theIndonesian – Saling klaim. Itulah kondisi yang terjadi sejak puluhan tahun lalu menyangkut kasus ‘rebutan’ lahan. Sungguh ironis. Ya, permasalahan sengketa lahan di Tanah Air seakan terus terjadi setiap saat. Orang bisa bebas mengklaim status kepemilikan lahan orang lain.
Tanah wajar menuai konflik. Posisinya sangat strategis sebagai satu dari tiga kebutuhan pokok. Selain itu, tanah memiliki nilai ekonomis yang berkembang. Karena, posisi tanah kemudian bergeser menjadi suatu investasi yang menggiurkan. Alasannya sederhana, harga tanah tidak pernah turun.
Tapi masalah tanah bisa jadi berujung darah. Sejumlah sengketa tanah yang menguak ke permukaan baru-baru ini membuktikan bahwa status kepemilikan sertifikat menjadi hal yang pelik. Saat ini, kita perlu ekstra hati-hati ketika akan membeli sebidang tanah atau rumah. Pasalnya, bisa-bisa terjadi kepemilikan ganda akan sertifikat dari lahan atau rumah yang kita beli tersebut.
Banyaknya kepemilikan sertifikat ganda, membuat masyarakat cemas. Ironisnya, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) sebagai lembaga penerbit sertifikat tidak memiliki organ khusus yang berwenang kuat dalam mengurai dan menangani konflik atau sengketa pertanahan.
Ketika persoalan agraria semakin kompleks, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang BPN. Salah satu butir Perpres 10 yang cukup krusial adalah, adanya kedeputian khusus yang menangani sengketa/konflik pertanahan.
Kini, kedeputian itu berada d bawah Direktorat Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan. Ada tiga direktorak di bawahnya, yakni Penanganan Sengketa Pertanahan, Pengananan Perkara Pertanahan, serta Pencegahan dan Penanganan Konflik Pertanahan
Direktorat ini tentu menjadi unsur terpenting dalam menjawab kehausan korban konflik agraria di Tanah Air. Banyaknya kasus sengketa tanah yang melibatkan banyak pihak, baik itu personal maupun kelembagaan (instansi pemerintah maupun swasta/pengembang) pengembang, lebih disebabkan sistem pendaftaran tanah di Indonesia yang bersifat formalitas.
***
Biasanya untuk masalah tanah ada tiga komponen yang selalu diributkan, yakni soal kepastian objek tanah, kepastian subjek tanah, dan alas hak (dasar kepemilikan) suatu tanah. Sistem administrasi yang bersifat formalitas, menyebabkan banyaknya peluang untuk disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab. Biasanya oknum tersebut mencari keuntungan di tanah yang memang sedang bersengketa/bermasalah.
Masyarakat, dalam melakukan transaksi jual beli, baik tanah dan rumah, sebaiknya tidak hanya memerhatikan soal harga dan fisik bangunannya saja. Namun, yang paling penting diperhatikan adalah aspek legalnya. Guna menghindari risiko dikemudian hari, ada dua hal yang perlu diperhatikan ketika membeli sebidang lahan atau rumah, yaitu aspek kepemilikan dan aspek perizinan.
Aspek kepemilikan, maksudnya bukti kepemilikan tanah (sertifikat tanah) atas nama personal/pengembang harus ada pada saat saat perumahan tersebut dipasarkan. Karena, dari sertifikat ini bisa diketahui apakah orang/pengembang itu berwenang untuk melakukan transaksi jual beli tanah dan bangunan tersebut. Kemudian aspek perizinan. Yaitu, izin lokasi atas nama personal/pengembang harus sudah pada saat perumahan tersebut dipasarkan.
Karena, dengan memiliki izin lokasi tertentu berarti lahan tanah di lokasi tersebut telah memenuhi persyaratan teknis untuk suatu wilayah permukiman (residensial). Ini meliputi peruntukan tanah dan tidak bertentangan dengan rencana-rencana pengembangan sarana umum lain.
***
Di satu sisi, sebaiknya pembeli tanah, baik itu personal atau pengembang, ketika akan membeli sebidang tanah untuk pembangunan proyeknya, dia harus melakukan legal audit terlebih dahulu. Legal audit tersebut diperlukan untuk mengelimir kejadian terjadinya sengketa tanah.
Disarankan, untuk saat ini pembeli lahan sebaiknya juga memerhatikan aspek yuridis ketika akan membeli sebuah lahan. Kalau pembeli tidak melakukan legal audit dan yuridis hukumnya, itu namanya konyol. Jangan karena tanah tersebut murah, maka ia langsung beli saja.
Kedua aspek tersebut sudah seharusnya diperhatikan oleh pihak pembeli lahan. Karena, jika hal tersebut diabaikan dan terjadi gugatan sengketa, maka yang mengalami kerugian pihak pembeli lahan. Sementara itu, banyak kalangan menuding banyaknya kasus pertanahan tak lepas dari peran BPN. Di sebagian publik, BPN sengaja membuat proses sertifikasi tidak transparan.
Mengantongi sertifikat atas sebidang tanah di Indonesia bukanlah jaminan bagi pemiliknya terbebas dari tuntutan pihak ketiga. Itu bahkan diakui sendiri oleh sejumlah pejabat BPN. Konon, BPN banyak menerima pengaduan dari pemilik tanah yang sudah bersertifikat, tapi didatangi oleh orang yang mengaku sebagai pemilik sah atas tanah itu.
Nah, kalau tanah yang bersertifikat saja mudah ”digoyang”, apalagi yang masih berselimutkan hukum adat. Tak heran jika persoalan sengketa tanah menempati posisi lima besar dari semua kasus yang ditangani.
Kendati sejumlah petinggi BPN telah melakukan ”pengakuan dosa”, munculnya kasus-kasus pertanahan tak lepas dari peran BPN sendiri. Tudingan BPN sengaja membuat tidak jelas prosedur pembuatan sertifikat tanah santer terdengar. Semestinya, harus ditetapkan lamanya waktu penyelesaian, biaya, surat ukur tanah, dan sebagainya.
Namun tunggu dulu. Soal sertifikasi ini, pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. Sejak 27 Agustus 2002, pemerintah telah melansir tarif yang berlaku pada BPN. Tarif itu meliputi pelayanan pendaftaran tanah untuk pertama kali, pelayanan pemeliharaan data pendaftaran tanah, serta pelayanan informasi pertanahan (antara lain biaya surat ukur, biaya pembuatan peta tata guna tanah, dan foto udara digital).
Beres? Masih tetap jauh panggang dari api. BPN masih memperlakukan informasi tentang tanah itu sebagai komoditi. Padahal, sebagai informasi publik, hal itu semestinya mudah diakses oleh masyarakat.
Dimaksud dengan komoditi di sini, petugas BPN sering kali menawari para pemilik tanah untuk menggunakan jalur tak resmi atau ”jalur tol”. Lewat jalur tol dengan biaya yang tentu lebih mahal, proses sertifikasi akan berlangsung lebih cepat.
Bahkan, masyarakat kerap berpendapat bahwa itu menjadi hal yang lumrah. Sepanjang BPN bersikap tidak transparan, itu sulit untuk mendorong masyarakat agar mau menyertifikasi tanahnya.
***
Sementara itu, beberapa waktu lalu, pengembang yang tergabung dalam Real Estat Indonesia (REI) mengusulkan kepada pemerintah agar membentuk sebuah lembaga peradilan yang menangani kasus khusus masalah pertanahan.
Lembaga tersebut nantinya hanya berfungsi sebagai lembaga peradilan yang menangani perkara/masalah hukum terkait kepemilikan lahan/tanah. Masalah tanah yang sering dikeluhkan oleh pengembang antara lain, sengketa tanah dan sertifikat palsu. Pasalnya, sengketa-sengketa tanah yang sering kali memiliki nuansa sangat kompleks memerlukan penanganan secara khusus, sehingga bisa diselesaikan secara lebih cepat.
Selama ini satu perkara pertanahan bisa masuk ke pengadilan sebanyak tiga kali. Pertama, suatu perkara disidangkan terkait kasus pidana, kedua terkait kasus perdata, dan ketiga terkait dengan kewenangan pejabat negara (pengadilan tata usaha negara PTUN). Proses yang panjang ini, selain memakan biaya, juga menimbulkan ketidakpastian.
Sengketa seputar pertanahan menjadi persoalan yang sering dihadapi oleh pengembang, terutama sertifikat ganda. Mereka pun mempertanyakan tidak adanya sanksi bagi orang yang kalah di persidangan terkait dengan kasus sertifikat ganda.
Di negara ini tidak ada sanksi bagi orang yang mengaku lahan milik orang ketika kalah di persidangan. Karenanya, sangat sering kasus ketika lahan sudah dikembangkan ada orang yang mengklaim. Semestinya, sanksi diberikan bagi yang kalah di persidangan, sehingga orang akan berfikir ketika hendak mengklaim lahan orang lain.
***
Masalah tanah yang muncul di tengah-tengah masyarakat menjadi pemasalahan serius apalagi bila memunculkan konflik yang berkepanjangan antarmasyarakat. Maka perlu masyarakat mengetahui apa itu kasus pertanahan, sehingga dapat dicari jalur penyelesaian yang tepat.
Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Agraria No. 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan (Permen No. 11/2016), dikatakan kasus pertanahan adalah sengketa, konflik atau perkara pertanahan untuk mendapatkan penanganan penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan.
Kasus pertanahan ini dibagi menjadi 3 (tiga) kriteria sebagai berikut (Pasal 1 angka 2 s/d angka 3 Permen No. 11/2016):
Sengketa Tanah adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum, atau Lembaga yang tidak berdampak luas;
Konflik Tanah adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas;
Perkara Tanah adalah perselisihan pertanahan yang penanganannya melalui lembaga peradilan.
Setelah mengetahui kriteria kasus tanah, maka harus dicari jalur penyelesaiannya. Dalam penyelesaian kasus pertanahan, terdapat 2 (dua) jalur yang dapat digunakan untuk menyeelsaiakan kasus pertanahan, yaitu :
1. Jalur Non-Litigasi (tidak melalui Pengadilan)
Jalur ini dapat digunakan dengan mengajukan pengaduan masyarakat baik pribadi atau melalui kuasa hukumnya. Anda dapat mengajukan pengaduan secara tertulis jika mengalami sengketa tanah dengan pihak lain. Pengaduan tersebut dapat disampaikan melalui loket pengaduan Kantor Pertanahan setempat atau website Kementerian ATR/BPN. Atau atas insiatif dari Kementerian ATR/BPN melakukan penyelesaian sengketa.
Dalam Pasal 11 ayat (3) Permen No. 11/2016, anda dapat melihat kriteria sengketa tanah yang dapat diselesaikan oleh Kementerian ATR/BPN. Krieria tersebut dapat anda cocokkan dengan permasalahan sengketa tanah yang anda alami. Adapun kriterianya sebagai berikut:
• Kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan dan/atau perhitungan luas;
• Kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran penegasan dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat;
• Kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah;
• Kesalahan prosedur dalam proses penetapan tanah terlantar;
• Tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu alas haknya jelas terdapat kesalahan;
• Kesalahan prosedur dalam proses pemeliharaan data pendaftaran tanah;
• Kesalahan prosedur dalam proses penerbitan sertifikat pengganti;
• Kesalahan dalam memberikan informasi data pertanahan;
• Kesalahan prosedur dalam proses pemberian izin;
• Penyalahgunaan pemanfaatan ruang; atau
• Kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan.
Secara garis besar, sengketa tanah yang dapat diselesaikan oleh Kementerian ATR/BPN adalah terkait dengan kesalahan dalam prosedur administratif. Jika sengketa tanah anda masuk dalam kriteria di atas, maka pengaduan anda akan diproses dan diselesaikan oleh Kantor Pertanahan Wilayah setempat.
2. Jalur Litigasi (melalui Pengadilan)
Selain pengaduan dan mediasi, Anda dapat juga menempuh jalur hukum melalui pengadilan dengan mengajukan gugatan perdata. Anda atau melalui kuasa hukum anda mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri yang berwenang yaitu Pengadilan Negeri di mana tempat objek tanah yang dipermasalahkan tersebut berada.
Sengketa tanah yang dibawa ke pengadilan biasanya terkait dengan status kepemilikan tanah, tumpang tindih sertifikat, jual beli tanah dan sebagainya. Dalam menyusun gugatan perdata diperlukan ketelitian dalam menuliskan dalil-dalil kepemilikan tanah beserta bukti-bukti pendukung dan saksi-saksi. Hal ini diperlukan mengingat sengketa tanah adalah sengketa yang terkait dengan tempat tinggal Anda. Kesalahan dalam menyusun gugatan dapat membuat anda kehilangan tempat tinggal atau tanah Anda.
Dalam gugatan tersebut, selain menarik pihak lain yang bersengketa dengan anda sebagai tergugat, Anda dapat menarik Kantor Pertanahan Wilayah setempat dalam perkara anda sebagai turut tergugat.
Dengan mengetahui dua jalur penyelesaian kasus pertanahan, Anda dapat menentukan dan menimbang jalur penyelesaian mana yang dapat diambil untuk dapat menyelesaikan kasus pertanahan Anda.
Memang diperlukan kecermatan dan ketelitian dalam memformulasikan baik itu pengaduan, pelaksanaan mediasi ataupun gugatan yang akan diajukan. Oleh karenanya Anda harus mempertimbangkan saran dan masukan dari orang yeng berkompeten menangani permasalahan kasus pertanahan.
Sertifikat ganda memang menjadi persoalan pertanahan yang dominan sejak 1980-an. Ibarat pepatah, teliti sebelum membeli. Sebaiknya, pembeli lahan/rumah melakukan berbagai langkah antisipasi dengan melakukan cek dan ricek kembali sebelum akhirnya memutuskan membeli. Ketika sengketa juga terjadi, itu namanya apes.
(TheIndonesiaan)