theIndonesian – Pengelolaan Blok Masela yang berlokasi di di Laut Arafura atau 650 km dari Kepulauan Maluku dan 170 km dari Kepulauan Babar dan Tanimbar diminta menggunakan fasilitas milik Inpex Corporation yang berada di Darwin, Australia.
Hal itu diusulkan oleh Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman kepada SKK Migas. Menurut Maman, lokasi Blok Masela tidak jauh, hanya sekitar 400 km dari bagian utara Kota Darwin, di mana Inpex juga memiliki 65 persen hak partisipasi di Masela.
Komentar Maman, dibandingkan ‘memaksa’ Inpex menggarap Blok Masela dari awal, lebih baik memanfaatkan fasilitas milik Inpex di Darwin. Maman pesimistis pesimistis Lapangan Abadi di Blok Masela bakal bisa beroperasi atau onstream tepat waktu pada 2029. Hal ini sesuai target yang dipatok SKK Migas.
“Di samping Lapangan Abadi Blok Masela itu ada Darwin, Inpex ada di sana. Ada juga fasilitas dia (Inpex). Setahu saya gas di sana sudah mulai decline (turun) produksi LNG (liquefied natural gas/gas alam cair)-nya. Kenapa tidak pakai fasilitas itu?” kata dia, saat rapat dengar pendapat dengan SKK Migas, Rabu (13/3).
Namun, Maman tidak menjelaskan dengan detail terkait usulan tersebut, apakah menggunakan fasilitas dari Inpex untuk memproses gas yang disalur di Indonesia atau memindahkan fasilitas Inpex di Darwin ke Blok Masela.
Klaim Maman, ada dua manfaat yang dihasilkan bila Indonesia menggunakan fasilitas Inpex di Darwin. Pertama, bisa lebih cepat dari sisi waktu, di mana diprediksi hanya membutuhkan waktu dua hingga tiga tahun untuk menggunakan fasilitas di Darwin dan melakukan modifikasi.
“Tahun pertama bisa dimanfaatkan untuk menjajaki hubungan antara Indonesia, Australia dan Jepang. Sementara itu, sisa dua tahun berikutnya dapat digunakan untuk modifikasi fasilitas sesuai dengan yang dibutuhkan,” jelas dia.
Kedua, lanjut Maman, penggunaan fasilitas Inpex di Darwin juga bisa menghemat biaya. Sekedar info, nilai investasi dari Lapangan Abadi Blok Masela mencapai USD 20,9 miliar atau setara Rp 325,63 triliun (asumsi kurs Rp 15.580,40). Penggunaan fasilitas Inpex di Darwin, nilai Maman, tentu bisa mengurangi belanja modal atau capital expenditure (capex) dari proyek tersebut.
“Saya melihatnya ada penghematan cost yang bisa kita hemat dan ini bisa jadi alat negosiasi Indonesia dengan Inpex. Saya yakin dengan turunnya penggunaan cost recovery, yang tadinya Rp 300 triliun, itu bisa jadi alat negosiasi kita dengan Inpex,” ucap Maman.
Maman menyadari bahwa usulannya itu tentu mengundang perdebatan, khususnya dari sisi kedaulatan. Namun, dia meyakini, isu kedaulatan bisa sedikit dikompensasi untuk mendorong percepatan peningkatan pendapatan negara dari sektor migas.
SKK Migas mengestimasikan Lapangan Abadi Blok Masela memiliki puncak produksi sebesar 9,5 juta ton LNG per tahun (MTPA) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel kondensat per hari (BCPD).
Saat ini, pemegang hak partisipasi atau participating interest (PI) Blok Masela adalah Inpex Masela Limited dengan porsi 65 persen, sedangkan sisanya sebanyak 35 persen akan dibagi antara Pertamina dengan target sebesar 20 persen dan Petronas 15 persen.
Terpisah, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal berpendapat, ada dua hal atau skenario terkait sejumlah perhitungan dan pertimbangan terhadap usulan penggunaan fasilitas Inpex tersebut.
Pertama, menggunakan fasilitas Inpex yang ada di Darwin. Kata dia, dirinya tidak mengetahui dengan pasti jumlah kapasitas untuk memproses gas yang dimiliki fasilitas Inpex di Darwin. Namun, dia menyarankan lebih baik bila gas yang disalurkan juga diproduksi di Indonesia.
“Meskipun menggunakan fasilitas Inpex di Darwin, bukan tidak mungkin Indonesia tetap harus membangun fasilitas untuk mendukung proses pemindahan gas dari Indonesia ke Australia. Kalau selamanya menggunakan fasilitas di Darwin, itu tidak efektif. Lebih bagus dibangun di Indonesia dibandingkan dengan luar negeri,” kata dia, dikutip dari Bloomberg Technoz, Jumat (15/3).
Jika menggunakan fasilitas di Darwin, maka Indonesia perlu membangun fasilitas pipa penyalur ribuan kilometer untuk pengiriman gas dari Indonesia ke Australia. Kemudian, menggunakan metode LNG untuk mengirimkan gas ke Australia. Tapi ini juga membutuhkan berbagai proses yang kompleks.
Skema kedua, mengirimkan Fasilitas dari Australia ke Indonesia. Komentar Moshe, Indonesia tentu juga harus mengeluarkan biaya untuk pemasangan fasilitas tersebut. “Bukan berarti kita tidak ada pembangunan sama sekali di Indonesia. Ini bukan seperti lego yang hanya ditempel lalu beres. Masih ada fasilitas yang harus dibangun di sini,” jelas dia.
Moshe pun menilai bahwa fasilitas milik Inpex di Darwin sudah berusia uzur, sehingga belum tentu efektif dalam mendukung produksi di Indonesia. “Sekelas Inpex juga mungkin tidak begitu suka pakai barang lama. Kalau memang seperti itu yang dimaksud.”
The Indonesian | Bloomberg Technoz