theIndonesian – Republik ini sepertinya memang sangat bergantung sama Cina. Namun, apakah benar negara ini memang sangat bergantung sama Cina atau pejabatnya saja yang saat ini sedang berkuasa senang menggandeng Cina. Jadi, apa pun masalahnya di republik ini, maka Cina solusinya.
Baru-baru ini beredar berita Cina akan mengembangkan sektor pertanian di wilayah Indonesia, khususnya di Kalimantan Tengah, dengan memberikan teknologi padinya.
Hal tersebut diungkapkan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Dikutip dari Antara, Minggu (21/4), bilang, “Kita (Indonesia) minta mereka (Cina) memberikan teknologi padi mereka, di mana mereka sudah sangat sukses menjadi swasembada. Mereka bersedia.”
Perlu diketahui, kesepakatan tersebut merupakan salah satu hasil dari Pertemuan Ke-4 High Level Dialogue and Cooperation Mechanism (HDCM) RI–RRT di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (19/4).
“Kita minta mereka memberikan teknologi padi mereka, di mana mereka sudah sukses swasembada dan mereka bersedia,” kata Luhut dalam unggahan Instagram pribadi miliknya @luhut.pandjaitan.
Luhut menjelaskan, kerja sama ini akan dilakukan secara bertahap unuk digarap di satu juta hektare (ha) lahan di Kalimantan Tengah. Namun, dia menyebut bahwa pemerintah masih mencari mitra lokal, dengan offtaker atau pemasok kebutuhan industri ataupun pasarnya adalah Perum Bulog.
Bahkan Negeri Tirai Bambu tersebut akan memberikan teknologi padinya, dan diperkirakan memulai proyek ini pada Oktober 2024.
Direncanakan proyek ini akan dimulai, pada Oktober 2024 mendatang, Luhut lalu menyebut Cina bersedia mengembangkan sektor pertanian di Kalimantan Tengah jika mampu mencapai 200 ribu hektare (ha) bisa tercapai. Sementara saat ini di Kalimantan Tengah telah memiliki potensi seluas 165 ribu ha.
Klaim Kesuksesan
Sekedar informasi, ilmuwan Cina dikabarkan telah berhasil menanam dan memanen padi di gurun Dubai, dengan hasil panen tertinggi sebesar 500 kilogram per 666 meter persegi.
Tim ini berasal dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Padi Toleransi Saline-Alkali, yang berbasis di Provinsi Shandong, dan dipimpin oleh ‘bapak padi hibrida’ Cina terkenal, Yuan Longping, demikian dilaporkan kantor berita Cina Xinhua, Juni 2018, dikutip kembali dari Tempo.
Diundang oleh Kantor Pribadi Sheikh Saeed Bin Ahmed Al Maktoum, seorang miliarder anggota keluarga penguasa Dubai, tim tersebut telah menanam lusinan varietas padi di pasir dengan air laut yang ditawarkan di pinggiran Dubai sejak Januari 2018.
Pada 26 Mei, para ahli pertanian dari Tiongkok, India, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA) melakukan uji produksi varietas padi tersebut. Salah satu sampel yang ditanam di Dubai menghasilkan lebih dari 500 kg per mu (666 meter persegi), sedangkan sampel lainnya menghasilkan lebih dari 400 kg per mu.
Yuan Longping mengatakan kepada Xinhua bahwa hasil tes tersebut jauh melebihi ekspektasinya. Tujuan mereka adalah untuk menutupi sekitar 10 persen lahan gurun UEA, yang memiliki luas total 83.600 kilometer persegi, dengan sawah.
Cina dan Dubai juga menandatangani perjanjian untuk mempromosikan beras air laut di seluruh dunia Arab, guna mengurangi risiko kekurangan pangan di masa depan.
Cina adalah produsen sekaligus konsumen beras terbesar di dunia, yang secara tradisional ditanam di tanah dan air tawar. Dengan lebih dari 665.000 kilometer persegi lahan berkadar garam tinggi, negara ini telah berupaya mengembangkan jenis beras tahan garam selama empat dekade terakhir.
Selalu Gagal
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas mengungkapkan, rencana kerja sama Indonesia dan Cina dalam mengembangkan teknologi penanaman padi berisiko memicu kegagalan panen skala besar.
Dwi Andreas jelaskan bahwa pemerintah perlu memerhatikan kaidah-kaidah akademis. “Kaidah akademis yang dimaksud adalah empat pilar pembangunan pertanian pangan dalam skala besar,” kata pria yang juga duduk sebagai ketua umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) ini, dilansir dari Bloomberg Technoz, Kamis (25/4).
Adapun empat pilar pembangunan pertanian pangan adalah, pertama, adanya kelayakan tanah agroklimat. Kedua, kelayakan infrastruktur. Ketiga, budi daya dan teknologi. Keempat, aspek sosial dan ekonomi.
Tegas Dwi Andreas, “Empat pilar tersebut harus terpenuhi semuanya. Satu saja pilar tersebut tidak terpenuhi, jawabannya adalah pasti gagal.”
Menurut Dwi, pemilihan wilayah tanam di Kalimantan Tengah sebenarnya bukanlah sesuatu yang salah, karena wilayah tersebut perlu dipulihkan dari bencana kebakaran hutan besar pada 2015.
“Kalau sebagai saran kepada pemerintah, pemilihan wilayah itu cocok, tetapi (perlu) dikembangkan dalam skala kecil. Tidak perlu perlu kerja sama dengan Cina atau pun yang lainnya,” ucao dia.
Dwi kembali berkata. “Dengarkan saran dari para pakar-pakar di Indonesia dengan yang kecil-kecil seperti tadi, sehingga dana pemerintah yang sampai puluhan triliun yang sudah digelontorkan untuk food estate yang gagal terus itu, kalau difokuskan pada yang kecil-kecil maka kemungkinan berhasilnya akan besar,” jelas Andreas.
Dwi pun menekankan Indonesia tidak perlu sampai memakai benih padi hibrida asal Cina. Hal ini dikarenakan kondisi alam hingga lingkungan yang berbeda antara kedua negara tersebut.
Komentar dia, “Karakteristik padi di Cina dengan di Indonesia itu berbeda, jadi kalau pun itu nanti dilakukan dan dipaksakan maka potensi untuk menuai kegagalan itu cukup besar, itu kalau kita bicara varietas aja.”
Dia lantas mencontohkan pengalaman serupa yang ditempuh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 2007. Saat itu, salah satu perusaaan Indonesia dan Cina mulai bekerja sama di bidang perbenihan berupa impor benih padi hibrida.
“Ada beberapa institusi yang melakukan kajian itu dan hasilnya jauh lebih rendah (padi hibrida) dibandingkan dengan padi nonhibrida yang dikembangkan oleh peneliti-peneliti Indonesia, jadi itu kenyataannya,” tutur Dwi.
Untuk itu, alih-alih mengambil ahli dari Cina untuk membantu pengembangan penanaman padi di Kalimantan Tengah, Dwi justru meminta kepada pemerintah agar lebih mengedepankan ahli dari dalam negeri, karena pengalaman mereka dalam mengurus pertanaman padi.
“Jadi ahlinya itu di Indonesia bukan orang Cina. Sudah mengalami pengalaman besar pasang surut baik IPB maupun UGM. Sehingga kalau tiba-tiba ahli-ahli dari Cina, teknologi budidaya padi dari Cina diterapkan di Kalimantan Tengah, awabannya sudah pasti gagal,” tegas dia.
Andreas mengatakan, dari pengalaman food estate sejak zaman pemerintahan Soeharto pada 25 tahun lalu, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo luas tanah yang dipakai juga berjuta hektare, namun akhirnya gagal. Menurutnya, pemerintah harus konsisten dalam melakukan pembenahan.
Sampai saat ini Andreas mengaku belum tahu soal teknologi apa yang bakal diterapkan dalam adaptasi yang dilakukan Indonesia dari sawah Cina, apakah benih atau irigasi. Dia menilai sebenarnya produksi padi di Indonesia jauh lebih baik dari negara lain.
Indonesia sebenarnya dari sisi kualitas benih sudah ada beberapa sudah ada yang dikembangkan Hasilnya cukup menjanjikan kalau dari sisi teknologi.
Jika ternyata kerja sama Cina tersebut terealisasi, maka klaim Indonesia sebagai negeri agraris, dan memiliki nenek moyang petani yang handal, akan segera terpatahkan. Sekali lagi, apa pun masalah negeri ini bagi pemerintahan sekarang, Cina adalah solusi jitunya.
The Indonesian | Antara | Bloomberg Technoz | Tempo | Cina Xinhua