theIndonesian – Tindakan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia dalam mencopot ribuan izin usaha pertambangan (IUP) dinilai cacat kewenangan dan cacat hukum oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Kepala Divisi Hukum Jatam Nasional Muhammad Jamil mengatakan, terdapat dua jenis kecacatan dalam pencabutan IUP yang dilakukan Bahlil dalam kapasitasnya sebagai ketua Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.
Penegasan dia, apa yang dilakukan Bahlil sudah bermasalah sejak dulu, misalnya terkait kewenangan yang membolehkan menteri Investasi/kepala BKPM untuk mencabut izin tambang. “Berdasarkan pasal 119 UU No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), pencabutan IUP hanya bisa dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertambangan minerba,” kata Jamil, dikutip dari Bloomberg Technoz, Kamis (7/3).
Dia berkomentar, selain cacat kewenangan, pencabutan IUP oleh Bahlil tidak memiliki dasar hukum. Sekedar informasi, cikal bakal satgas tersebut adalah Keputusan Presiden No 11/2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi.
Keppres tersebut tertulis bahwa satgas yang dimaksud diketuai oleh menteri Investasi/kepala BKPM, dengan wakil ketua Wakil I Jaksa Agung, wakil ketua II Wakil Kepala Polri, serta Sekretaris Dini Purwono.
“Namun, saya tidak melihat adanya dasar hukum berupa perpres atau UU yang mengatur peralihan pencabutan IUP dari menteri ESDM ke menteri Investasi/kepala BKPM. Memang terdapat Perpres No 70/2023 tentang Pengalokasian Lahan bagi Penataan Investasi sebagai landasan hukum pembentukan Satgas, tapi perpres itu belum mengatur perpindahan kewenangan,” tegas Jamil.
Jamil menegaskan, sejatinya menteri Investasi tidak punya kewenangan untuk mencabut izin tambang, karena mencabut izin tambang dan menerbitkan izin adalah kewenangan di menteri ESDM berdasarkan UU Minerba Pasal 119.
Jamil pun menilai bahwa pencabutan IUP juga cacat dari segi prosedur. Berdasarkan pasal 185 ayat 2 Peraturan Pemerintah (PP) No 96 Tahun 2021 dijelaskan bahwa pemegang IUP untuk penjualan yang melanggar ketentuan bakal dikenakan sanksi administratif secara bertahap dan tidak serta-merta langsung dicabut IUP-nya.
“Sanksi administratif berupa peringatan tertulis, penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi atau operasi produksi dan/atau pencabutan IUP. Kecacatan secara kewenangan dan prosedur itu pada akhirnya dimanfaatkan sebagai celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh Bahlil dan perusahaan,” ungkap dia.
Perlu diketahui, sejumlah perusahaan memang telah melayangkan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Namum publik mahfum bahwa memerlukan proses yang panjang untuk mengurus hal tersebut. Kondisi itu memungkinkan potensi terjadi transaksi untuk mengaktifkan IUP kembali melalui lobi langsung kepada Bahlil.
“Ketika Bahlil menerbitkan surat keputusan (SK) pencabutan, dia juga berwenang mencabut SK pencabutan atau menerbitkan SK baru untuk mengaktifkan kembali. Di situ arenanya, sangat mungkin bisa terjadi transaksi,” ucap dia.
Sekedar informasi, nama Bahlil Lahadalia belakangan tengah menjadi sorotan publik lantaran dia disebut-sebut melakukan penyalahgunaan wewenang dalam mencabut dan mereaktivasi IUP serta hak guna usaha (HGU) lahan sawit di beberapa daerah.
Laporan Tempo menyebutkan, Bahlil diduga meminta sejumlah imbalan uang hingga miliaran rupiah dalam menjalankan tugasnya sebagai pimpinan satgas tersebut. Dia juga dikabarkan meminta porsi saham dari perusahaan-perusahaan yang dicabut dan dipulihkan lagi IUP atau HGU-nya.
Data yang ada, pemerintah melalui Kementerian Investasi/BKPM setidaknya telah mencabut 2.078 IUP, yang terdiri dari 1.776 IUP perusahaan tambang mineral dan 302 IUP perusahaan tambang batu bara. Secara total, luas wilayah lahan yang dicabut izinnya itu mencapai sekitar 3,2 juta hektare (ha) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Sebelumnya, Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto berkata, pencabutan IUP tanpa melalui proses dan mekanisme yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan akan berdampak pada tidak adanya jaminan kepastian hukum bagi investasi sektor pertambangan. Penjelasan dia, pencabutan usaha pertambangan harus dilakukan secara transparan dan melalui mekanisme atau proses yang sesuai dengan ketentuan pasal 119 UU Minerba.
The Indonesian | Bloomberg Technoz | Tempo