuh transparan, adil, dan terbuka, Indonesia kembali ke zaman suram. Melalui tangan-tangan kekuasaan, seseorang bisa dengan mudah didorong untuk menjadi penguasa meskipun sangat minim, bahkan tidak memiliki pengalaman politik apa pun.
Contoh paling gambang adalah sosok bernama Gibran Rakabuming Raka. Pria kelahiran 1 Oktober 1987 ini begitu banyak memperoleh keistimewaan dalam karier politiknya yang relatif singkat. Syaratnya ternyata cuma satu, punya ayah presiden dan bisa bersikap seperti Joko Widodo (Jokowi).

Langkah politiknya dimulai ketika dia terpilih sebagai wali kota Kota Surakarta sejak Februari 2021. Putra sulung Jokowi ini diawal-awal masa pemerintahan ayahnya kerap ‘berlindung’ di balik kesibukan bisnisnya. Fakta akhirnya bicara lain.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan Solo FX Hadi Rudyatmo pernah bercerita, Gibran tiba-tiba ingin mencalonkan diri sebagai wali kota Solo. Kala itu, Gibran tiba-tiba memiliki niat untuk mencalonkan diri sebagai wali kota disaat PDI Perjuangan sudah memutuskan siapa calon yang akan diusung.
Bahkan, Rudyatmo mengungkapkan bahwa saat itu Jokowi datang dan menyampaikan keinginan anak sulungnya yang ingin menjadi wali kota. Rudyatmo bilang, “Tidak ada angin tidak ada hujan Pak Jokowi datang ke Loji Gandrung. Mas Gibran pengen nyalon wali kota.”

Rudyatmo pun terkejut mendengar pernyataan Jokowi saat itu. Dia pun menyarankan agar Jokowi menghadap langsung ke Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawai Soekarnoputri. Pasalnya, partai sudah final memutuskan sosok yang akan maju pilkada di Solo.
Senada, politisi senior PDI Perjuangan Panda Nababan juga membongkar rahasia klan Jokowi di internal partai. Ia menyebut, ada peran Jokowi di balik majunya Gibran untuk menjadi wali kota Solo.
Padahal, jelas Panda, partai memiliki aturan untuk memajukan kadernya menjadi kandidat wali kota Solo. Aturannya, yang berhak maju itu harus tercatat sudah dua tahun menjadi kader. Tapi, Jokowi meminta langsung kepada ketua umum PDI Perjuangan agar putra sulungnya tersebut bisa menjajal pemilihan kepala daerah tersebut.

Akhirnya, Gibran resmi bergabung dengan partai berlambang banteng moncong putih pada 2019. Kemudian pada 4 September 2020, Gibran resmi mendaftar sebagai calon wali kota Solo. Menjadi wali kota terrnyata tidak cukup bagi GIbran.
Belum selesai menjabat, syahwat politik untuk berkuasa lebih tinggi ternyata mengalahkan norma dan etika yang berlaku. Tanpa malu, fulgar, dan terang benderan, meskipun masa jabatannya sebagai waki kota belum habis, hasrat menjadi calon wakil presiden ternyata lebih menarik.
Baca juga: Politik Gentong Babi dan Hilangnya Rasa Malu Para Politisi
Pencalonan Gibran sebagai wakil presiden pun dianggap penuh kontroversial karena usianya yang masih muda, yaitu 36 tahun. Namun, karena Mahkamah Konstitusi di bawah kepemimpinan pamannya, Anwar Usman, telah memutuskan bahwa ia dapat mencalonkan diri sebagai wakil presiden melalui pengecualian bagi para pemimpin daerah terpilih,
Kelayakan Gibran untuk pencalonan telah berulang kali ditentang. KPU pun terbukti melakukan pelanggaran etik seputar pendaftaran cawapres Gibran karena mengizinkan Gibran mendaftarkan pencalonannya sebelum komisi menyesuaikan batas minimal usia calon dalam aturan internalnya.
Gugatan sempat diajukan oleh Kelompok Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Gerakan Advokat Indonesia (Perekat Nusantara) terhadap Jokowi, Gibran, Anwar Usman, dan Iriana dengan tuduhan nepotisme dan dinasti politik. Namun, gugatan tersebut diberhentikan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sehari sebelum pemilu.

Bahkan, karena keputusan tersebut dan kurangnya pengalaman politik Gibran, ia disebut sebagai nepo baby oleh Al Jazeera. Kini, demokrasi telah rusak pasca-reformasi 1998. Singkatnya, KPU akhirnya pada Rabu (20/3/) malam telah menetapkan pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menjadi pemenang Pilpres 2024.
Baca juga: Machiavelli, Antara Ambisi Kekuasaan dan Politik Pengkhianatan
Penetapan tersebut berdasarkan hasil rekapitulasi nasional perolehan suara Pilpres 2024. Hasil Pilpres 2024 tersebut kemudian ditetapkan KPU berdasarkan berita acara KPU Nomor 218/PL.01.08-BA/05/2024. Hasil rekapitulasi KPU secara nasional ini terdiri atas perolehan suara di 38 provinsi dan 128 panitia pemilihan luar negeri (PPLN). Total keseluruhan suara sah nasional sebanyak 164.227.475.
Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU, Prabowo-Gibran unggul dengan suara sah sebanyak 96.214.691 dari total suara sah nasional. Berturut perolehan suara Anies-Cak Imin 40.971.906 suara dan Ganjar-Mahfud 27.040.878 suara.
Sejumlah pihak bilang, kemenangan Gibran tidak terlepas dari politik gentong babi dan gaya politik Machiavelli yang diterapkan Jokowi untuk memenangkan putranya tersebut.
Ternyata, demi sebuah kekuasaan, Indonesia jauh lebih liberal dan menghalalkan segala cara dibandingkan dengan Amerika Serikat.
The Indonesian | Antara | AFP | Reuters | CBS News