theIndonesian – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mesti memanggil Dirut PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawadi dan mantan Dirut Pertamina Dwi Soetjipto dalam kasus Pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) Corpus Christi Liquefaction LLC dan akuisisi perusahaan Maurel & Prom (M&P).
Seperti diketahui, pada awal Januari lalu Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) telah menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif (LHP PI) dan Penghitungan Kerugian Negara (PKN) kepada KPK untuk dua kasus tersebut.
Pemeriksaan Investigatif dan PKN ini dilakukan BPK berdasarkan permintaan dari KPK. Terkait LHP PKN, BPK memeriksa pengadaan liquefied natural gas (LNG) Corpus Christi Liquefaction LLC pada Pertamina.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, BPK menyimpulkan adanya penyimpangan-penyimpangan berindikasi tindak pidana yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam proses pengadaan LNG Corpus Christi Liquefaction LLC yang mengakibatkan kerugian keuangan negara pada Pertamina sebesar USD 113.839.186,60
Sementara untuk LHP PI, BPK memeriksa kegiatan investasi berupa akuisisi perusahaan Maurel & Prom (M&P) oleh Pertamina melalui PT Pertamina Internasional Eksplorasi dan Produksi (PIEP) pada kurun waktu 2012 hingga 2020.
Hasil pemeriksaan, BPK menyimpulkan adanya penyimpangan berindikasi tindak pidana yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait dalam kegiatan investasi pada 2012 hingga 2020 di Pertamina yang mengakibatkan indikasi kerugian keuangan negara pada Pertamina setidaknya sebesar USD 60.000.000.
Informasi yang dihimpun The Indonesian, kontrak dengan Corpus Christi Liquefaction Liability Company, Pertamina memasok LNG sebanyak 0,76 juta ton per tahun selama 20 tahun.
Corpus adalah anak usaha Cheniere Energy Inc, perusahaan energi yang berbasis di Houston, Texas, Amerika Serikat. LNG akan dipasok dari Corpus Christi Liquefaction Terminal Train 2, Texas, Amerika Serikat.
Sementara terkait akuisisi Maurel & Prom (M&P), perusahaan minyak yang berbasis di Prancis, informasi The Indonesian pun menunjukkan bahwa proses akuisisi tersebut dilakukan Pertamina melalui anak usahanya, PT Pertamina Internasional Eksplorasi dan Produksi (PIEP), dalam kurun waktu 2012 hingga 2020.
Pada medio 2017, PIEP sempat melakukan penambahan saham dalam proses penawaran (tender offer) saham Maurel & Prom pada tahap pertama. Kala itu, porsi saham Pertamina di M&P menjadi 64,46 persen.
Penambahan saham itu berdasarkan hasil dari tender offer yang telah diumumkan oleh Autorité des marchés financiers (AMF) Prancis pada 25 Januari 2017, terhitung mulai 1 Februari 2017.
Aksi korporasi tersebut membuat PIEP mengendalikan sebanyak 125.924.574 lembar saham dan hak suara di M&P, yang setara dengan 64,46 persen saham dan 63,35 persen hak suara di M&P. Sebelumnya, saham PIEP di Maurel & Prom hanya 24,53 persen.
Di satu sisi, PIEP juga mengendalikan sebanyak 6.845.626 ORNANE (obligasi yang dapat ditukar dengan uang dan saham) 2019, atau setara dengan 46,70 persen dari outstanding ORNANE 2019.
PIEP pun memegang 3.848.620 ORNANE 2021, yang setara dengan 36,88 persen dari outstanding ORNANE 2021. Waktu itu juga diputuskan pembayaran kepada pemilik ORNANE akan dilakukan pada saat penyelesaian transaksi sekaligus penyerahan ORNANE kepada perusahaan dengan nilai 17,28 euro per ORNANE 2019 (yaitu nilai nominal plus bunga sebesar 0,02 euro), dan 11,05 euro per ORNANE 2021 (yaitu nilai nominal plus bunga sebesar 0,03 euro).
Sekedar informasi tambahan, konon waktu itu PIEP membeli 24,5 persen saham M&P dari Jean-François Hénin, yang kala itu menjabat sebagai sebagai chairman of the board of directors dari M&P. PIEP membeli saham M&P dari Henin yang memiliki saham M&P melalui sebuah perusahaan bernama Pacifico.
Kepada The Indonesian, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Kamis (25/4), mengungkapkan, dalam kasus Corpus Christi apakah perjanjian jual beli (Sales Purchase Agreement/SPA) yang diteken pada 2013 dan 2014 atau yang diteken pada 2015.
“Kalau yang digunakan adalah SPA pada 2015 dengan mengamandemen SPA pada 2013 dan 2014, berarti itu yang diteken oleh Dwi Soetjipto saat ia duduk sebagai dirut Pertamina. Perlu diingat, Dwi duduk sebagai dirut Pertamina dalam kurun 28 November 2014 hingga 3 Februari 2017,” ungkap Yusri.
Saaat ini Dwi Soejipto menjabat sebagai kepala SKK Migas. Sementara, Nicke Widyawati resmi duduk sebagai dirut Pertamina sejak 29 Agustus 2018 hingga saat ini.
Yusri kembali komentar, “Konon saya mendengar kabar bahwa realisasi kargo LNG sejak 2019 hingga 2024 sampai dengan 2039 adalah SPA yang diteken pada 2015 Dwi Soetjipto.”
Dia kembali menegaskan, “Semestinya selain Karen, Nicke Widyawati dan Dwi Soetjipto ikut bertanggung jawab atas kerugian negara tersebut.”
Yusri Usman pun juga menelisik kasus kontrak LNG lainnya, seperti kontrak LNG dengan
“Jangan-jangan itu kerugian bisnis LNG Pertamina lainnya, meliputi kontrak LNG dengan Mozambik. Ada pula kontrak dengan perusahaan dari Australia, Woodside dan lainnya sesuai audit internal dan audit yang dilakukan oleh Pricewaterhouse Coopers (PwC),” terang dia.
Yusri juga menegaskan, “Pemanggilan dan pemeriksaan Nicke Widyawati dan Dwi Soetjipto akan membuka tabir yang selama ini tertutup dan hanya dibebankan kepada Karen Agustiawan.”
Tegas Yusri, “Tidak mungkin Nicke Widyawati dan Dwi Soetjipto tidak tahu soal Corpus Christi dan Maurel & Prom.”
The Indonesian