theIndonesian – Ternate dan Tidore adalah dua pulau kecil yang hampir sama besarnya. Kedua pulau ini saling berhadapan satu sama lain dan dipancang gunung api yang muncul dari Laut Maluku. Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13. Penduduk Ternate awal merupakan warga eksodus dari Halmahera.
Buku Sejarah Kerajaan Ternate Tidore mencatat, Sultan Baabullah (10 Februari 1528– Juli 1583) atau Babullah, juga dikenali sebagai Baab atau Babu dalam sumber Eropa, merupakan sultan ke-7 dan penguasa ke-24 Kesultanan Ternate di Maluku Utara yang memerintah antara 1570 dan 1583.
Ia dianggap sebagai sultan teragung dalam sejarah Ternate dan Maluku karena keberhasilannya mengusir penjajah Portugis dari Ternate dan membawa kesultanan tersebut kepada puncak kejayaannya di akhir abad ke-16.
Pada abad ke-13 di Maluku sudah berdiri Kerajaan Ternate. Ibu kota Kerajaan Ternate terletak di Sampalu (Pulau Ternate). Selain Kerajaan Ternate, di Maluku juga telah berdiri kerajaan lain, seperti Jaelolo, Tidore, Bacan, dan Obi.
Di antara kerajaan di Maluku, Kerajaan Ternate yang paling maju. Kerajaan Tidore terletak di sebelah selatan Ternate. Raja Tidore mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M).
***
Kesultanan Ternate mencapai kejayaannya pada paruh abad ke-16, berkat perdagangan rempah-rempah dan kekuatan militernya. Di masa kejayaaannya, kekuasaan Kesultanan Ternate membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian utara, timur dan tengah, bagian selatan kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan Marshall di Pasifik.
Berdasarkan catatan sejarah, semula di Ternate terdapat empat kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga). Merekalah yang pertama–tama mengadakan hubungan dengan para pedagang yang datang dari segala penjuru mencari rempah–rempah. Waktu berlalu. Penduduk Ternate semakin heterogen dengan bermukimnya pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa.
Adanya aktivitas perdagangan yang semakin ramai, ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak, atas prakarsa Momole Guna pemimpin Tobona, maka diadakan musyawarah untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang pemimpin tunggal sebagai raja.
Akhirnya, pada 1257, Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat sebagai kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi kemudian berpusat di kampung Ternate.
Perkembangan selanjutnya, wilayah ini semakin besar dan ramai. Sehingga oleh penduduk disebut juga sebagai Gam Lamo atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga kemudian orang lebih suka mengatakan Kerajaan Ternate dibandingkan Kerajaan Gapi.
Beberapa generasi berikutnya, Ternate berkembang dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayah sebuah pulau kecil menjadi kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia, khususnya Maluku.
Masuk pertengahan abad ke-15, Islam menjadi agama popular di Ternate. Hal ini menyebabkan semua yang ada di dalam Islam, baik sistem pemerintahan hingga peradilan diadopsi secara total oleh Kerajaan.
Penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan gelar sultan. Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan, kala itu.
Tidak diperoleh sumber yang pasti soal awal kedatangan Islam di Maluku Utara, khususnya Ternate. Tapi, diperkirakan sejak awal berdirinya Kerajaan Ternate masyarakat sekitar telah mengenal Islam, mengingat banyaknya pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate saat itu.
Bahkan, beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan bahwa keluarga Kerajaan Ternate resmi memeluk Islam pertengahan abad ke-15.
Struktur organisasi pun dibentuk. Setelah sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan jogugu (perdana menteri) dan fala raha sebagai para penasihat. Fala raha atau empat rumah adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing-masing dikepalai seorang kimalaha. Mereka adalah Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi.
Umumnya, para pejabat tinggi kesultanan berasal dari klan-klan ini. Bila seorang sultan tidak memiliki pewaris, maka penerusnya dipilih dari salah satu klan tersebut. Selanjutnya ada jabatan lainnya seperti Bobato Nyagimoi se Tufkange (Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji, dan lainnya.
***
Sejarah mencatat, Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18, adalah raja pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya, Zainal Abidin (1486-1500). Ia mengakui Islam sebagai agama resmi kerajaan, syariat Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Langkah ini kemudian diikuti kerajaan lain di Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Zainal Abidin juga mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru pada Sunan Giri di Pulau Jawa. Di sana dia dikenal sebagai Sultan Bualawa (Sultan Cengkih).
Pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang. Rakyatnya diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Pada masa ini pula datang orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) pada 1506.
Kemudian, pada 1512 ,Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate di bawah pimpinan Fransisco Serrao. Atas persetujuan sultan, Portugal lalu diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate.
Seperti peribahasa malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih ternyata kedatangan Portugal bukan semata untuk berdagang. Mereka juga memiliki syahwat untuk menguasai perdagangan rempah–rempah, pala dan cengkih di Maluku. Guna mempermulus tujuan mereka, maka Ternate terlebih dahulu harus ditaklukan.
Wafatnya Sultan Bayanullah menjadi momentum Portugal memporak-porandakan Ternate. Saat sultan wafat, ia meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan, Permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali.
Permaisuri Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore di bawah satu mahkota melalui salah satu dari kedua puteranya, yaitu Pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan Pangeran Abu Hayat (kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara Pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.
Portugal memanfaatkan kesempatan ini. Portugal mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara. Kubu Permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan Pangeran Taruwese didukung Portugal.
Setelah meraih kemenangan, ternyata Pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal kemudian bertindak sebagai penasihat kerajaan. Melalui pengaruhnya, ia berhasil membujuk dewan kerajaan untuk mengangkat Pangeran Tabariji sebagai sultan.
Namun, ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa, India. Di sana ia dipaksa Portugal untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai Kerajaan Katolik dan menjadi vasal (menjalin hubungan dengan monarki yang berkuasa) Kerajaan Portugal. Tapi perjanjian itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Khairun (1534-1570).
***
Sultan Khairun geram atas perlakuan Portugal terhadap saudara–saudaranya. Ia lalu bertekad mengusir Portugal dari Maluku. Perlakuan Portugal juga menimbulkan kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun.
Perlu diketahui, sejak masa Sultan Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di Nusantara pada abad ke-16, selain Aceh dan Demak, setelah kejatuhan Malaka pada 1511. Ketiganya lalu membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.
Tak ingin menjadi Malaka kedua, Sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal. Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat. Selain memiliki benteng dan kantong kekuatan di seluruh Maluku, Portugal juga memiliki sekutu–sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan untuk menghadang Ternate.
Namun, dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan Portugal di Malaka, Portugal yang berada di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan, hingga terpaksa memohon damai kepada Sultan Khairun.
Secara licik gubernur Portugal bernama Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan. Ironi, akhirnya Portugal dengan kejam membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.
Pembunuhan Sultan Khairun mendorong rakyat Ternate untuk mengusir Portugal semakin kuat. Bahkan, seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583).
Pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur. Setelah peperangan selama lima tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya pada 1575.
Sultan Baabullah kelak dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di samping Aceh dan Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu.
Periode keemasaan tiga kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak di kesampingkan dalam sejarah bangsa ini. Padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme Barat.
***
Setelah Sultan Baabullah meninggal, Ternate mulai melemah. Kerajaan Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal pada 1580 mencoba menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Spanyol dengan kekuatan barunya kemudian memperkuat kedudukannya di Filipina.
Menghadapi langkah tersebut, kemudian Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau Spanyol, namun gagal. Bahkan Sultan Said Barakati berhasil ditawan Spanyol dan dibuang ke Manila.
Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta bantuan Belanda pada 1603. Ternate akhirnya berhasil menahan Spanyol, namun dengan imbalan yang amat mahal.
Belanda akhirnya secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada 26 Juni 1607, Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol.
Pada 1607, Belanda kemudian membangun Benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di Nusantara. Sejak awal, hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan bangsawan Ternate.
Salah satu yang kemudian berupaya melakukan perlawanan kepada Belanda adalah Pangeran Hidayat (15..-1624), seorang raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate. Ia memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia juga mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual rempah-rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.
***
Perlawanan terus dilakukan. Namun, semua berujung kekalahan. Bahkan, sejumlah sultan Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari cengkeraman Belanda.
Meskipun memiliki kemampuan yang terbatas, karena selalu diawasi Belanda, tapi para sultan tersebut tetap melakukan sejumlah bantuan kepada rakyatnya secara sembunyi alias diam-diam.
Perlawanan terakhir dilakukan pada 1914 oleh Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927). Ia menggerakkan perlawanan rakyat di wilayah-wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai di bawah pimpinan Hairuddin Tomagola. Namun hal ini kembali menemui kegagalan.
Di Jailolo, rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao di bawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Controleur Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak-abrik.
Namun, karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda, perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, Kapita Banau ditangkap lalu dijatuhi hukuman gantung.
Sultan Haji Muhammad Usman Syah yang terbukti terlibat dalam pemberontakan ini, berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, pada 23 September 1915, Sultan Haji Muhammad Usman Syah kemudian dicopot dari jabatan sultan, dan seluruh hartanya disita. Ia kemudian dibuang ke Bandung pada 1915 dan meninggal di sana pada 1927.
Pascapenurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah, jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan.
Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus Kesultanan Ternate, namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru, sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Kini, diusianya yang ke-767 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan, meskipun hanya sebatas simbol budaya. Apakah Kesultanan Ternate kelak akan mendapat keistimewaan dari republik ini seperti Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat? Atau keistimewaan tersebut memang hanya akan sebatas menjadi angan yang tak pernah terwujud.
(TheIndonesian)