theIndonesian – Awal tahun depan pemerintah memastikan akan menaikkan tarif Pajak Pertumbuhan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dari semula 11 persen. Semula, PPN berada di level 10 persen kemudian mengalami kenaikan menjadi 11 persen pada April 2022.
Naiknya kembali PPN menjadi 12 persen pada tahun depan tersebut akan menjadikan Indonesia sebagai negara yang menetapkan value added tax (VAT) tertinggi di Asean bersama Filipina. Sebelumnya, dengan PPN 11 persen, Indonesia menjadi negara tertinggi kedua di Asean terkait VAT setelah Filipina.
Melansir data PwC (PricewaterhouseCoopers), Thailand menjadi negara dengan VAT terendah di Asean, yakni hanya tujuh persen. Sedangkan Malaysia menerapkan VAT dengan membedakan antara sales tax sebesar 10 persen dan service tax sebesar enam persen.
Kemudian Vietnam menetapkan tarif PPN sebesar 10 persen sementara Myanmar tidak menetapkan VAT, namun memberlakukan pajak tidak langsung berupa pajak komersial dengan tarif umum sebesar lima persen. Lalu Singapura menetapkan tarif tarif VAT sebesar sembilan persen mulai Januari tahun ini.
Sekedar informasi, penetapan kenaikan tarif PPN di Indonesia memakai dasar hukum Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan Nomor 7 Tahun 2021 dan diberlakukan mulai Oktober 2021. Pasal 7 ayat 1 beleid tersebut berbunyi, ‘Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu sebesar 11 persen yang berlaku mulai 1 April 2022, dan sebesar 12 persen yang berlaku selambatnya pada 1 Januari 2025.”
Uniknya, dalam ayat 3 undang-undang yang sama juga dicantumkan, “Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen).”
Jika mengacu regulasi tersebut, bisa diartikan bahwa VAT di Indonesia yang menerapkan tarif tunggal berpotensi untuk dinaikkan atau diturunkan di kisaran lima persen hingga tertinggi 15 persen.
Head of Research Group dan Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudistira berkomentar, kenaikan tarif PPN di tengah tekanan daya beli yang sudah menekan masyarakat sejak tahun lalu, ditambah lonjakan harga pangan yang belum terjeda, menjadi pukulan bertubi-tubi yang bisa menyeret konsumsi rumah tangga domestik.
“Kinerja konsumsi rumah tangga tahun ini diperkirakan bisa semakin terperosok di bawah 4,3 persen dari tahun lalu yang tumbuh 4,82 persen. Kenaikan tarif PPN jadi 12 persen itu bila diakumulasi dalam empat tahun terakhir, sebenarnya kenaikannya mencapai 20 persen, bukan dua persen. Dari (tarif PPN) 10 persen ke 11 persen lalu menjadi 12 persen. Total kenaikan mencapai 20 persen. Ini adalah kenaikan tarif yang sangat tinggi,” kata dia, Selasa (12/3), dilansir dari Bloomberg Technoz.
Sementara, berdasarkan kajian yang pernah dilakukan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) pada 2021, bila diasumsikan tarif tunggal PPN sebesar 12,5 persen, dampaknya terhadap perekonomian tidaklah kecil.
Kinerja konsumsi masyarakat bisa tergerus turun hingga 3,32 persen bila PPN naik ke kisaran tersebut. Harga barang yang akan semakin mahal terbebani PPN, akan mendorong masyarakat mengurangi belanja atau beralih ke merek berkualitas lebih rendah dan lebih murah.
Permintaan yang melemah akhirnya menggerus inflasi (sebagai salah satu indikator permintaan) sebesar 0,84 persen dan menyeret pertumbuhan ekonomi (PDB) turun sebesar 0,11 persen. Tidak hanya itu, upah masyarakat juga ikut tergerus karena harus menutup lonjakan kenaikan harga barang dan jasa, di mana penurunan upah bisa mencapai 5,86 persen.
The Indonesian | Bloomberg Technoz