theIndonesian – Kondisi pasca-Pilpres 2024 terasa semakin memberatkan bagi rakyat jelata. Kenaikan sejumlah harga bahan pokok dari beras, telur, daging, dan kebutuhan pangan lainnya pada awal Ramadan ini menyebabkan inflasi harga pangan bergejolak dan meroket yang menyebabkan volatile food mencapai lebih dari delapan persen.
Besaran angka tersebut tiga kali lipat lebih tinggi dari inflasi umum yang berada di bawah kisaran tiga persen. Adanya gejolak harga pangan tersebut, oleh sejumlah ekonomon, dinilai sangat menghantam kehidupan kelompok masyarakat miskin. Sekedar info, rerata 62 persen dari penghasilan masyarakat bawah digunakan untuk membeli kebutuhan makanan sehari-hari.
Seorang ibu rumah tangga warga Makassar, Sulawesi Selatan, bernama Astria, seperti dilansir dari BBC News Indonesia, Jumat (15/3), mengungkapkan bahwa bulan puasa tahun ini lebih berat dari tahun-tahun sebelumnya. Pengakuan dia, dirinya dan keluarga hanya bisa sahur dan berbuka dengan mi instan dan putih telur akibat harga pangan yang meningkat. “Daging ayam dan daging sapi adalah kemewahan yang sulit diperoleh saat ini,” kata dia.
Sejumlah pengamat pernah berkomentar, melambungnya harga pangan disebabkan tata kelola niaga pangan yang bermasalah, perhelatan pemilu yang menyerap pasokan sembako dalam jumlah besar untuk kampanye, fenomena El Nino, serta permintaan yang meningkat selama Ramadan.
Konon, pemerintah telah melakukan beragam upaya untuk mengontrol kenaikan bahan pangan, mulai dari operasi pasar hingga menambah kapasitas impor. Kata Presiden Joko Widodo, pemerintah telah mempersiapkan diri untuk menjaga ketersediaan bahan pokok pada bulan Ramadan dan menjelang hari raya Idulfitri. Faktanya, hingga kini harga pangan tak kunjung turun.
Data Badan Pangan Nasional (Bapanas), Kamis (14/3), mencatat, harga beras premium dan medium berada di harga Rp 16.460 dan Rp 14.330 per liter. Angka itu meningkat lebih dari Rp 3.000 jika dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Tidak hanya beras, kenaikan harga daging juga melambung tinggi dari Rp 33.890 pada Maret 2023 menjadi Rp 38.660 pada Maret 2024. Selain itu, harga kebutuhan pangan lainnya, seperti gula, daging sapi, telur ayam juga masih tinggi. Cerita warga saat berbuka puasa, “Lupa, kapan terakhir makan daging.”
Beberapa bungkus mi instan dan putih telur dari sisa adonan kue adalah makanan sahur pertama Astria, pada awal bulan Ramadan tahun ini. Astria dan keluarganya tinggal di sebuah rumah panggung, lorong belakang Gereja Toraja, Kecamatan Panakkukang.
“Mi saja sama telur, karena tidak sempat juga pergi ke pasar karena apa-apa mahal,” kata Astria, masih dikutip dari BBC News Indonesia. Dia menambahkan, Ramadan kali ini jauh lebih berat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Mi beli di warung. Telur dari kakak. Dia bikin kue jadi bawa pulang putih telurnya,” katanya lirih. Astria yang merupakan orang tua tunggal.
Keseharian Astria menjual camilan untuk anak-anak hingga manisan kedondong di depan rumahnya. Pendapatannya kurang dari Rp 1 juta per bulan. Astria kembali bercerita bahwa dia dan anak-anaknya lupa kapan terakhir kali makan ayam, apalagi daging sapi.
Dia mengaku hanya bisa mencicipi daging jika kakak atau orang dermawan yang memberinya. “Saya tidak pernah makan (daging, ayam), belum pernah. Makan sahur (pertama) mi sama telur, (sahur) sama mama,” ucapnya pelan.
Hari kedua puasa, Astria tak ada rencana ke pasar untuk membeli makanan berbuka. Bahkan dia belum membayangkan akan menyantap apa saat keluarganya buka puasa nanti. “(Dua hari puasa) pengeluaran sudah Rp 50 ribu. Itu karena pas juga beli beras yang habis.”
“Saya tidak dapatan bantuan (pemerintah) cuma dijamin KIS. Bantuan dua bulan di kantor lurah saya tidak dapat, tidak pernah, saya sudah ambil surat tidak mampu,” tambah Astria.
Seorang ibu rumah tangga lainnya di Makassar bernama Andi Rahmawati (32 tahun) juga mengaku, kenaikan harga beras sangat berdampak ke kebutuhan pokok lainnya sehari-hari.
Rahmawati menyebutkan, selama ini dia membeli beras di harga Rp 8.000 sampai Rp 9.000 per liter. Tapi, lanjut dia, dalam satu bulan terakhir harganya kini menyentuh Rp 14.000 per liter. “Iya merasa (beras) mahal. Dulu saya beli lima sampai 10 kilogram, sekarang beli sedikit-sedikit saja,” kata dia.
Kenaikan harga kebutuhan pokok juga dirasakan oleh seorang pedagang ayam potong bernama Haji Kulle di di Pasar Panakkukang, Kota Makassar. Selama 30 tahun menjual ayam potong, dia mengaku baru kali ini merasakan kenaikan harga daging ayam yang sangat tinggi. “Sekarang harga ayam Rp 55 ribu sampai Rp 60 ribu per ekor,” jelas Kulle, dari harga rata-rata sebelumnya sekitar Rp 40 ribu.
Kenaikan itu, katanya, membuat para pembeli pun menawar dengan ‘sadis’. “Ada yang menawar sadis, karena dia ingat (tahu) waktu dulu (sebelum naik) tapi kan ini naik baru berapa hari. Ini tertinggi, kalau naik daging, sudah naik itu (susah) turun,” ungkap Kulle saat ditemui di pasar.
Selain itu, dia mengaku, pemasukannya juga menurun akibat melambungnya harga pangan. “Biasa orang bisa beli dua ekor, sekarang satu ekor saja. Mahal barang-barang, beras mahal. Itu penjual nasi kuning (dulu) beli enam (ekor) tapi ini beli tiga. Selama mahal, turun (pemasukan) karena tidak seperti biasa,” jelas dia.
***
Sebenarnya berapa kenaikan harga pangan? Pantauan harga sembako di situs Badan Pangan Nasional (Bapanas), Kamis (14/3), dan kemudian dibandingkan dengan harga eceran tertinggi (HET) serta kenaikannya jika dibandingkan tahun lalu, misalnya untuk beras premium harga rata-rata nasionalnya adalah Rp 16.460 per kg. Harga tertinggi sebesar Rp 25 ribu di Papua Pegunungan dan terendah Rp 14.650 per kg di Aceh.
Harga beras premium ini masih di atas HET yang ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 14.900 per kg hingga Rp 15.800 per kg, tergantung wilayahnya. Harga beras ini juga meningkat hampir Rp 3.000 jika dibandingkan Maret 2023 yang berada di angka Rp 13.530.
Kemudian, harga daging ayam ras juga melambung jauh lebih tinggi dari Rp 33.890 pada Maret 2023, menjadi Rp 38.660 pada 14 Maret 2024. Harga daging ayam tertinggi di Papua Pegunungan sebesar Rp 62.530 per kg dan terendah di Sulawesi Selatan Rp 30.490.
Di satu sisi, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat harga daging ayam ras pada pekan pertama Maret 2024 meningkat 4,34 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Lalu, harga telur juga masih berada di harga Rp 31.890 per kg, meningkat lebih dari Rp 3.000 jika dibandingkan Maret tahun sebelumnya.
Bahkan menurut BPS, wilayah kabupaten atau kota yang mengalami kenaikan harga telur ayam naik dari sebelumnya 229 menjadi 271 wilayah atau 69,44 persen. Begitu juga dengan gula yang meningkat dari Rp 14.380 menjadi Rp 17.760. Berikutnya, daging sapi murni kini berada di harga Rp 135.120, naik tipis dari Rp 134.700 pada Maret 2023.
***
Menjadi pertanyaan masyarakat kemudian adalah, mengapa harga bahan pangan meroket setelah penyelenggaraan Pilpres 2024? Salah satu bahan pokok yang mengalami peningkatan tajam adalah beras, usai ramai isu penggelontoran dana bantuan sosial (bansos) yang secara sporadis dengan dugaan untuk memenangkan salah satu pasangan calon (paslon) kontestasi pilpres tersebut.
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR secara virtual, Rabu (13/3), berdalih, kenaikan itu salah satunya disebabkan oleh fenomena El Nino, sehingga masa panen mundur pada 2024 dan stok beras lokal menipis.
“Musim tanamnya bergeser, jadi harusnya kita Januari-Februari sudah panen raya, nah ini panen rayanya mundur kira-kira sekarang sudah tapi belum masuk panen raya kemungkinan April dan Mei jadi panen rayanya April dan Mei,” elak dia.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menambahkan, selain pengaruh cuaca tersebut, kenaikan harga beras juga disebabkan oleh menurunnya luas tanam padi dari 7,44 juta hektare menjadi 5,49 juta hektare pada Februari 2024. Faktor lain yang mempengaruhi, turunnya volume pupuk subsidi sebesar 50 persen dari 9,55 juta ton menjadi 4,7 juta ton pada 2024. “Produksi produksi beras pada Juni hingga Oktober 2024 dikhawatirkan tidak dapat memenuhi kebutuhan beras nasional,” ungkap Amran.
Sementara itu, Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi berkata, harga beras yang meroket salah satunya disebabkan karena harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani masih tinggi. “Kemarin (harga GKP) sampai dekat-dekat Rp 9.000, maka sulit harga beras untuk Rp 13.900 seperti HET. Delapan bulan terakhir sampai Februari 2024, produksi versus konsumsi itu memang terus negatif,” jelas dia.
Arief meyakini harga GKP akan turun secara perlahan karena panen raya pada April mendatang. “April pasti akan terkoreksi, karena GKP akan terkoreksi. Kami harus jaga GKP tidak turun karena sebelumnya Rp 8.600, Rp 8.700, hari ini Rp 7.200. Beberapa angkanya sudah di bawah, sekarang sudah Rp 6.950,” kata dia. Penjelasan Arief, sepanjang Maret hingga April 2024, pihaknya memperkirakan akan terjadi panen raya gabah petani setara dengan 8,46 juta ton beras.
***
Publik pun sudah bisa langkah yang akan dilakukan pemerintahan Jokowi untuk mengatasi kondisi tersebut. Impor. Ya, benar. Pemerintah akan segera membuka keran impor. Solusi jangka pendek yang kini dilakukan pemerintah adalah menambah kuota impor beras untuk mengintervensi lonjakan harga di pasaran.
“Oleh karena itu pasar dibanjiri oleh Bulog juga beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) dan beras medium harganya dijamin pemerintah SPHP Rp 11 ribu kurang sedikit beras medium Rp 14 ribu per kg,” kata Zulkifli Hasan.
Baru-baru ini, Perum Bulog mengaku telah menyelesaikan kontrak impor sebanyak 300 ribu ton dari Thailand dan Pakistan. Padahal, beberapa waktu sebelumnya, pemerintah telah merealisasikan impor beras sebanyak 500 ribu ton. Artinya, hanya dalam tiga bulan terakhir, pemerintah telah mengimpor 800 ribu ton, dari total kuota 2024 sebanyak 3,6 juta ton.
BPS mencatat Indonesia mengimpor beras sebesar 3,06 juta ton pada 2023. Kini stok cadangan beras pemerintah (CBP) di Bulog per 7 Maret 2024 berjumlah 1,13 juta ton dan stok komersial sebanyak 14.559 ton.
Fakta ini kontras dengan penghargaan yang diterima Presiden Jokowi dari International Rice Research Institute (IRRI) karena Indonesia berhasil mencapai swasembada beras 2019-2021. Pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengatakan pemerintah telah mempersiapkan diri untuk menjaga ketersediaan bahan pokok jelan bulan Ramadan dan hari raya Idulfitri.
Kata Jokowi, seperti beras, stok cadangan pemerintah dalam kondisi aman, sedangkan untuk komoditas lainnya akan dilakukan pengecekan ke lapangan. Kementerian Perdagangan konon juga akan meluncurkan Gerakan Pangan Murah (GPM).
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim, Senin (4/3), meminta agar masyarakat tidak khawatir, karena pemerintah siap untuk melakukan peningkatan ketersediaan bahan pangan baik di pasar tradisional, pasar modern, maupun melalui GPM. Faktanya, di tengah beragam upaya yang dilakukan, hingga kini harga kebutuhan pokok masih tinggi. Akan berdalih apalagi rezim pemerintahan ini?
***
Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menegaskan, kenaikan harga pangan telah menyebabkan inflasi harga pangan bergejolak atau volatile food mencapai lebih dari 8,47 persen. Angka ini tiga kali lebih tinggi dari inflasi umum sekitar 2,75 persen, pada Februari 2024.
Penegasan Faisal, kenaikan ini sangat berdampak bagi kehidupan masyarakat kelompok menengah hingga miskin. Dia pun merujuk data BPS yang menyebutkan bahwa dari 55 juta masyarakat miskin di Indonesia, rata-rata proporsi belanja untuk membeli pangan terhadap total pengeluaran mencapai 62 persen.
“Artinya lebih dari separuh pendapatan mereka dipakai untuk belanja pangan. Sehingga peningkatan seratus hinga seribu rupiah itu sangat mempengaruhi kehidupan kelompok miskin secara signifikan,” kata Faisal geram.
Senada, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menilai, kenaikan harga itu juga telah dan akan menggerus daya beli masyarakat. Pendapatan mereka, imbuh dia, akan digunakan semakin lebih banyak untuk membeli makanan.
“Dampak lanjutannya, akan berimplikasi pada pelambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, karena pertumbuhan ekonomi di Indonesia sekitar 53 persen didorong dari konsumsi rumah tangga. Itu juga menjadi salah satu indikasi upah riil kita juga lebih rendah,” terang dia.
Sekilas info, upah riil menggambarkan daya beli dari pendapatan yang diterima buruh dibagi dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). “Contoh kalau dari pendapatan Rp 1 juta bisa lebih beras dan telur 10 kilogram, tapi karena harga lebih mahal dapatnya lebih sedikit. Artinya upah riilnya menurun,” kata Esther.
Lalu, upaya apa yang bisa dilakukan? Upaya yang bisa dilakukan untuk mengontrol harga pangan agar tidak semakin meningkat, menurut Esther, adalah dengan menambah bahan pangan di pasar sehingga pasokan aman dan harga menjadi terkontrol.
Caranya bisa melalui operasi pasar, menambah impor, hingga meningkatkan produksi. “Kalau dilihat dari komoditi beras, sekitar April baru panen raya, dan sekarang masih awal Maret. Berarti kita tidak bisa mengandalkan produksi beras, mau tidak mau impor,” ucap dia.
Setelah pasokan mampu dijaga, kata Esther, pemerintah harus membenahi regulasi dan tata niaga dari bahan-bahan pangan yang bermasalah. Tujuannya, agar kejadian ini tidak terus berulang setiap tahun. Harga pangan bisa terkontrol walaupun ada dinamika peristiwa tahunan yang terjadi.
“Kalau di luar negeri itu, katakan yang saya tahu di Belanda, harga pangan relatif stabil, mau Natal atau Tahun Baru. Bahkan justru saat Natal banyak diskon. Itu karena pemerintahnya punya regulasi yang tegas,” kata dia.
Esther mencontohkan dari sisi distribusi pangan. Menurutnya, para pemain atau distributor pangan di Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir orang yang pasti ada menyebabkan persaingan tidak sempurna.
“Contoh di beras. Pemerintah kalau mau beli harga gabah, misalnya Rp 5.000, mereka berani beli Rp 6.000, dan seterusnya. Kondisi ini tidak berubah dari kondisi berapa puluh tahun yang lalu sampai sekarang,” katanya.
Mohammad Faisal menambahkan, Bulog paling banyak menyimpan 20 persen dari total cadangan beras. Selebihnya dikendalikan oleh swasta. Hal serupa juga terjadi di komoditas pangan lainnya.
Jadi, apakah kini masyarakat masih yakin bahwa rezim pemerintahan ini masih akan terus memperhatikan rakyatnya? Serta masih yakin pula akan adanya keberlanjutan yang bisa memberikan kebahagiaan bagi rakyatnya? Ini ibarat menanti godot. Menunggu sesuatu yang tidak pasti, dan jelas akan menimbulkan kekecewaan.
The Indonesian | BBC News Indonesia