theIndonesian – Bicara pusat perbelanjaan di Indonesia, merupakan sebuah fenomena menarik. Sebagai sarana bisnis di kota-kota besar di Tanah Air, pusat perbelanjaan menjadi salah satu bagian dari gerak perkembangan kota metropolitan.
Pusat perbelanjaan atau istilah kerennya shopping center, juga merupakan sebuah ‘pintu perubahan’ gaya hidup di mana sistem transaksi (jual beli) yang biasa ditemui di pasar tradisional telah berubah menjadi kegiatan multidimensi. Bahkan menjadi kegiatan rekreasi yang bergengsi.
Kota-kota di Asia Tenggara dan pantai-pantai daratan Cina terkenal berkat pusat perbelanjaannya. Hong Kong dan Singapura sejak pendiriannya telah menampilkan diri sebagai kota perbelanjaan. Begitu pula dengan Bangkok dan Kuala Lumpur. Kota besar tanpa jalur dan pusat perbelanjaan kini sudah tidak lazim. Lalu, bagaimana dengan dengan Indonesia? Apakah Indonesia terkenal karena pusat perbelanjaannya?”
Saat ini Indonesia belum bisa menjadi shopping destination bagi wisatawan mancanegara. Padahal, Indonesia memiliki pusat perbelanjaan yang tak kalah hebat dibandingkan dengan negara lain.
Indonesia harus mampu menyampaikan suatu citra yang menempatkan dirinya sejajar dengan kota-kota di dunia lainnya, khususnya kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Medan, Makassar, atau Surabaya.
Sebuah bangunan, pusat perbelanjaan pun ternyata memiliki kontribusi yang signifikan sebagai penanda sebuah kota. Sejarah menunjukan, hadirnya Sarinah pada era 1960-1970 mampu membawa wajah Jakarta berbeda dengan kota lainnya di Indonesia. Pusat perbelanjaan yang ada di Tanah Air dewasa ini merupakan akhir perjalanan historis sebuah aktivitas yang awalnya merupakan terobosan dalam distribusi produk industri.
Menurut Budi A Sukada dalam buku Indonesia Shopping Centers, sebuah pusat perbelanjaan kini merupakan kelipatan beberapa pusat perbelanjaan lainnya sehingga bangunannya semakin ‘membengkak’ menjadi ‘benda raksasa’ di dalam kota.
“Pusat perbelanjaan sekarang di desain dengan pola penggabungan beberapa pusat perbelanjaan yang sudah terbangun di satu lokasi. Pusat perbelanjaan kini juga sengaja dirancang sebagai gabungan sebuah pusat perbelanjaan, atau dibuat dengan ukuran sebesar-besarnya supaya tidak ada lagi kesempatan untuk mendirikan pusat perbelanjaan baru di situ,” tulis dia dalam bukunya.
Sayangnya, pemerintah kota belum memiliki konsep dan strategi (khususnya secara parsial) yang terkait pesatnya perkembangan pusat perbelanjaan di Jakarta. Belum ada kejelasan peraturan kota tentang lokasi pusat perbelanjaan di Jakarta terkait dengan klasifikasi dan tipe, akses, koneksi (transportasi umum, ruang publik), dan integrasi (mikro, meso, makro).
Sekedar tahu, keberadaan (kesuksesan) sebuah pusat perbelanjaan dapat menjadi ‘magnet’ bagi munculnya pusat perbelanjaan yang lain, yang pada akhirnya akan membentuk pengelompokan (clustering).
Namun, ada permasalahan baru yang timbul akibat adanya pengelompokan tersebut. Pengelompokan saat ini cenderung tanpa disertai pengintegrasian ruang antarbangunan dan ruang kota. Hal tersebut akan memunculkan kondisi yang kompetitif, bisa berupa sinergi atau kanibal.
Saat ini, pola kluster sudah begitu eksis dan dominan diberbagai pusat perbelanjaan di Jakarta. Dan, pola tersebut memiliki potensi untuk dikembangkan. Pola kluster mampu menciptakan sinergi bila ada kerjasama dan kompetisi.
Adapun pola kluster yang sudah dikembangkan adalah pusat perbelanjaan dengan konsep superblock atau superdevelopment. Biasanya konsep tersebut lebih berorientasi ke pribadi, kepemilikan tunggal, privatized urban space, dan mengarah kebentuk isolasi.
Selain superblock atau superdevelopment, ada pilihan konsep lainnya, yaitu integrated block dan integrated urban development. Sistem atau konsep tersebut lebih mengedepankan orientasi umum/publik, kepemilikan kemitraan, bersifat negosiasi, dan terintegrasi.
Gaya Hidup
Data Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menunjukkan, jumlah pusat perbelanjaan yang ada di Jakarta mencapai 96 unit per awal Januari 2023. Jumlah tersebut terdiri atas 76 mal dan 20 pusat perdagangan (trade center).
Rinciannya, pusat perbelanjaan paling banyak berada di Jakarta Selatan, yakni 28 unit. Sejumlah pusat perbelanjaan yang terkenal di wilayah ini sebut saja Pacific Place, Pondok Indah Mall, dan Plaza Blok M. Kemudian disusul Jakarta Pusat dengan 23 pusat perbelanjaan. FX Sudirman, Grand Indonesia, dan Plaza Indonesia masuk ke dalam daftar pusat perbelanjaan yang terletak di wilayah tersebut.
Selanjutnya, ada 18 pusat perbelanjaan yang berada di Jakarta Utara. Ada nama-nama seperti Emporium Pluit Mall, Mangga Dua Square, dan PIK Avenue. Berlanjut ke Jakarta Barat yang memiliki 15 pusat perbelanjaan, di antaranya Central Park Neo Soho, Mal Ciputra, dan Mal Taman Anggrek. Lalu, Jakarta Timur memiliki 12 pusat perbelanjaan seperti AEON Mall Jakarta Garden City, Mall Cipinang Indah, dan Tamini Square.
Tahun ini, diperkirakan Jakarta akan kedatangan tiga mal baru yang akan menambah luas pasokan ruang ritel. Riset Cushman & Wakefield menyebut ketiga mal tersebut adalah Agora Lifestyle Centre di Thamrin Nine, Lippo Mall East Side di Holland Village, dan Mal Menara Jakarta. Ketiga mal yang akan menambah luas ruang ritel di Jakarta ini berada di daerah Jakarta Pusat.
Seperti pepatah cendawan di musim hujan. Pepatah ini cocok menggambarkan kondisi pusat perbelanjaan di Jakarta. Tempat-tempat strategis menjadi rebutan para pengusaha pusat perbelanjaan. Bahkan, wilayah yang sebenarnya diperuntukkan bagi kawasan perkantoran dan bisnis, juga tak luput dari ‘jarahan’.
Belakangan, pusat perbelanjaan di Jakarta menjadi sebuah gaya hidup tersendiri yang tak terpisahkan dari pola hidup masyarakat. Konsumtif, dinamis, dan entertain, telah melebur menjadi satu kesatuan. Ke depan, pusat perbelanjaan yang akan mengalami kesuksesan adalah pusat belanja yang lebih mengedepankan gaya hidup dan entertaimen.
Selain memadukan dua kesatuan tersebut, pusat perbelanja tersebut juga harus superkomplit. Selain jejeran kios, pusat belanja tersebut harus menyediakan departmen store, hypermarket, swalayan, pusat F&B, sarana gaya hidup, bioskop, musik, kesenian, hingga rekreasi keluarga.
Diperkirakan sekitar 40% pengunjung pusat belanja adalah anak muda yang memiliki kisaran usia 18-34 tahun. Dan, anak muda tersebut cenderung lebih suka hang out dan berbelanja di mal yang banyak entertainnya. Lihat saja, beberapa mal besar yang sukses sebagian besar pengunjungnya adalah anak muda.
Potensi Wisata
Pusat perbelanjaan di Indonesia, khususnya Jakarta, belum bisa menjadi potensi wisata yang menarik bagi turis asing. Salah satu penyebabnya adalah, tidak adanya kenyamanan bagi pejalan kaki (pedestrian) di sepanjang trotoar di sekitar pusat perbelanjaan Jakarta.
Melihat hal tersebut, tak urung ahli desain bangunan properti komersial dan urban design dari Universitas Karlsruhe, Jerman, Alex Wall, pernah memberikan komentarnya. Menurut dia, kondisi dan situasi di Jakarta belum mendukung tumbuhnya industri pariwisata belanja. Dia mengungkapkan, ‘gemerlapnya’ kehidupan politik dan tingginya tingkat kriminalitas menjadi ‘wajah seram’ Jakarta.
“Wisatawan mancanegara jadi takut untuk datang berbelanja di Jakarta. Masih jauh bagi Jakarta untuk bisa menjadi lokasi tujuan wisata belanja. Jakarta masih identik dengan kesemrawutan, kemacetan, dan lain sebagai,” ungkap dia.
Hal ini belum ditambah lagi tidak memadainya infrastrutur sarana dan prasarana pendukung. Alex Wall menambahkan, pemerintah (baik pusat maupun daerah) dan pelaku bisnis (pengembang) harus saling bahu membahu mengatasi setiap kendala di sektor tersebut.
Persoalan infrastruktur memang menjadi sangat penting untuk mendongkrak daya jual pusat perbelanjaan di Indonesia. Pelaku industri usaha belum berani memamerkan produknya (promosi) ke dunia luar di tengah kondisi infrastruktur yang memprihatinkan.
Konon, pemerintah selama ini belum mengakomodasi potensi masuknya investasi asing, utamanya di sektor properti, khususnya pusat perbelanjaan. Padahal, banyak investor asing yang ingin masuk dan menanamkan modalnya ke sektor tersebut.
Saat ini, sejumlah riset menyebutkan, pusat perbelanjaan di Indonesia hanya mampu menjaring sekitar 1-5% konsumen turis asing. Sementara, di Singapura, 80% orang yang berbelanja di pusat perbelanjaan Negeri Singa tersebut adalah turis asing. Sama halnya dengan Kuala Lumpur. Sekitar 60-70% konsumen yang berbelanja adalah turis asing. Jika kondisinya seperti itu, seperti bahasa sebuah iklan, tanya kenapa?
Sejarah Pusat Perbelanjaan
Beberapa sumber menyebutkan, pusat belanja pertama di dunia berada di Timur Tengah, yakni grand bazaar Isfahan yang berdiri sejak abad ke 10. Isfahan merupakan suatu lokasi perdagangan yang terdiri atas kumpulan beberapa toko independen yang bernaung di bawah satu struktur bangunan. Selain itu ada Grand Bazaar Tehran, pasar tertutup sepanjang 10 kilometer.
Sementara di Eropa, London, Inggris, ada The Burlington Arcade yang resmi dibuka pada 1819. Konsep pembangunan mal pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada 1828, dengan dibangunnya The Arcade di daerah Providence, Rhode Island. Kemudian, pembangunan pusat belanja atau mal pun akhirnya diikuti oleh kota-kota besar lainnya di belahan negara lain pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20.
Uniknya, pertengahan abad ke 20 di Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa, keberadaan mal di dalam kota mendapat tentangan dari berbagai pihak. Penyebabnya, karena kota dirasakan penuh sesak dan kotor.
Di Indonesia, pembangunan mal atau pusat perbelanjaan dibagi menjadi tiga periode. Periode pertama, yakni 1960-1970 di mana Sarinah pertama kali dibangun pada 1962. Sarinah merupakan shopping center modern pertama di Tanah Air,” kata Jo Santoso.
Periode kedua adalah 1970-1989. pada periode tersebut terbangun setidaknya 12 pusat perbelanjaan seperti Duta Merlin (1970), Aldiron Plaza (1980), Pasaraya Manggarai (1980), Ratu Plaza (1981), Gajahmada Plaza (1982), Melawai Plaza (1984), dan Metro Pasar Baru (1985). Kemudian, Harco Pasar Baru (1986), King’s Plaza (1988), Plaza Barito (1988), Pasaraya Blok M (1989), dan Golden Truly (1989).
Terakhir, periode 1990-1999 dengan pusat-pusat belanja yang jauh lebih modern dan berkelas. Indonesia memang tidak ingin ketinggalan mengikuti kemajuan zaman dan perubahan kultur. Era 2000-an, muncul istilah one stop shopping untuk pusat perbelanjaan di Tanah Air. Konsep one stop shopping ditujukan bagi pusat perbelanjaan yang menyediakan semua kebutuhan belanja.
Seperti sebuah mozaik, kemudian pusat perbelanjaan tampil optimal dengan wajah depannya yang diolah bak ‘etalase raksasa’ sebagai daya tarik.
(TheIndonesian)