theIndonesian – Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia berburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama, kemerdekaan Indonesia.
Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya ‘Bapak Republik Indonesia’. Sukarno menyebutnya ‘seorang yang mahir dalam revolusi’. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.
Ia seorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora. Namanya Tan Malaka, atau Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan kini mungkin dua-tiga generasi melupakan sosoknya yang lengkap ini; kaya gagasan filosofis, tapi juga lincah berorganisasi.
Tan Malaka mendapatkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan keputusan RI No. 53 yang ditanda tangani Presiden Sukarno pada 28 Maret 1963. Gelar tersebut diperoleh lantaran Tan Malaka memberikan sumbangsih bagi bangsa Indonesia, meskipun ia dikenal sebagai sosok kontroversial. Tan Malaka bersama pengikutnya meninggal dunia setelah ditangkap di Pethok, Kediri, Jawa Timur. Di sana, ia dieksekusi dengan cara ditembak mati.
Buku Tan Malaka Bapak Republik yang Dilupakan mencatat, Orde Baru telah melabur hitam peran sejarahnya. Tapi harus diakui, di mata sebagian anak muda, Tan mempunya daya Tarik yang tak tertahankan.
Sewaktu Soeharto berkuasa, menggali pemikiran serta langkah-langkah politik Tan sama seperti membaca novel-novel Pramoedya Ananta Toer. Buku-bukunya disebarluaskan lewat jaringan klandestin—kegiatan yang dilakukan secara rahasia atau diam-diam.
Diskusi yang membahas alam pikirannya dilangsungkan secara berbisik. Meski dalam perjalanan hidupnya Tan berseberangan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), sosoknya sering kali dihubungkan dengan PKI, musuh abadi Orde Baru.
Perlakuan serupa menimpa Tan di masa Sukarno berkuasa. Sukarno melalui kabinet Sjahrir, memenjarakan Tan selama dua setengah tahun, tanpa pengadilan. Perseteruannya dengan para pemimpin pucuk PKI membuat ia terlempar dari lingkaran kekuasan.
Ketika PKI akrab dengan kekuasaan, Bung Karno memilih Musso—orang yang telah bersumpah menggantung Tan karena pertikaian internal partai—ketimbang Tan. Sementara DN Aidit memburu testament—pernyataan dari orang yang masih hidup yang harus dilaksanakan pada waktu ia mati—politik Sukarno kepada Tan.
Surat wasiat itu berisi penyerahan kekuasaan kepemimpinan kepada empat nama—salah satunya Tan—apabila Sukarno dan Hatta mati atau ditangkap. Akhirnya Sukarno sendiri membakar testamen tersebut. Testamen itu berbunyi, “…jika saya tiada berdaya lagi, maka saya akan menyerahkan pimpinan revolusi kepada seorang yang telah mahir dalam gerakan revolusioner, Tan Malaka.”
Politik memang kemudian menenggelamkannya. Di Bukittinggi, di kampung halamannya, nama Tan cuma didengar sayup-sayup. Ketika Harry Albert Poeze, tulis buku Tan Malaka Bapak Republik yang Dilupakan, sejarawan Belanda yang meneliti Tan sejak 1972 mendatangi Sekolah Menengah Atas 2 Bukittinggi, guru-guru sekolah itu terkejut.
Sebagian guru tak tahu Tan pernah mengenyam Pendidikan di sekolah yang dulu bernama Kweekschool (sekolah guru) itu pada 1907-1913. Sebagian lain justru tahu dari murid yang rajin berselancar di internet. Mereka masih tak yakin, sampai kemudian Poeze datang. Poeze pun menemukan prasasti Engku Nawawi Sutan Makmur, guru Tan, tersembunyi di balik lemari sekolah.
***
Di sepanjang hidupnya, Tan Malaka telah menempuh pelbagai royan; dari masa akhir Perang Dunia I, revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah kemerdekaan Indonesia, pria kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia.
Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
Buku Naar de Republiek Indonesia dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian itu telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie.
Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Sukarno ketika diadili di Landrat, Bandung, pada 1931, juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.
WR Supratman telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat ‘Indonesia tanah tumpah darahku’ ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk ‘Khayal Seorang Revolusioner’. Di situ Tan antara lain menulis, “Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri…Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”
Di seputar Proklamasi, Tan menorehkan perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada (kini kawasan Monas), 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukkan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan ‘masih sebatas catatan di atas kertas’.
Tan menulis aksi itu ‘uji kekuatan untuk memisahkan kawan dan lawan’. Setelah rapat ini, perlawanan terhadap Jepan kian berani dan gencar. Ciri khas Tan adalah selalu memakai topi Perkebunan sejak melarikan diri di Filipina (1925-1927). Tan pernah mendatangi 11 negara, di kala itu. Ia cuma membawa paling banyak dua setel pakaian.
Dan, sejak keterlibatannya dalam gerakan buruh di Bayah, Banten, pada 1940-an, ia selalu memakai celana selutut. Ia juga selalu duduk menghadap jendela setiap kali berkunjung ke sebuah rumah. Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajahi dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kolometer—dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin.
Ada pula yang menanyakan berapa tinggi Tan sebenarnya? Di buku Dari Penjara ke Penjara II, Tan bercerita ia dipotret setelah cukur rambut dalam tahanan di Hong Kong. Dari buku ini Poeze pun mencari dokumen tinggi Tan dari arsip polisi Inggris yang menahan Tan di Hong Kong. Eureka! Tinggi Tan ternyata 165 centimeter, lebih pendek daripada Sukarno (172 centimeter).
Tan tidak pernah menyerah. Mungkin itulah yang membuatnya sangat kecewa dengan Sukarno-Hatta yang memilih berunding dan kemudian ditangkap Belanda. Tan berkukuh, sebagai pemimpin revolusi Sukarno semestinya mengedepankan perlawanan gerilya ketimbang menyerah. Baginya, perundinganm hanya bisa dilakukan setelah ada pengakuan kemerdekaan Indonesia 100 persen dari Belanda dan sekutu. Tanpa itu, nonsens.
Sebelum melawan Sukarno, Tan pernah melawan arus dalam kongres Komunisme Internasional di Moskow pada 1922. Ia mengungkapkan gerakan komunis di Indonesia tak akan berhasil mengusir kolonialisme jika tak bekerja sama dengan Pan-Islamisme.
Ia juga menolak rencana kelompok Prambanan menggelar pemberontakan PKI 1926/1927. Revolusi, kata Tan, tak dirancang berdasarkan logistik belaka, apalagi dengan bantuan dari luar negeri seperti Rusia, tapi pada kekuatan massa.
Saat itu, otot revolusi belum terbangun baik. Postur kekuatan komunis masih ringkih. “Revolusi bukanlah sesuatu yang dikarang dalam otak,” tulis Tan. Singkat kata, rencana pemberontakan itu tak matang.
Penolakan ini tak urung membuat Tan disingkirkan para pemimpin partai. Tapi, bagi Tan, partai bukan segala-galanya. Jauh lebih penting dari itu; kemerdekaan nasional Indonesia. Dari sini kita bisa membaca watak dan orientasi penulis Madilog (Materialisme Dialektika Logika), ini.
Ia seorang Marxis tapi sekaligus nasional. Ia seorang komunis, tapi kata Tan, “Di depan Tuhan saya seorang muslim”—(siapa sangka ia hafal Alquran sewaktu muda). Perhatian utamanya adalah menutup buku kolonialisme selama-lamanya dari bumi Indonesia.
Berpuluh tahun namanya absen dari buku-buku sejarah; dua-tiga generasi di antara kita mungkin hanya mengenal samar-samar tokoh ini. Dan kini, kita coba melawan lupa yang lahir dari aneka keputusan politik itu.
Kita coba mengungkai—menguraikan simpulan—kembali riwayat kemahiran orang revolusioner ini. Sebagaimana kita mengingat bapak-bapak bangsa yang lain, Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Mohammad Natsir, dan lainnya.
Karena, bangsa ini kini telah kehilangan tokoh yang rela berkorban demi bangsanya, yang ada adalah tokoh yang senantiasa berupaya bagaimana melanggengkan sebuah kekuasaan dengan cara tiran.
(TheIndonesian)