theIndonesian – Bangsa ini telah menetapkan dalam pasal 28H ayat 1 Undang-Undang Dasar RI tahun 1945, bahwa setiap orang hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Oleh karenanya, rumah sebagai wadah tempat tinggal perseorangan ataupun dalam entitas sosial, baik dalam bentuk keluarga atau lainnya merupakan hak setiap orang/warga negara. Secara fungsional, rumah dijadikan sebagai wadah untuk berlindung dari tantangan alam dan ancaman binatang, sekaligus wadah interaksi sosial keluarga, dan pada kasus tertentu mewadahi aktivitas ekonomi penghuninya.
Hak perumahan secara nasional didefinisikan sebagai hak bagi setiap orang untuk mendapatkan akses menghuni rumah yang layak dalam suatu komunitas yang aman dan bermartabat secara berkelanjutan.
Lebih jauh kelayakan didefinisikan sebagai kelengkapan rumah dengan jaminan keamanan dan hukum, jaminan perolehan prasarana, sarana dan utilitas dasar, akses pada pembiayaan, dan atau hal lain untuk memenuhi martabatnya sebagai manusia.
Menghuni rumah yang layak berarti pengakuan status legal kependudukan yang membuka identitas sosial, akses pada program peningkatan kesejahteraan serta peluang usaha yang membutuhkan kredibilitas hunian.
Kesepakatan universal telah mengelompokkan rumah sebagai bagian dari hak dasar bersama dengan layanan kesehatan dan kesejahteraan bagi dirinya dan keluarganya, termasuk kebutuhan dasar pangan, sandang, perumahan, layanan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan sosial lainnya terutama ketika mengalami pemutusan hubungan kerja, sakit, cacat, menjanda, masa tua dan atau kondisi ketidakberdayaan di luar kendali dirinya.
Jargon merumahkan kaum miskin kerap selalu menggema. Genderang kesepakatan telah ditabuh. Perubahan konsep pun telah dicanangkan. Sayangnya, semua tidak didukung kekuatan finansial yang cukup. Sementara kebutuhan akan perumahan di Tanah Air kian mendesak.
Bicara perumahan, khususnya rumah bagi kaum marginal di perkotaan, merupakan hal yang pelik. Masalah perumahan menjadi masalah yang tak kunjung usai. Selalu ada persoalan-persoalan baru ketika isu ini kembali mencuat kepermukaan. Pertumbuhan perumahan yang semakin melesat di wilayah Tanah Air perlu mendapat sorotan yang lebih tajam.
Program Keluarga Berencana (KB) beberapa tahun lalu yang ditetapkan oleh pemerintah belum mampu membendung tingkat natalitas (istilah yang digunakan untuk menggambarkan jumlah kelahiran yang terjadi dalam suatu populasi atau wilayah dalam periode tertentu, red) yang terlampau tinggi.
Kelahiran manusia-manusia baru ini semakin menekan pemerintah untuk segera berpikir cerdas bagaimana mereka tinggal nantinya.
Bukan hanya Indonesia yang masyarakatnya sedang mengalami ‘kelaparan’ akan rumah tinggal yang layak, negara-negara lain di dunia juga mengidap penyakit yang sama rupanya. Hal ini dibuktikan dengan adanya berbagai pertemuan internasional yang membahas masalah perumahan.
Pemerintah Indonesia secara gamblang telah menyebutkan kebutuhan dana akan pembangunan infrastrukturnya untuk beberapa tahun ke depan, termasuk dana untuk perumahan. Ini membuktikan bahwa pemerintah serius untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Beberapa waktu lalu, konsep pengembangan perumahan vertikal (rumah susun/rusun) kembali digulirkan, ditengah (jika bisa dikatakan) kegagalan program Gerakan Nasional Pengembangan Sejuta Rumah (GNPSR) yang memfokuskan diri ke perumahan horisontal (landed house).
Pemerintah beralasan, di tengah keterbatasan lahan, rusun menjadi solusi tepat untuk ‘merumahkan’ kaum papa perkotaan. Namun perlu diingat, perlu perumusan kebijakan yang komprehensif dengan komitmen kuat guna mengantisipasi dan mempersiapkan konsep hunian perkotaan (rusun) yang dapat mengakomodir berbagai kepentingan elemen perkotaan.
Idealnya, pembangunan rusun, khususnya rusun sederhana milik ataupun sewa, dana pembangunannya disediakan oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah provinsi berkewajiban menyediakan lahan, pengelolaan dan perawatan.
Ada sebuah pertanyaan yang menggelitik. Jangan-jangan, program perumahan milik hanya dibutuhkan saat adanya kontestasi pemilihan presiden atau pemilihan umum saja, yang kemudian ditarik menjadi isu nasional.
Pertanyaan yang mengusik adalah, bagaimana dengan nasib warga masyarakat yang berpenghasilan di bawah Rp 1 juta, atau bahkan mungkin di bawah Rp 500 ribu per bulan per keluarga? Selama mereka hidup, dengan pendapatan sebesar itu mereka tidak akan pernah punya rumah, apalagi hak milik, jika negara tidak turun tangan,
Harapan menyediakan papan bagi orang miskin tampaknya tidak mudah. Bahkan, mungkin akan tetap menjadi masalah tanpa solusi. Ada sejumlah problematika masalah yang kerap dihadapi dalam masalah perumahan. Masalah kebijakan seperti apa yang dihadapi pemerintah dalam upaya memenuhi kebutuhan perumahan rakyat?
Perumahan Rakyat sebagai Sektor Publik
Berbagai literatur kebijakan publik menggaris bawahi bahwa memahami permasalahan secara tepat merupakan kunci mengembangkan kebijakan publik yang efektif. Berbagai persoalan publik membutuhkan penanganan melalui kebijakan yang disusun di atas rumusan masalah yang tepat. Sebagai salah satu sektor publik, sektor perumahan rakyat juga membutuhkan perumusan masalah yang tepat. Namun, tantangan yang dihadapi adalah justru sulitnya merumuskan masalah yang dihadapi di sektor perumahan rakyat.
Masalah perumahan yang dihadapi pemerintah pertama-tama didasarkan pada visi negara terhadap perumahan rakyatnya, yaitu merumahkan seluruh rakyatnya secara layak (housing the people rather than building the houses). Pemenuhan visi perumahan rakyat yang diamanatkan negara pada pemerintah ini berhadapan dengan ragam kebutuhan dan masalah yang dihadapi masyarakat.
Inilah tantangan yang dihadapi pemerintah dan menjadi dasar pertimbangan dalam merumuskan kebijakan publik. Bagaimana bentuk intervensi dan peran yang harus dikembangkan oleh pemerintah? Bagaimana kebijakan publik di bidang perumahan? Sejalan dengan ragam masalah di masyarakat, jawabannya adalah: tidak sederhana, kompleks.
Berbagai kajian sosial dan ekonomi dari kebijakan perumahan telah menunjukkan kompleksnya masalah perumahan. Ragam kebutuhan perumahan tidak dapat diintervensi secara sederhana dengan rumusan kebijakan seperti: memenuhi kebutuhan rumah untuk seluruh rakyat.
Masalahnya adalah, penyediaan perumahan merupakan proses sekaligus produk yang ditentukan oleh berbagai bentuk kebijakan publik yang ada di berbagai sektor, seperti misalnya pertanahan, pembiayaan, infrastruktur, perindustrian dan perdagangan, industri konstruksi, lingkungan, kesehatan, pemerintahan daerah, dan sebagainya.
Lebih jauh, perumahan merupakan komoditi properti yang memiliki perilaku pasar yang tertentu pula, sehingga disebut sebagai pasar perumahan. Sehingga dalam aspek tertentu, kebijakan perumahan adalah kebijakan pemerintah untuk mempengaruhi pasar perumahan.
Meskipun menghadapi masalah yang kompleks, khususnya jika dilihat dari sisi pengelolaan kelembagaan dan kerangka peraturannya, kajian-kajian mengenai kebijakan perumahan tidak pernah surut. Studi kebijakan perumahan di berbagai negara telah menghasilkan literatur yang banyak sekali.
Namun dari semua literatur tersebut, tidak ada satu pun kerangka analisis yang memadai yang dapat digunakan untuk memahami akibat-akibat dan bentuk-bentuk interaksi dari berbagai kebijakan multi sektor tersebut secara tepat. Telah disebutkan, bahwa memahami permasalahan secara tepat merupakan kunci mengembangkan kebijakan publik yang efektif. Inilah tantangan kebijakan perumahan sebagai kebijakan publik yang efektif.
Pilihan Bentuk-bentuk Kebijakan Perumahan Rakyat
Menghadapi multidimensi dan multisektor permasalahan yang demikian, ada beberapa pilihan bentuk kebijakan yang dapat diambil. Pertama adalah dengan tidak memilih bentuk kebijakan tertentu, melainkan menempatkan kebijakan perumahan rakyat sebagai koordinasi kebijakan (policy coordination).
Dalam pengertian ini, pengembangan kebijakan perumahan dilakukan dengan mengkoordinir berbagai kebijakan lain untuk mencapai target-target tertentu. Target-target tertentu ini, termasuk di dalamnya mengenai standar dan indikator yang ditetapkan, juga tidak mudah dirumuskan, baik oleh kementerian perumahan maupun disepakati oleh multi sektor dalam suatu koordinasi kebijakan.
Secara umum, dari perspektif koordinasi kebijakan, berbagai kebijakan terkait perumahan rakyat dapat digolongkan atas tiga kelompok kebijakan. Pertama adalah kelompok kebijakan masukan (input) dalam proses perumahan, seperti pertanahan, infrastruktur, perhubungan, tata ruang dan pengembangan kawasan, dan pembiayaan.
Kedua adalah kelompok kebijakan keluaran atau arah kebijakan perumahan, yaitu arah pembangunan yang melalui bidang-bidang tersebut kebijakan sektor perumahan dikembangkan. Contohnya seperti perindustrian, perkotaan, pengembangan kawasan khusun, pertanian dan pedesaan, kelautan dan perikanan, ketenagakerjaan, pembangunan sosial dan penanggulangan kemiskinan.
Sedangkan kelompok kebijakan ketiga adalah kelompok kebijakan pendukung seperti lingkungan hidup, pengairan (dalam rangka menyelesaikan masalah bantaran sungai perkotaaan), pendidikan dan kesehatan, dan sebagainya.
Pilihan terhadap bentuk kebijakan perumahan seperti ini mensyaratkan koordinasi kebijakan perumahan rakyat yang secara efektif dapat menggerakkan ketiga kelompok kebijakan tersebut.
Kemudian, dengan memilih bentuk kebijakan tertentu berdasarkan keinginan politik yang kuat untuk memenuhi visi negara terhadap perumahan rakyat. Keinginan politik yang kuat ini tentunya ditindaklanjuti oleh perumusan kebijakan yang baik serta diimplementasi secara terencana dalam bingkai kelembagaan dan kerangka peraturan yang memadai.
Beberapa bentuk kebijakan tertentu tersebut adalah seperti kebijakan perumahan umum (public housing), kebijakan fasilitasi perumahan swadaya (self-help housing facilitation) dan kebijakan fasilitasi pasar perumahan (housing market facilitation).
Perkembangan Kebijakan Perumahan di Indonesia
Di dalam perkembangannya, Indonesia sudah mengalami berbagai bentuk kebijakan perumahan tersebut. Baik koordinasi kebijakan atau kebijakan koordinatif, kebijakan perumahan umum, kebijakan fasilitasi pasar perumahan dan kebijakan fasilitasi perumahan swadaya. Namun belum ada satu pun bentuk kebijakan yang berkembang.
Koordinasi kebijakan pernah berkembang beberapa waktu. Adapun kebijakan yang digunakan hingga kini adalah fasilitasi pasar perumahan, meskipun tidak kunjung menghasilkan pasar perumahan yang bekerja secara efektif.
Ada pandangan yang mengatakan justru keadaan ini menunjukkan ketidakjelasan landasan ideologi dari kebijakan perumahan di Tanah Air. Apakah demikian? Pendapat lain pandangan demikian hanya benar jika asumsi bahwa Pancasila adalah ideologi yang tidak jelas.
Kita semua tentunya bersepakat bahwa Pancasila adalah ideologi bangsa ini yang sangat jelas membedakannya dari bangsa lain. Justru pilihan-pilihan kebijakan perumahan tersebut adalah konsekwensi Indonesia sebagai negara yang menganut ideologi Pancasila. Kita tidak menganut kebijakan perumahan umum (public housing) semata sebagaimana diterapkan di negara-negara komunis dan sosialis.
Indonesia juga tidak menganut ideologi liberal yang menyerahkan seluruhnya kepada mekanisme pasar. Sila Kelima Pancasila lebih mendekatkan landasan ideologi kebijakan perumahan seperti yang diterapkan di negara-negara kesejahteraan. Negara menjamin terpenuhi kesejahteraan rakyat dengan terpenuhinya kebutuhan perumahannya secara layak dan terjangkau melalui harmoni dari berbagai bentuk kebijakan tersebut.
Seperti disebutkan, Indonesia sudah mengalami berbagai bentuk kebijakan perumahan, namun belum berkembang secara memadai dan terlembagakan dengan baik. Sedangkan jumlah penduduk terus bertambah, perkotaan semakin mendominasi bentuk permukiman. Tantangan pemenuhan ragam bentuk kebutuhan perumahan rakyat terus berkembang. Namun pasar perumahan tidak kunjung dapat diregulasi secara efektif.
Pada tahun 1974 dengan dibentuknya Perumnas sebagai pengembang perumahan plat merah (baca sektor publik) dan ditugaskannya BTN sebagai bank perumahan, tampaknya pemerintah mulai meletakkan kebijakan perumahan umum. Di berbagai negara maju yang ditandai dengan kemajuan sektor perumahannya, berkembangnya kebijakan perumahan umum ditandai dengan berkembangnya kapasitas pengembang publik (Perumnas) nya, termasuk dalam penguasaan tanah, arah pengembangan kawasan yang efektif, pembangunan flat-flat (rumah susun) sewa, pengembangan kota-kota baru dan pengelolaan bangunan dan kawasan perumahan.
Sebagai perbandingan, di Jepang yang merupakan negara kesejahteraan, UR (Urban Renaissance, Perumnasnya Jepang) adalah pengembang perumahan yang terbesar dan tidak ada yang lebih besar daripadanya. Perkembangannya dapat dilihat dari perubahan namanya yang sejalan dengan progresifitas dinamika visinya. Awalnya bernama HUDC (Housing and Urban Development Corporation), lalu berubah menjadi UDC (Urban Development Corporation), dan kini berubah menjadi UR.
Bagaimana kebijakan perumahan umum di Tanah Air? Dalam perjalanannya, kebijakan perumahan umum di Indonesia tidak berkembang alias bantet. Istilah perumahan umum saja pun menjadi aneh terdengarnya. Fenomena perumahan umum seperti itu hanya dialami beberapa tahun, yaitu sekitar tahun 1974 sampai sekitar awal tahun 1980-an, yang ditandai dengan penguasaan tanah yang semakin banyak dan pembangunan rumah-rumah susun. Selebihnya, Perumnas dan BTN justru terperosok ke dalam bentuk kebijakan perumahan yang lain, yaitu fasilitasi pasar perumahan yang tanggung.
Fenomena kebijakan salah kamar ini tidak disadari karena memang tidak ada evaluasi kebijakan perumahan yang memadai. Perumnas dan BTN telah salah kamar ditandai dengan ritual tahunan dalam bentuk pembangunan RSS-milik dan penggelontoran subsidi KPR. Mengapa dikatakan terperosok? Karena ternyata pembangunan RSS-milik oleh Perumnas setiap tahunnya menghabiskan dana-dana yang tidak diketahui publik, yaitu dalam bentuk dana Public Service Obligation (PSO) yang bersumber dari APBN untuk menambal ketekoran Perumnas.
Aset tanah bukan hanya tidak berkembang, namun semakin mengkeret. Sedangkan ritual tahunan penggelontoran subsidi (KPR) kepada BTN membuat BTN berada di simpang jalan. BTN semakin terseret ke dalam mekanisme perbankan yang tidak ramah pasar. Tentunya dari kacamata bisnis bank! Kebijakan salah kamar telah membuat Perumnas dan BTN sebagai aktor yang terkatung-katung dalam pusaran pasar properti yang liberal. Sebagai wujud kebijakan fasilitasi pasar perumahan tidak efektif (tanggung), sebagai wujud kebijakan perumahan umum tidak kena.
Di sisi lain, kebijakan fasilitasi pasar perumahan juga belum berkembang. Pasar primer perumahan belum berjalan secara berkelanjutan selain terus bergantung pada ritual subsidi KPR dan kawasan perumahan RSS yang lambat berkembang, bahkan banyak yang tidak berkembang alias mangkrak.
Menteri Perumahan, kini di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), bisa saja mengira bahwa memperjuangkan subsidi KPR ini adalah tugas utamanya setiap tahun pada saat rapat kabinet. Padahal fasilitasi pasar perumahan masih menyisakan banyak sekali agenda kebijakan, seperti fasilitasi pasar pertanahan, fasilitasi sumber-sumber dana, stimulasi industri konstruksi, koordinasi standar, dan sebagainya.
Ironinya, bahkan tidak ada respon sedikitpun terhadap fenomena penggusuran yang semakin menjadi-jadi. Padahal paradigma perumahan swadaya menghormati penyediaan perumahan secara mandiri oleh masyarakat, yang seharusnya dipandang sebagai suatu proses alami.
Definisi formal maupun informal bukanlah kategorisasi penting dari sudut pandang ini.
Definisi pentingnya adalah keberdayaan dan ketidakberdayaan. Dengan demikian, permukiman informal harus menjadi target utamanya. Mengapa? Karena komunitas permukiman dan proses perumahan informal adalah yang paling tidak berdaya menghadapi pasar perumahan. Kebijakan fasilitasi perumahan swadaya hendaknya melakukan napak tilas sejarahnya.
Perlu secara konsekwen mengikuti landasan pemikiran pemberdayaan yang melatarinya. Fasilitasi perumahan swadaya seharusnya berfokus pada proses formalisasi dan regularisasi melalui pendekatan pemberdayaan. Dengan demikian fasilitasi perumahan swadaya justru harus menempatkan penanganan permukiman informal sebagai perhatian utamanya, bukan yang lain.
Di antara berbagai bentuk kebijakan perumahan yang masih sebagian-sebagian dijalankan tersebut, dapat dicatat bahwa bentuk kebijakan yang paling efektif yang pernah dijalankan adalah dalam bentuk koordinasi kebijakan perumahan pada masa pemerintahan Orde Baru. Peran koordinasi kebijakan perumahan dijalankan oleh Menteri Perumahan melalui sebuah badan yaitu BKP4N (Badan Kebijakan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional) yang sebelumnya bernama BKPN (Badan Kebijakan Perumahan Nasional).
Namun kinerja koordinasi yang cukup efektif lebih karena didukung oleh faktor kepemimpinan seorang Menteri Perumahan. Dapat dicatat bahwa figur-figur menpera terdahulu seperti Cosmas Batubara, Siswono Judohusodo dan Akbar Tanjung adalah tokoh-tokoh berpengaruh yang memiliki kepemimpinan yang kuat.
Pada masa itu ketiganya juga menempati posisi sebagai Sekretaris Dewan Pembina Golkar. Sebagai catatan, efektifitas koordinasi pada masa itu belum didukung oleh mekanisme koordinasi yang efektif dan terlembagakan. BKP4N mulai meredup di masa kepemimpinan Dirjen Permukiman di era Departemen Kimpraswil tahun 2000-2004. Kini BKP4N tidak pernah terdengar lagi.
Masalah Kebijakan Perumahan yang Kompleks
Sebagai salah satu sektor publik, sektor perumahan rakyat di Indonesia menghadapi masalah yang kompleks. Perlu diperhatikan bahwa strategi menghadapi masalah yang kompleks jauh lebih penting dibanding merumuskan berbagai strategi penanganan berbagai masalah yang dipandang secara parsial.
Perkembangan kebijakan perumahan di Indonesia hendaknya tidak menghasilkan kumpulan aksi yang involutif semata. Sebelum menyusun strategi menghadapi masalah yang kompleks, dan sebelum menentukan arah dan bentuk kebijakan perumahan yang mantap, perlu lebih dulu mengenal karakter (nature) dari sebuah masalah kebijakan yang kompleks.
Setidaknya ada tiga masalah mendasar yang saling terkait satu sama lainnya, yang memberi karakter masalah kompleks kebijakan perumahan. Masalah dasar pertama adalah masih kurangnya pemahaman akan sektor perumahan itu sendiri, terutama di kalangan pihak-pihak terkait pembuatan kebijakan.
Masalah dasar kedua adalah masalah politik, yang terkait dengan masalah dasar pertama. Akibat belum berkembangnya pemahaman yang komprehensif, intervensi politik di bidang perumahan cenderung mengambil langkah-langkah praktis.
Masalah dasar ketiga adalah masalah pengelolaan kebijakan yang memiliki kompleksitas tinggi. Adanya masalah dasar pemahaman dan politik praktis turut menambah kompleksitas proses pembuatan kebijakan perumahan.
Dalam situasi seperti ini, bidang perumahan rakyat potensial untuk diselenggarakan secara parsial dan didominasi oleh aktor dan program favorit tertentu saja. Kebijakan perumahan terperangkap oleh masalah-masalah teknis yang tak pernah terselesaikan. Urusan perumahan rakyat terpinggirkan di antara agenda-agenda pembangunan lainnya.
Padahal, pembangunan perumahan mendominasi proses pengkotaan (urbanisation) yang secara terus menerus mengkonversi lingkungan alam dan berbagai sumber daya alam, dana dan sumber daya lain menjadi lingkungan binaan (built environment).
Pembangunan perumahan yang parsial hanya menghasilkan mosaik lingkungan binaan yang semrawut dan justru menjadi sumber bencana. Pembangunan perumahan merupakan instrumen strategis bukan hanya untuk membangun sumber daya manusia Indonesia, namun sekaligus untuk mewujudkan lingkungan binaan yang dapat menjadi aset sekaligus mesin pembangunan sosial dan ekonomi untuk meningkatkan daya saing bangsa.
Sebagai contoh kebijakan perumahan yang parsial adalah kebijakan kontemporer mengenai pembangunan rusunami (rumah susun sederhana milik, red). Peraturan tata ruang dan bangunan justru dipandang sebagai kendala. Padahal, akibat kurang memperhatikan tata ruang dan peraturan bangunan, program rusunami yang dikembangkan secara sporadis justru memberi dampak penting terhadap daya dukung kawasan dan keberlanjutan pengelolaan bangunan.
Kesalahan mendasar dari kebijakan rusunami adalah fasilitasi pasar perumahan secara berlebihan, yang seharusnya diarahkan kepada dukungan pengembangan kebijakan perumahan umum. Melesetnya kelompok sasaran dan hilangnya pemasukan negara yang besar akibat insentif berbagai pajak, sangat tidak sebanding dengan hilangnya kesempatan untuk memupuk kebijakan perumahan umum dan tetap tidak terpenuhinya kebutuhan perumahan dari kelompok sasaran secara efektif.
Tower-tower megah bisa saja berdiri sebanyak seribu buah, namun prioritas kebutuhan perumahan rakyat tetap tidak terpenuhi. Kebijakan tidak melembaga. Kota-kota tumbuh menjalar dan tidak berubah menjadi aset yang dapat diandalkan sebagai mesin pembangunan ekonomi.
Dalam menghadapi kompleksitas masalah kebijakan seperti ini, kita tidak memiliki informasi yang memadai mengenai sebab dan akibat dari suatu masalah. Sebelumnya telah disebutkan, tidak ada satu pun kerangka analisis yang memadai yang dapat digunakan untuk memahami akibat-akibat dan bentuk interaksi-interaksi dari berbagai kebijakan multi sektor yang terkait bidang perumahan rakyat secara tepat.
Pengembangan kebijakan perumahan rakyat perlu didukung oleh mekanisme koordinasi yang efektif, melalui pemetaan multi kebijakan, perumusan arah kebijakan strategis dan pembuatan kesepakatan-kesepakatan, rencana dan program bersama.
Perlu terus dipupuk kemampuan yang tinggi untuk mengelola kompleksitas masalah-masalah mendasar yang ada, sejak dari hulunya. Membuka ruang dialog, pemetaan ragam masalah dan pelaku-pelaku secara partisipatif, mengkaji dan mengembangkan jejaring relasi-relasi yang ada, membangun kepedulian seiring dengan pemahaman, merupakan langkah awal yang diperlukan untuk menghadapi kompleksitas permasalahan perumahan rakyat.
(theIndonesian)