theIndonesian – Senja berangsur meninggalkan peraduannya. Rembulan tampak malu-malu menampakkan cahayanya. Hawa dingin pun mulai merasuk ke dalam tulang. Mbok-mbok pedagang nasi liwet mulai menggelar dagangannya.
Malam itu, hujan gerimis mengguyur Kota Solo (Surakarta). Ya, sebuah kota tua yang berumur lebih dari ratusan tahun yang sarat dengan peristiwa sejarah bagi bangsa Indonesia. Sebut saja peristiwa lahirnya Serikat Islam pada 1911, di mana saat itu reaksi wong Solo bergolak atas campur tangan ekonomi kolonial. Kemudian, peristiwa pemberontakan faham komunis yang dipimpin Haji Mizbah yang bisa menguasai kereta api pada 1924.
Dalam konteks Kota Solo, kelahiran kota ini sendiri merupakan peristiwa sejarah yang ditandai perpindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala. Pemilihan lokasi dibangunnya Keraton Surakarta bermakna bagi eksistensi kerajaan. Konsep ‘kutaraja’ yang dikelilingi benteng Baluwarti dihadirkan di lokasi yang awalnya pusat perdagangan Bengawan Solo, mengingat di sana ada pertemuan sejumlah sungai yang waktu itu merupakan sarana transportasi perdagangan.
Awalnya, lokasi dibangunnya keraton berupa kedung, dan merupakan pertemuan sejumlah sungai. Ada Sungai Batangan yang bertemu dengan Sungai Tempuran. Lalu, Sungai Laweyan atau Banaran yang bertemu dengan Sungai Batangan. Sementara dari arah selatan ada Sungai Wingko dan dari utara ada Sungai Pepe.
Beberapa kitab Jawa, baik dalam Babad Giyanti (1916, I), Babad Kartasura Pacinan (1940), maupun Babad Tanah Jawi (1941), kisah perpindahan keraton dari Kartasura ke Surakarta hampir seragam.
Ketika Sunan Paku Buwono II (1726–1749) kembali dari Ponorogo, (1742), ia menyaksikan kehancuran bangunan istana. Rusaknya bangunan istana itu disebabkan ulah dari para pemberontak Cina. Bagi Sunan, keadaan tersebut mendorong niatnya untuk membangun sebuah istana yang baru.
Kemudian, ia mengusulkan kepada para para punggawa kerajaan untuk membangun sebuah istana baru. Patih R Ad Pringgalaya dan beberapa bangsawan diajak berembuk tentang rencana itu. Paku Buwono II berkeinginan membangun istana baru di tempat yang baru.
Ia menghendaki, istana yang baru itu berada di sebelah timur istana lama, dekat dengan Sungai Bengawan Sala. Hal ini dilakukan di samping untuk menjauhi pengaruh para pemberontak yang mungkin masih bersembunyi di Kartasura, juga untuk menghapus kenangan buruk kehancuran istana Kartasura.
Akhirnya, Sunan mengutus utusan yang terdiri dari ahli negara, pujangga dan ahli kebatinan untuk mencari tempat yang cocok bagi pembangunan istana baru. Utusan itu terdiri dari Mayor Hohendorp, Adipati Pringgalaya, dan Adipati Sindurejo (masing-masing sebagai Patih Jawi ’Patih Luar’ dan Patih Lebet ‘Patih Dalam’), serta beberapa orang bupati.
Utusan itu diikuti juga oleh abdi dalem ahli nujum, Kyai T Hanggawangsa, RT Mangkuyuda, dan RT Puspanegara. Singkat cerita, mereka mendapatkan tiga tempat yang dianggap cocok untuk dibangun istana, yaitu Desa Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sana Sewu.
Setelah diadakan musyawarah, para utusan akhirnya memilih Desa Sala sebagai calon tunggal untuk tempat pembangunan istana baru, dan keputusan ini kemudian disampaikan kepada Sunan di Kartasura.
Setelah Sunan menerima laporan dari para utusan tersebut, kemudian memerintahkan beberapa orang abdi dalem untuk meninjau dan memastikan tempat itu. Utusan itu adalah Panembahan Wijil, abdi dalem Suranata, Kyai Ageng Khalifah Buyut, Mas Pangulu Fakih Ibrahim, dan Pujangga istana RT Tirtawiguna (Tus Pajang, 1940:19-21).
Sesampainya di Desa Sala, utusan tersebut menemukan suatu tempat yang tanahnya berbau harum, maka disebut Desa Talangwangi (tala=tanah; wangi=harum), terletak di sebelah barat laut Desa Sala (sekarang menjadi Kampung Gremet).
Setelah tempat tersebut diukur untuk calon lokasi istana, ternyata kurang luas, maka selanjutnya para utusan melakukan samadhi (bertapa) untuk memperoleh ilham (wisik) tentang cocok atau tidaknya tempat tersebut dijadikan pusat istana. Mereka kemudian bertapa di Kedhung Kol (termasuk kampung Yasadipuran sekarang).
Beberapa hari bertapa, mereka memperoleh ilham bahwa Desa Sala sudah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi pusat kerajaan baru yang besar dan bertahan lama (Praja agung kang langgeng).
Ilham tersebut selanjutnya memberitahukan agar para utusan menemukan Kyai Gede Sala (sesepuh Desa Sala). Orang itulah yang mengetahui ‘sejarah’ dan cikal bakal Desa Sala. Perlu diketahui, bahwa nama Kyai Gede Sala berbeda dengan Bekel Ki Gede Sala, seorang bekel yang mengepalai Desa Sala pada zaman Pajang. Sedang Kyai Gede Sala adalah orang yang mengepalai Desa Sala pada zaman kerajaan Mataram Kartasura (Pawarti Surakarta, 1939:6-7).
Selanjutnya Kyai Gede Sala menceritakan tentang Desa Sala sebagai berikut. Ketika zaman Pajang, salah seorang putera Tumenggung Mayang, abdi dalem Kerajaan Pajang, bernama Raden Pabelan, dibunuh di dalam istana, sebab ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton atau Ratu Hemas, puteri Sultan Hadiwijaya, raja Pajang (Atmodarminto, 1955:83; Almanak Cahya Mataram, 1921:53; Dirjosubrata, 1928:75-76).
Selanjutnya mayat Raden Pabelan dihanyutkan (dilarung) di Sungai Lawiyan (Sungai Braja), hanyut dan akhirnya terdampar di pinggir sungai dekat Desa Sala. Bekel Kyai Sala yang saat itu sebagai penguasa Desa Sala, pagi hari ketika ia pergi ke sungai melihat mayat. Kemudian mayat itu didorong ke tengah sungai agar hanyut. Memang benar, mayat itu hanyut dibawa arus air Sungai Braja.
Pagi berikutnya, Kyai Gede Sala sangat heran karena kembali menemukan mayat tersebut sudah di tempatnya semula. Sekali lagi mayat itu dihanyutkan ke sungai. Namun anehnya, pagi berikutnya peristiwa sebelumnya berulang lagi.
Mayat itu kembali ke tempat semula, sehingga Kyai Gede Sala menjadi sangat heran. Akhirnya ia maneges, minta petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa atas peristiwa itu. Setelah tiga hari tiga malam bertapa, Kyai Gede Sala mendapat ilham atau petunjuk.
Ketika sedang bertapa, seakan-akan ia bermimpi bertemu dengan seorang pemuda gagah. Pemuda itu mengatakan, bahwa dialah yang menjadi mayat itu dan mohon dengan hormat kepada Kyai Gede Sala agar dia dikuburkan di situ.
Namun sayang, sebelum sempat menanyakan tempat asal dan namanya, pemuda itu telah raib/menghilang. Akhirnya Kyai Gede Sala menuruti permintaan pemuda tersebut, dan mayatnya dimakamkan di dekat desa Sala. Karena namanya tidak diketahui, maka mayat itu desebut Kyai Bathang (bathang=mayat). Sedangkan tempat makamnya disebut Bathangan (makam itu sekarang berada di kawasan Beteng Plaza, Kelurahan Kedung Lumbu). Adanya Kyai Bathang, Desa Sala semakin raharja (Sala=raharja_, kehidupan rakyatnya serba kecukupan dan tenang tenteram (Roorda, 1901:861). Demikian cerita singkat Kyai Gede Sala. Kuburan itu terletak di tepi rawa yang dalam dan lebar. Keadaan ini kemudian oleh para utusan dilapokan kepada Sunan di Kartasura.
Sesudah Sunan Paku Buwana II menerima laporan, maka segera memerintahkan kepada Kyai Tohjaya dan Kyai Yasadipura (I), serta RT. Padmagara, untuk mengupayakan agar Desa Sala dapat dibangun istana baru. Ketiga utusan tersebut kemudian pergi ke Desa Sala. Sesampainya di Desa Sala, mereka berjalan mengelilingi rawa-rawa yang ada di sekeliling Desa Sala.
Akhirnya, mereka dapat menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu (air kehidupan, sumber mata air). Hal itu dilaporkan kepada Sunan, dan kemudian Sunan memutuskan bahwa Desa Sala-lah yang akan dijadikan pusat istana baru.
Sunan segera memerintahkan agar pembangunan istana segera dimulai. Atas perintah Sunan, seluruh abdi dalem dan sentana dalem membagi tugas: abdi dalem mancanegara Wetan dan Kilen dimintai balok-balok kayu, jumlahnya tergantung pada luas wilayahnya.
Balok-balok kayu tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam rawa di Desa Sala sampai penuh. Meskipun demikian belum dapat menyumbat mata air rawa tersebut, bahkan airnya semakin deras.
Sanadyan kelebetana sela utawi balok ingkang ageng-ageng ngantos pinten-pinten ewu, meksa mboten saget pampet, malah toya saya ageng ambalaber pindha samodra.(Tus Pajang, 1940:24-25).
(Walaupun diberi batu atau pun balok-balik kayu yang besar-besar sampai beribu-ribu banyaknya, terpaksa tidak dapat tertutup, bahkan keluarnya air semakin besar dan menyeruap bagaikan samudra).
Bahkan lebih mengherankan lagi, dari sumber air tersebut keluar berbagai jenis ikan yang biasa hidup di air laut (teri pethek, dsb). Menyaksikan kejadian itu, Panembahan Wijil dan Kyai Yasadipura bertapa selama tujuh hari tujuh malam tanpa makan dan tidur. Akhirnya pada malam hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) Kyai Yasadipura mendapatkan ilham sebagai berikut:
He kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora bisa pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira ngudi pampete, kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong lumbu, lawan sirah tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang teleng. Ananging ing tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan kena pinampet ing salawas-lawase (Pawarti Surakarta, 1939:7).
(Hai, kalian yang bertapa, ketahuilah, bahwa pusat rawa ini tidak dapat ditutup, sebab menjadi tembusannya Lautan Selatan. Namun demikian bila kalian ingin menyumbatnya gunakan cara: gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu (talas), dan kepala ronggeng, cendol mata orang, disitulah pasti berhenti keluarnya mata air. Akan tetapi besok kenghung itu tidak akan mengalir, tetapi juga tidak berhenti mengeluarkan air, kekal tidak dapat disumbat selama-lamanya).
Penerimaan ilham tersebut terjadi pada hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) tanggal 28 Sapar, Jimawal 1669 (1743 Masehi) (Yasadipura II, 1916: 17-18). Segala kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada Sunan di Kartasura. Sunan sangat kagum mendengar laporan tersebut dan setelah berpikir keras akhirnya Sunan bersabda:
Tledhek iku tegese ringgit saleksa. Dene Gong Sekar Dlima tegese gangsa, lambe iku tegese uni. Dadi watake bebasan kerasan. Gong Sekar Delima, dadi sekaring lathi, ingkang anggambaraken mula bukane nguni iku Kyai Gede Sala. Saka panimbang iku udanegarane kabener anampi sesirah tledhek arta kehe saleksa ringgit (cendhol mata uwonng), mangka liruning kang dadi wulu wetuning desa tekan ing sarawa-rawa pisan (Pawarti Surakarta, 1939:8).
Tledhek berarti sepuluh ribu ringgit. Gong Sekar Delima berarti gangsa, bibir atau ujar (perkataan). Jadi bersifat perumpamaan. Gong Sekar Delima menjadi buah bibir yang menggambarkan asal mula/cikal bakal (desa) yaitu Kyai Gede Sala. Atas pertimbangan itu sepantasnya menerima ganti uang sebanyak sepuluh ribu ringgit. Sebagai ganti rugi penghasilan desa beserta rawa-rawanya.
Demikian akhirnya Kyai Gede Sala memperoleh ganti rugi sebesar sepuluh ribu ringgit (saleksa ringgit) dari Sunan. Selanjutnya Kyai Gede Sala bertapa di makam Kyai Bathang. Di dalam bertapa itu Kyai Gede Sala memperoleh Sekar Delima Seta (putih) dan daun lumbu (sejenis daun talas).
Kedua barang tersebut dimasukkan ke dalam sumber mata air (Tirta Amerta Kamandanu). Sesudah itu dilakukan kerja bakti (gugur gunung) menutup rawa. Akhirnya pekerjaan itu selesai dengan cepat. Penghuninya dipindahkan dan dimukimkan kembali di tempat lain (wong cilik ing Desa Sala kinen ngalih marang ing desa Iyan sami).
Kemudian pembangunan dimulai dengan menguruk tanah yang tidak rata dan dibuat gambar awal dengan mengukur panjang dan lebarnya (ingkur amba dawane). Puluhan ribu (leksan) buruh bekerja di proyek pembangunan itu. Dinding-dinding pertama dibangun dari bambu karena waktunya mendesak. Adapun desain umumnya mencontoh model Karaton Kartasura (anelad Kartasura) (Lombard, III: 109).
Mengapa pilihan jatuh di Desa Sala? Ada beberapa alasan yang dapat diajukan, baik dilihat secara wadhag atau fisik-geografis maupun alasan magis-religius. Desa Sala letaknya dekat dengan Bengawan Sala, yang sejak lama mempunyai arti penting dalam hubungan sosial, ekonomi, politik, dan militer antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Sebuah sumber menyebutkan, Bengawan Sala atau atau Bengawan Semanggi mempunyai 44 bandar (Fery Charter abad ke-14), salah satunya bernama Wulayu atau Wuluyu atau sama dengan Desa Semanggi (bandar ke-44). Dalam Serat Wicara Keras disebutkan, Bengawan Sala sebagai Bengawannya orang Semanggi (bandingkan dengan Babad Tanah Jawi).
Alasan lainnya, di Desa Sala cukup tenaga kerja untuk membuat keraton karena dikelilingi oleh Desa Semanggi, Baturana, dan Babudan (dua desa yang terakhir merupakan tempat abdi dalem pembuat babud permadani pada zaman Kartasura). Desa Sala sendiri zaman Padjang di bawah bekel Kyai Sala.
Alasan politis juga dapat dimasukkan, terutama dalam menjaga kepentingan VOC. Untuk mengawasi Mataram maka VOC membangun benteng di pusat Kota Mataram yang mudah dijangkau dari Semarang sebagai pintu gerbang ke pedalaman.
Sementara itu terdapat sejumlah alasan magis-religius seperti berikut ini. Pertama, Desa Sala terletak di dekat tempuran, yaitu bertemunya Sungai Pepe dan Bengawan Sala. Tempuran merupakan tempat magis dan sakral.
Di samping itu, kata Sala atau Qala dihubungkan dengan bangunan suci. Kata itu berarti ruangan atau bangsal besar dan telah disebut-sebut dalam OJO no. XLIII (920) dengan istilah Kahyunan. Di Qala tedapat sekolah Prahunan (sekarang Kampung Praon) di dekat muara Sungai Pepe, yang artinya bangunan suci di Hemad (I Hemad atau Ing Hemad, Ing Gemad = Gremet). Ning peken ri hemad, artinya di pasar ngGremet, tempat dilakukan upacara penyumpahan mendirikan tempat swatantra perdikan di Sala.
Pembangunan keraton segera dimulai setelah rawa-rawa berhasil dikeringkan dan tempatnya dibersihkan. Untuk menguruk keraton, tanahnya diambil dari Desa Talawangi. (dalam sebuah sumber lain disebutkan, hawit iku pada kalebu hing jangka, sak mangsa-mangsa ndandani Kadaton bakal njupuk hurug lemah Kadipala) (Tetedakan sangking Buk Ha: Ga, Sana Pustaka).
Jadi tanah Talawangi dan tanah Sala kedua-duanya dipakai untuk pembangunan keraton. Keraton telah berdiri meskipun belum dipagari batu dan baru dari bambu (jaro bethek). Sirnaning Resi Rasa Tunggal (1670) menandai saat pengerjaan keraton selesai, meskipun nampak tergesa-gesa.
Berebut Tahta Kerajaan
PascaSunan Pakubuwono XII ‘mangkat’ beberapa waktu lalu (11 Juni 2004), terjadi perebutan kekuasaan ‘siapa yang berhak menjadi raja’. Peristiwa perebutan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Sudibyo Raja Putra Narendra Mataran VIII atau disingkat Paku Buwono XIII, membuat kalangan kerajaan terpecah menjadi dua bagian, yakni antara pendukung Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH Tedjowulan.
Keduanya merasa mempunyai hak untuk menduduki tahta kerajaan. Peristiwa ini secara tidak langsung mengingatkan masyarakat Indonesia dengan ‘sejarah kelam’ yang terjadi pada 1755 lampau. Saat itu, terjadi peristiwa Perjanjian Giyanti yang memecah Dinasti Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dahulu, perpecahan (perebutan kekuasaan) selalu dikaitkan dengan politik memecah belah atau devide et impera penjajah Belanda yang ingin menancapkan kekuasaan di Tanah Jawa. Namun, saat ini sulit dipungkiri, perpecahan didorong nafsu berkuasa para elite Kasunanan Surakarta.
Menurut beberapa kalangan, rebutan tahta ini sebenarnya tidak akan terjadi kalau saja Paku Buwono XII mengangkat permaisuri. Sehingga, secara langsung putra mahkota adalah anak sulung dari permaisuri.
Namun, semasa hidupnya, Paku Buwono XII hanya memiliki garwa ampil atau selir dengan 37 anak. Konon, alasan Paku Buwono XII tidak berpermaisuri bisa jadi karena Kasunanan Surakarta lebih berfungsi sebagai wilayah kebudayaan. Di luar kompleks keraton, kekuasaan raja tidaklah dominan.
KGPH Hangabehi adalah putra tertua Paku Buwono XII dari selir ketiga Gusti Raden Ayu (GRAy) Pradapaningrum. Karena itulah, Hangabehi merasa dirinyalah yang berhak memangku tahta kerajaan.
Sementara itu, keluarnya Surat Keputusan Nomor Kep/01/2003 dari tiga pengageng, yakni Pengageng Parentah Keraton, Pengageng Putrasentana, dan Pengageng Parentah Kaputren, mengangkat KGPH Tedjowulan sebagai penerus tahta kerajaan Keraton Surakarta.
Menurut versi KGPH Hangabehi, kapasitasnya sebagai putra lelaki tertua, berhak menjadi pengganti Paku Buwono XII. Karena menurut pandangan pihak Hangabehi, jika tidak ada putra mahkota atau putra yang ditunjuk secara langsung oleh raja pendahulu, maka putra lelaki tertualah yang berhak menjadi raja.
Di sisi lain KGPH Tedjowulan juga menganggap memiliki hak yang sama, karena telah diangkat oleh tiga pengageng keraton. Menurut pandangan pihak Tedjowulan, bila tidak ada putra mahkota, maka tiga lembaga resmi keraton inilah yang berhak menentukan pengganti raja.
Pada 10 Juli 2004 ada rapat Forum Komunikasi Putra-Putri (FKPP) Pakubuwono XII menetapkan bahwa KGPH Hangabehi sebagai putra tertua PB XII yang berhak menjadi raja selanjutnya.
Penyebab konflik Keraton Solo semakin runcing setelah pada 31 Agustus 2004 Tedjowulan keluar dari keraton, dan diangkat sebagai Susuhunan PB XIII oleh beberapa pihak di Sasana Purnama, Badran, Kotabarat, yang merupakan rumah dari Mooryati Soedibyo. Kemudian, pada 10 September 2004 KGPH Hangabehi naik tahta sebagai Susuhunan PB XIII.
Kemudian, konflik Keraton Solo masih berlanjut pada 2012. Terdapat penandatanganan kesepahaman antara Hangabehi dan Tedjowulan, didukung oleh empat perwakilan menteri, yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Pekerjaan Umum serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Pertemuan itu menghasilkan keputusan bahwa Hangabehi tetap menjadi PB XIII, sedangkan KGPH Panembahan Agung Tedjowulan sebagai wakil atau Mahapatih. Pada pertemuan itu, sejumlah pihak keraton menolak perdamaian tidak menerima Tejowulan sebagai Mahapatih, dan menimbulkan keributan ketika Tedjowulan menghadiri acara Tingalan Jumenengan ke-8 PB XIII.
Konflik berlanjut pada Agustus 2013. GKR Wandansari dan beberapa kerabat keraton yang tergabung di kubu Lembaga Dewan Adat memaksa masuk ke Sasana Putra di kawasan Keraton Solo dan membuat kekacauan dengan membubarkan secara paksa acara halal bihalal sekaligus pengukuhan Tejowulan sebagai mahapatih yang diadakan oleh PB XIII.
Bahkan mobil Hardtop Land Cruiser milik eks Bupati Wonogiri, Begug Purnomosidi ditabrakkan ke pintu gerbang Keraton Solo dengan alasan bahwa PB XIII terkunci dalam keraton. Anggota polisi dan TNI terpaksa diturunkan bersiaga, menjaga agar tidak terjadi bentrok fisik.
Penyebab konflik Keraton Solo terus terjadi dengan Lembaga Dewan Adat Keraton memberhentikan PB XIII sebagai raja dan mengangkat GPH Puger sebagai pelaksana jabatan raja.
Konflik terus berlanjut dengan adanya saling menggugat di pengadilan, termasuk penyebab konflik Keraton Solo berlanjut pada April 2017, putri Raja Keraton Solo, GKR Timoer Rumbai Kusuma Dewayani, dikurung di dalam keputren atau kediaman putri-putri raja terkait konflik Keraton Solo.
Pada April 2017 penyebab konflik Keraton Solo terus belanjut dengan PB XIII dan Tejowulan kembali masuk ke keraton dan menyelenggarakan upacara Tingalan Jumenengan ke-13 yang dihadiri oleh keluarga, abdi dalem, perwakilan masyarakat, dan beberapa pejabat tinggi pemerintahan. Pada Oktober 2017, seorang pembantu dari Timoer bernama Sriyatun atau Mbah Atun diusir tujuh pria berbadan besar suruhan pamannya, KGPH Benowo, dari keraton.
Penyebab konflik Keraton Solo sedikit mereda pada 27 Februari 2022 ketika PB XIII mengangkat putra mahkota dan permaisuri pada acara Tingalan Jumenengan ke-18.
Asih Winarni, istri ketiga PB XIII diangkat menjadi permaisuri (prameswari dalem) dengan gelar GKR Pakubuwono. Sedangkan anak dari permaisuri yakni KGPH Purboyo diangkat menjadi putra mahkota dengan gelar Kanjeng Gusti Adipati Anom Sudibyo Rajaputra Narendra Ing Mataram.
Namun pengangkatan putra mahkota dan permaisuri itu menuai kritik dari kubu Lembaga Dewan Adat. Dewan Adat menganggap pengangkatan tersebut tidak sah karena terjadi atas kemauan pribadi Sinuhun, bukan atas mufakat bersama antara Sinuhun dengan para sentana dalem.
Penyebab konflik Keraton Solo kembali meruncing pada 23 Desember 2022, keraton diserang oleh puluhan orang tak dikenal yang menyerang abdi dalem dan beberapa anggota keluarga keraton.
Penyebab konflik Keraton Solo selesai pada 5 Januari 2023, ketika sejumlah pihak keraton yang sempat bertikai, antara lain PB XIII beserta permaisuri dan putra mahkota, dengan kerabat dari Lembaga Dewan Adat Keraton Solo yang dipimpin oleh GKR Koes Murtiyah Wandansari berkumpul. Pertemuan tersebut dilaksanakan secara tertutup di Loji Gandrung, yang diakhiri dengan kesepakatan perdamaian antara kedua belah pihak.
Terbaru, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat bersiap melakukan upacara kenaikan tahta Raja Paku Buwana XIII atau disebut juga dengan Hajad Tingalan Dalem Jumenengan ke-20 Tahun 2024, Selasa (6/2).
Wakil Pengageng Sasana Wilopo Kanjeng Pangeran Dani Nur Adiningrat di Solo, Jawa Tengah, mengatakan, upacara kenaikan tahta nanti dimulai dengan para abdi dalem yang berkumpul di Bangsa Semorokoto dan para sentana dalem berkumpul di sekitar Dalem Ageng.
Sri Susuhunan Pakubuwana XIII merupakan putra tertua Pakubuwono XII yang lahir dengan nama GRM Suryadi. Sri Susuhunan Pakubuwana XIII atau disingkat PB XIII lahir pada 28 Juni 1948. Namun, karena sakit-sakitan, namanya diganti menjadi GRM. Surya Partana.
Sri Susuhunan Pakubuwono XII diketahui Raja di Keraton Solo tahun 1945 hingga 2004. Ia menjabat sebagai Sri Susuhunan Pakubuwono XII selama 59 tahun. Kini, Raja Keraton Solo dijabat oleh Sri Susuhunan Pakubuwana XIII, yang merupakan putra Sri Susuhunan Pakubuwana XIII. Sri Susuhunan Pakubuwana XIII adalah Susuhunan Surakarta kedua belas yang bertakhta sejak 2004.
(TheIndonesian)