theIndonesian – Awalnya, hanya segentong daging babi yang diawetkan dengan cara diasinkan. Gentong kayu yang digunakan sebagai alat pengawet itu memiliki kapasitas rerata 30 galon—satu galon berisi benda kering sama dengan 4,4 liter, sebelum didinginkan. Fenomena ini terjadi pada 1700-an di Negeri Paman Sam.
Buku Towards Empowered Participation: Stories and Reflections yang ditulis Tom Wakeford dan Jasber Singh menulis, para pemilik budak di Amerika Serikat biasa memberikan daging-daging babi asin dalam gentong kepada para budaknya. Daging babi yang diawetkan tersebut sebagai bentuk bayaran kepada para budak yang telah bekerja. Bahkan, para budak rela berebut demi mendapatkan secuil daging babi tersebut.
Sejarawan Edward Everett Hale dalam buku berjudul The Children of the Public yang terbit pada 1863 menulis, istilah gentong babi kemudian digambarkan sebagai pengeluaran yang dihabiskan pemerintah untuk rakyat.
Frasa politik gentong babi pun kemudian menjadi terkenal. Ini bisa diartikan sebagai kucuran dana publik oleh seorang politikus demi kepentingan sekelompok kecil golongan. Tujuannya, untuk mendapatkan dukungan dalam bentuk suara atau sumbangan kampanye.
Kini, istilah gentong babi menjadi idiom— kata yang artinya tidak bisa diartikan secara harafiah, namun mewakilkan ekspresi tertentu—perpolitikan yang merujuk pada suatu tindakan yang seharusnya tidak dibenarkan. Politik gentong babi alias pork barrel politics, dewasa ini banyak dilakukan para pejabat politik di negara manapun, namun sering kali tidak disadari oleh masyarakat pemilihnya.
Jurnal politik Pork Barrel di Indonesia (2011) yang ditulis Antonius Saragintan dan Syahrul Hidayat menggambarkan, politik gentong babi adalah usaha petahana (incumbent) untuk menggelontorkan dan mengalokasikan sejumlah dana, dengan tujuan tertentu.
Menurut Antonius dan Syahrul, politik gentong babi biasanya dilakukan para petahana untuk membuat dirinya terpilih kembali dalam pemilihan umum, dan menjabat selama beberapa tahun ke depan.
Bahkan, secara tegas Annie Duke dalam buku Quit (2022) mengungkapkan, politik gentong babi adalah penggunaan dan pengalokasian dana publik, demi mendapat keuntungan politik, dengan mengalihkan anggaran pada keperluan politik.
Sementara, Herdiansyah Hamzah di dalam buku Politik Tanpa Korupsi (2021) menulis, sejarah politik gentong babi tidak dapat dipisahkan dari tradisi sistem politik di Amerika Serikat. Di negara tersebut, para politisi akan mencari berbagai sumber dana sebagai biaya pengeluaran yang akan disalurkan kepada para konstituennya.
***
Studi politik menggambarkan, ada dua jenis politik uang, yakni club goods dan pork barrel. Club goods merupakan pemberian uang atau barang dari seorang kandidat kepada kelompok masyarakat. Contohnya, pembangunan jalan, fasilitas umum, atau pun sumbangan pakaian—biasanya menggunakan dana pribadi atau berasal dari patungan para politisi.
Sementara pork barrel, lebih kepada pemanfaatan anggaran atau dana publik untuk kepentingan segelintir politisi yang kemudian disalurkan kepada masyarakat. Contoh dari politik jenis ini adalah, pemanfaatan uang yang berasal dari dana publik, atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)—yang kemudian bisa disalurkan dalam bentuk bantuan sosial (bansos).
Meskipun legal—proses yang dilakukan melalui sesuai prosedur keuangan daerah/negara—, penyaluran bansos yang bukan dari kantong pribadi para politisi tersebut, secara tidak langsung menempatkan bansos sebagai nilai tukar dengan suara pemilih. Pemberian bansos dengan skema politik gentong babi biasa akan berdampak secara langsung terhadap proses dan kualitas sebuah kontestasi politik.
Implikasi langsung tersebut bisa tercermin dari bahwa bansos mampu merusak perilaku pemilih rasional yang lebih mempertimbangkan untung dan rugi dari aspek materi. Padahal, sumber dana bansos tersebut berasal dari masyarakat penerima bansos itu sendiri yang bernama pajak.
Ketika politik gentong babi dalam bentuk bansos terjadi, maka para pemilih tidak akan bisa bersifat rasional lagi. Padahal, semestinya para pemilih bisa bersikap rasional dengan lebih mengedepankan rekam jejak, kapabilitas, integritas, hingga kebijakan publik yang dihasilkan ketika politisi tersebut berkuasa.
Politik gentong babi juga membuat persaingan politik menjadi tidak adil. Sebab, petahana bisa memanfaatkan sumber daya negara guna memuluskan atau melanggengkan syahwat politiknya.
***
Menjelang pemilihan umum pada 14 Februari lalu, publik Indonesia dihebohkan dengan munculnya film dokumentar berjudul Dirty Vote. Film yang tayang di Youtube pada 11 Februari tersebut berdurasi 117 menit.
Film Dirty Vote diproduksi oleh rumah produksi Watchdoc Documentary, yang didirikan oleh dua jurnalis, Dandhy Dwi Laksono dan Andhy Panca Kurniawan. Film ini menampilkan tiga pakar hukum tata negara yang mengungkap apa yang mereka sebut sebagai kecurangan dalam proses pemilihan presiden tahun 2024.
Watchdoc ketika membuat film ini berkolaborasi dengan sejumlah kelompok masyarakat sipil seperti Indonesia Corruption Watch, Greenpeace Indonesia, Jaringan Anti Tambang, dan Aliansi Jurnalis Independen. Sementara tiga sosok pemerannya adalah pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari.
Bivitri dalam salah satu narasinya di film tersebut menegaskan, konsep politik gentong babi digunakan oleh pemerintah Indonesia, terutama dalam program bansos. “Mengapa bansos juga dijadikan alat berpolitik dan lain sebagainya? Ada satu konsep dalam ilmu politik yang bisa kita gunakan yang namanya gentong babi atau pork barrel politics,” kata Bivitri dalam film tersebut.
Penjelasan Bivitri, politik gentong babi adalah istilah yang mengacu pada masa perbudakan di Amerika Serikat. Kala itu, budak-budak AS saling berebut demi mendapatkan daging babi yang diawetkan dalam gentong. Karena kejadian itu, muncul istilah “ada orang-orang yang akan berebutan suatu jatah resmi untuk kenyamanan dirinya.”
“Jadi yang kita bicarakan di sini adalah cara berpolitik yang menggunakan uang negara untuk digelontorkan ke daerah-daerah pemilihan oleh para politisi agar dirinya bisa dipilih kembali,” ungkap Bivitri.
Di Amerika Serikat, politik gentong babi yang dijalankan politisi dengan cara menghabiskan uang pemerintah untuk kepentingan para anggota Kongres demi kepentingan distrik asal mereka.
Di Indonesia, politik gentong babi dapat dengan mudah ditemukan di berbagai wilayah mulai dari tingkatan lokal—kabupaten/kota, provinsi—hingga nasional (negara). Para politisi pun tidak malu-malu lagi menggunakan pola politik gentong babi tersebut.
Ketika adab, etika, dan rasa malu tidak lagi dimiliki oleh para politisi di belahan negara manapun, lalu apa yang bisa diharapkan dari kualitas politik sebuah negara atas nama demokrasi?
(TheIndonesian)