theIndonesian – Sejumlah aliansi yang berada di wilayah Sulawesi atau koalisi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan (Sulsel), Sulawesi Tenggara (Sultra), dan Sulawesi Tengah (Sulteng) menampik klaim bahwa hilirisasi berdampak positif bagi masyarakat sekitar tambang dan pabrik pengolahannya.
Bahkan, koalisi itu menantang calon wakil presiden (cawapres) nomor urut dua Gibran Rakabuming Raka, Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia untuk berdialog secara terbuka, serta untuk menunjukkan fakta dan data terkait manfaat maupun dampak negatif hilirisasi nikel, khususnya di Pulau Sulawesi.
Mongabay, situs berita yang kerap menulis isu-isu lingkungan, awal Februari ini menulis, selama tiga tahun terakhir, dampak hilirisasi nikel di Sulteng sangat buruk, terutama bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat lokal, baik itu di area pertambangan maupun di sekitar pabrik.
“Kehadiran tambang nikel juga menyebabkan hutan hujan di Sulsel terancam hilang. Bahkan kebun-kebun petani dan perempuan di Sulsel terancam tergusur akibat ekspansi tambang nikel yang sangat masif dalam setahun terakhir,” tulis situs tersebut.
Bahkan, lanjut tulisan di Mongabay, penggunaan PLTU captive pada smelter nikel di Sultra mengakibatkan penderita penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) meningkat. PLTU captive adalah pembangkit listrik batu bara yang dioperasikan dan dipakai di luar jaringan listrik oleh pelaku industri.
Selain itu, pencemaran laut akibat sedimentasi juga makin meluas, yang berdampak bagi penurunan hasil tangkapan nelayan. Secara tegas bahkan Mongabay menulis bahwa hilirisasi mineral, khususnya hilirisasi tambang nikel yang sempat menjadi materi debat cawapres baru-baru ini, yang dijalankan oleh Presiden Jokowi sudah salah kaprah.
Direktur Walhi Sulteng Sunardi berkomentar, apakah Gibran, Luhut, dan Bahlil bisa menunjukkan data-data terkait dampak positif hilirisasi nikel, khususnya bagi masyarakat dan lingkungan Sulawesi.
“Kami perlu jabarkan satu-satu dampak negatif hilirisasi nikel di Sulteng, khususnya ke Gibran, mulai dari masalah pencemaran air, udara, kehancuran hutan, hingga gangguan kesehatan masyarakat dan penurunan pendapatan masyarakat lokal, seperti petani dan nelayan,” tegas Sunardi, Senin (29/1).
Sunardi juga menyoroti kondisi pekerja tambang dan industri nikel yang sangat memprihatinkan. Ribuan tenaga kerja lokal harus bekerja dengan standar keselamatan kerja yang rendah, upah yang tidak sesuai dengan risiko kecelakaan kerja yang sangat tinggi, serta sistem kerja kontrak yang membuat para pekerja harus bekerja non-stop agar mendapat penghasilan yang tinggi.
“Tingginya angka kecelakaan kerja menjadi bukti bahwa kondisi buruh pabrik nikel sangat memprihatinkan. Juga termasuk banyak buruh-buruh smelter nikel di Morowali harus berhenti kerja karena tidak tahan dengan risiko yang tinggi sementara upah mereka sangat rendah. Hal itu yang perlu kami perdebatkan dengan Luhut dan Gibran,” ucap dia.
Sebelumnya, putra mahkota Jokowi, Gibran, pada acara Suara Muda Indonesia untuk Prabowo-Gibran di JCC, Senayan, Jakarta, Sabtu (27/1) sempat menyampaikan keheranannya kepada orang yang anti terhadap hilirisasi.
“Jika ada anak bangsa yang anti hilirisasi, terus terang, saya jadi bingung, untuk bangsa mana dia berpihak?” ujar suami dari Selvi Ananda, ini.
Pendapat Gibran, hilirisasi sangat penting bagi Indonesia, karena hilirisasi mengolah barang mentah menjadi bahan jadi yang bernilai ekonomi tinggi. Sehingga hilirisasi bisa membuka peluang yang besar dan luas dari hulu ke hilir untuk rakyat Indonesia.
“Hilirisasi akan memperkuat siklus dan rantai ekonomi baru. Hilirisasi ini adalah kepentingan bangsa kita ke depan. Melalui hilirisasi, bangsa kita akan memiliki peran yang lebih strategis dalam rantai pasok dunia,” jelas pria kelahiran Surakarta, 1 Oktober 1987, tersebut.
Terpisah, Luhut Binsar, menanggapi tudingan cawapres nomor urut satu, Muhaimin Iskandar, dalam debat cawapres (21/1), yang mengatakan bahwa hilirisasi dilakukan secara ugal-ugalan, dia mengklaim banyak mendapatkan komentar positif dari warga sekitar.
Wilayah yang diklaim mendapat respons positif dari warga sekitar versi Luhut adalah proyek Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). “Jangan terus cepat berburuk sangka atau tidak mengerti latar belakangnya, terus berkomentar, seperti yang bilang ugal-ugalan. Ya sudah pergi saja sana dia (Muhaimin) lihat,” kata Luhut.
Direktur Walhi Sulsel Muhammad Al Amin mengungkapkan, tidak hanya di Sulteng, hilirisasi juga berdampak buruk di Sulsel. Sejumlah dampak negatif yang timbul versi Al Amin adalah adanya pencemaran lingkungan dan ancaman penggusuran kebun-kebun petani.
“Saat ini, sebagaimana hasil pemantauan kami, Walhi Sulsel, sungai-sungai di sekitar pabrik dan tambang nikel di Sulsel telah tercemar logam berat. Ini berbahaya karena air sungai yang tercemar tersebut bermuara hingga ke danau dan laut,” ungkap Al Amin.
Al Amin juga berkomentar, kehadiran tambang nikel juga menyebabkan hutan hujan di Sulsel terancam hilang. Bahkan kebun-kebun petani dan perempuan di Sulsel terancam tergusur akibat ekspansi tambang nikel yang sangat masif dalam setahun terakhir.
“Melihat kondisi ini, kami ingin sekali mengajak Gibran untuk berdebat secara terbuka mengenai bahaya hilirisasi nikel. Agar dirinya tidak asal mengatakan bahwa hilirisasi itu sangat menguntungkan, bahkan menghina orang-orang yang menentang proyek hilirisasi nikel,” ungkap Al Amin.
Hal senada dikatakan Direktur Walhi Sultra Andi Rahman. Penjelasan dia, dampak hilirisasi nikel di Sultra juga tidak kalah ekstrem dengan Sulteng dan Sulsel. Dampak negatif hilirisasi nikel adalah kriminalisasi warga, kerusakan hutan dan pencemaran lingkungan.
“Tidak kalah penting adalah saat ini terdapat tiga puluhan perempuan di Kabupaten Konawe Selatan yang terancam dikriminalisasi oleh perusahaan dan kepolisian karena menolak pertambangan nikel. Semua itu adalah bukti bahwa hilirisasi adalah proyek yang sangat mengerikan bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat,” ungkap Rahman.
***
Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, mantan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal yang kini menjadi timses paslon nomor urut satu, juga mengkritisi kebijakan hilirisasi. Bahkan, dia sempat mengatakan bahwa program terrsebut dilakukan secara ugal-ugalan.
Pernyataan Lembong tersebut membuat geram Luhut dan Bahlil. Keduanya lantas kompak menyerang Lembong. Kala itu, Lembong berkomentar, hilirisasi nikel berupa pembangunan smelter yang masif di dalam negeri berpotensi merugikan karena berdampak over supply.
“Akibatnya, harga nikel jatuh. Produsen mobil Tesla di Cina telah menggunakan LFP (Lithium Ferro Phosphate) 100 persen dan tidak lagi menggunakan nikel,” jelas Lembong.
Namun, sikap saling buka-bukaan tersebut menjadi bukti bahwa para elite politik tersebut lebih suka bicara soal kepentingan industri, dari pada soal kepentingan rakyat sekitar. Lembong, Luhut, dan Bahlil sama-sama abai dengan realitas praktik hilirisasi nikel yang justru memiskinkan warga dan menguntungkan pelaku industri.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), disitus resmi mereka bahkan mengungkapkan bahwa hilirisasi telah memicu perluasan pembongkaran nikel yang berdampak pada lenyapnya ruang produksi warga, pencemaran sumber air dan perairan laut, perusakan kawasan hutan yang memicu deforestasi, terganggunya kesehatan warga, hingga kekerasan dan kriminalisasi, serta kecelakaan kerja yang berujung pada kematian.
Situasi tersebut hampir terjadi diseluruh kawasan industri, mulai dari PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Morowali, PT Gunbuster Nickel Industry di Morowali Utara, Virtue Dragon Nickel Industry di Konawe, Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah, hingga Kawasan Industri di Pulau Obi yang dikendalikan Harita Group.
“Pengabaian atas realitas pelik itu, berikut saling serang antarelite politik yang sedang mempertahankan dan merebut kekuasaan pada pemilu 2024, tampak bukan semata-mata membongkar borok proyek hilirisasi andalan Presiden Jokowi yang ugal-ugalan, tetapi juga bisa dibaca sebagai terganggunya kepentingan bisnis Bahlil dan Luhut,” tulis situs tersebut.
Sementara itu, data Jatam mengungkapkan, Bahlil, misalnya, terhubung ke PT Meta Mineral Pradana, perusahaan tambang nikel yang memiliki dua izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Pemegang saham perusahaan ini dimiliki oleh PT Rifa Capital (10%) dan PT Papua Bersama Unggul (90%), milik Bahlil.
Kemudian Luhut. Relasinya terkait dengan PT Energi Kreasi Bersama (Electrum), perusahaan patungan antara PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) dan PT TBS Energi Utama Tbk (TOBA).
Electrum berfokus pada pengembangan ekosistem dan industri kendaran listrik secara terintegrasi dari hulu ke hilir, meliputi manufaktur sepeda motor listrik, teknologi pembuatan baterai, infrastruktur penukaran (swap) baterai dan stasiun pengisian daya, hingga pembiayaan.
Melalui GoTo ini pula, kepentingan bisnis Luhut ketemu dengan Garibaldi Boy Thohir, yang beberapa hari lalu mengklaim sejumlah taipan mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Boy Thohir tercatat sebagai pemegang saham sekaligus menjabat sebagai komisaris di GoTo.
Terpisah, ekonom senior Faisal Basri secara terang-terangan menyebutkan bahwa hilirisasi nikel di dalam negeri sesat. Faisal bahkan juga menantang Luhut Binsar bedebat secara terbuka membahas program yang jadi kebanggaan pemerintahan Presiden Jokowi tersebut.
Faisal mengungkapkan itu dalam Diskusi INDEF yang bertema ‘Tanggapan Terhadap Debat Pemilu Kelima’, Senin (5/2). “Saya sedih tidak dibicarakan industrial policy, pokoknya hilirisasi. Hilirisasi itu konsep sesat,” ungkap Faisal.
Pengungkapan Faisal, dirinya telah berbicara dengan Luhut mengenai hilirisasi. Namun ia mengaku tidak puas dengan diskusi yang dilakukan. Pendapat Faisal, jika hilirisasi atau penyetopan ekspor bahan mentah dilakukan maka negara lain akan mencari alternatif.
“Kalau nikel ini dilarang ekspor maka nikel di pasar dunia jadi berkurang, harga akan naik. Elon Musk dan lain-lain niscaya akan mencari alternatif yang lebih murah. Nah itu tahu lithium ferro phosphate. Ada lagi yang dapat lebih murah sodium phosphate,” jelas dia.
Komentar Faisal, “Larang melarang itu adalah kebijakan paling biadab.” Kata Faisal, hubungan Indonesia bisa rusak dengan negara lain akibat imbas pelarangan ekspor.
Faisal juga mengungkapkan bahwa guna mendatangkan investor pemerintah pada program hilirisasi, pemerintah memberikan kemudahan memberikan harga bahan baku nikel di bawah harga pasaran. Sehingga subsidi yang diberikan itu juga merugikan negara.
Kebijakan hilirisasi, imbuh dia, juga membuat komoditas nikel bakal dieksploitasi habis-habisan. “Jadi bukan generasi emas, tapi generasi cemas karena kekayaan alamnya sudah habis,” jelas dia.
“Siapa yang nikmati pengusaha 100% Tiongkok, labanya 100% ke Tiongkok, teknologi 100% Tiongkok, paten fee lari ke Tiongkok, modalnya dari bank di Cina 100% bunganya lari ke Cina. Tinggal PBB, tanya PBB berapa? Hanya Rp 1 – 2 miliar,” kata Faisal.
Pertanyaan berikutnya adalah, apakah program hilirisasi nikel keuntungannya demi bangsa dan rakyat Indonesia, atau keuntungan hilirisasi hanya dinikmati oleh negara asing seperti Cina dan para bohir yang bersekutu dengannya. Anda bisa menyimpulkannya sendiri.
(TheIndonesian)