theIndonesian – Pemilu 2024 dinilai sebagai pemilu terburuk dalam sejarah pesta demokrasi di republik ini. Hal tersebut ditegaskan Jusuf Kalla, mantan wakil presiden ke-10 dan ke-12 Indonesia.
Komentar pria yang biasa disapa JK tersebut, pemilu kali ini diduga telah diatur oleh kelompok minoritas yang terdiri atas segelintir orang dalam pemerintahan, dan pihak-pihak yang mempunyai uang banyak. Jika hal semacam ini terus dibiarkan, imbuh dia, dirinya khawatir Indonesia akan kembali menjalankan sistem otoriter.
“Begitu banyaknya berbagai kelompok elemen masyarakat yang mempertanyakan keadaan demokrasi di Tanah Air, termasuk luapan rasa kemarahan dan protes yang menilai pemilu tidak transparan, menguatkan dugaan saya,” kata dia, dalam acara diskusi di Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik (FISIP) UI, Depok, Jawa Barat, Kamis (7/3).
Menurut JK, Indonesia baru saja melewati suatu cara pemerintahan demokratis dengan pemilu ini yang bagi. Namun, lanjut dia, bagi banyak pihak perlu dikoreksi dan perlu dievaluasi. “Bagi saya, saya pernah mengatakan ini adalah pemilu terburuk dalam sejarah pemilihan sejak 1955,” tegas dia.
JK pun mengomentarsi soal berbagai isu yang berkembang di masyarakat menjelang pilpres, terkait penggunaan fasilitas negara yang sengaja dilancarkan untuk memenangkan paslon tertentu. Mulai dari masalah dana bansos yang besar, masalah ancaman, hingga masalah bujukan. “Gabungan dari semua itu tentu menyebabkan adanya yang saya katakan tadi (jadi pemilu terburuk). Maka demokrasi yang kita harapkan, dambakan, suara rakyat menjadi terbeli,” ucapnya.
Penilaian JK, salah satu cara untuk menjawab semua hal itu adalah melalui jalur konstitusional, yaitu dengan hak angket. Hal ini penting agar pemerintahan yang baru dapat berjalan dengan kepercayaan penuh dari masyarakat. “Contohnya hak angket atau apa pun, pansus atau bagaimana, harus diselesaikan di situ. Supaya ini negara berjalan, jangan kita rusak negara ini lagi.”
Bivitri Susanti, pakar hukum tata negara, di tempat yang sama, berkomentar, dalam setiap pemilu pasti ada kecurangan, namun yang terjadi dalam pemilu 2024 ini sudah terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
“Kalau dibandingkan dengan yang lama-lama menurut saya ini yang paling buruk. Kecurangan selalu ada. Kita semua tahu kecurangan itu selalu ada, tapi bobotnya pada tahun ini terlalu luar biasa,” ungkap dia.
Penilaian Bivitri, penggunaan fasilitas negara dan pemanfaatan kinerja aparatur sipil negara (ASN) hingga pembentukan koalisi besar dalam pemerintahan Joko Widodo, tidak saja membunuh oposisi sebagai pengontrol dan pengawas, tetapi juga semakin memuluskan terjadinya kecurangan dalam pemilu.
The Indonesian