theIndonesian – Pembubaran BP Migas pada 13 November 2012 adalah sebuah master of mistery. Sengkarut dunia minyak dan gas bumi (migas) hingga saat ini seakan-akan mengkonfirmasi adagium— peribahasa atau pepatah—plesetan fun for all, all for fun.
Itulah sejarah kelam yang harus diterima bangsa ini. Kita harus menerima semua ini sebagai bagian dari sejarah panjang perjalanan dunia migas Indonesia, tanpa harus mengkambinghitamkan siapa pun.
Bermula saat pemerintah pemerintah menerbitkan UU No 8 pada 1971, yang menempatkan PT Pertamina (Persero) sebagai perusahaan migas milik negara. Berdasarkan UU ini, semua perusahaan minyak yang hendak menjalankan usaha di Indonesia wajib bekerja sama dengan Pertamina.
Lahirnya regulasi tersebut membuat Pertamina memainkan peran ganda, yakni sebagai regulator bagi mitra yang menjalin kerja sama melalui mekanisme Kontrak Kerja Sama (KKS) di wilayah kerja (WK) Pertamina. Di satu sisi, Pertamina juga bertindak sebagai operator karena juga menggarap sendiri sebagian wilayah kerjanya.
Puluhan tahun berperan ganda, pemerintah lantas menerbitkan UU Migas No No 22/2001. Konsekuensinya, Pertamina melepaskan peran gandanya. Peran regulator diserahkan ke lembaga pemerintah sedangkan Pertamina hanya memegang satu peran sebagai operator murni.
Kemudian, melalui UU No 22/2001 dan PP No 42/2002 tentang Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), dibentuklah badan ini. BP Migas resmi berdiri pada 16 Juli 2002 dengan Rachmat Sudibyo sebagai kepala BP Migas pertama.
Persoalan pengawasan dan pembinaan kegiatan Kontrak Kerja Sama yang (K3S) yang sebelumnya dikerjakan oleh Pertamina selanjutnya ditangani langsung oleh BP MIgas sebagai wakil pemerintah.
BP Migas memiliki wewenang untuk membina kerja sama dalam rangka terwujudnya integrasi dan sinkronisasi kegiatan operasional K3S, merumuskan kebijakan atas anggaran dan program kerja K3S, mengawasi kegiatan utama operasional kontraktor K3S, membina seluruh aset K3S yang menjadi milik negara, serta melakukan koordinasi dengan pihak dan/atau instansi terkait yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan usaha hulu migas.
Munculnya BP Migas menimbulkan polemik, karena ada yang beranggapan mengkebiri peran Pertamina. Isu terus bergulir. Puncaknya, ketika pada 13 November 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas yang diatur dalam UU No 22/2001 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat. BP Migas akhirnya wafat.
Putusan MK berawal dari pengajuan judicial review oleh 30 tokoh dan 12 organisasi kemasyarakatan (ormas), di antaranya kala itu adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Lajnah Siyasiyah Hizbut Tahrir Indonesia, PP Persatuan Umat Islam, PP Syarikat Islam Indonesia, dan PP Lajnah Tanfidziyah Syarikat Islam.
Kemudian, PP Al-Irsyad Al-Islamiyah, PP Persaudaraan Muslim Indonesia, Pimpinan Besar Pemuda Muslimin Indonesia, Al Jamiyatul Washliyah, Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK), dan IKADI.
Menurut para tokoh dan ormas tersebut, mereka menilai UU Migas membuka liberalisasi pengelolan migas karena sangat dipengaruhi pihak asing. Para tokoh itu dibantu oleh kuasa hukum Syaiful Bakhri, Umar Husin, dengan saksi ahli Rizal Ramli, Kurtubi dan lain-lain.
MK memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas dalam UU No 22/2001 yaitu frasa “dengan Badan Pelaksana” dalam pasal 11 ayat (1), frasa “melalui Badan Pelaksana” dalam pasal 20 ayat (3), frasa “berdasarkan pertimbangan dari Badan Pelaksana dan” dalam pasal 21 ayat (1), frasa “Badan Pelaksana dan” dalam pasal 49 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat.
MK juga menyatakan pasal 1 angka 23, pasal 4 ayat (3), pasal 41 ayat (2), pasal 44, pasal 45, pasal 48 ayat (1), pasal 59 huruf a, pasal 61, dan pasal 63 UU Migas bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Bubarnya BP Migas sempat membuat kevakuman hukum di sektor migas Tanah Air. Akhirnya pemerintah memutuskan mengeluarkan Perpres No. 95/2012 untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SK Migas), sebagai langkah pascaputusan MK tersebut.
Badan ini kemudian menjadi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) melalui Perpres No. 9/2013 dan mantan Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini ditunjuk sebagai kepala SKK Migas yang pertama.
***
Bicara mengenai industri migas di negeri ini, pertama muncul di benak kita adalah bagaimana penting dan strategisnya sektor ini bagi masyarakat Indonesia. Satu contoh nyata mengenai pentingnya industri ini terlihat setiap kali ada rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), industri migas hampir pasti akan menjadi sorotan utama semua pihak, lengkap dengan berbagai opini atas industri ini.
Buku Migas The Untold Story karangan AM Putut Prabantoro mengungkapkan, sebagai negara net importir minyak, baik minyak mentah maupun BBM, kenaikan harga minyak tentunya akan berdampak langsung dan tidak langsung kepada komponen fiskal dan ekonomi masyarakat.
Buku itu juga mengungkapkan, migas akan selalu menjadi obyek politik lokal, nasional, atau pun global, dan Indonesia harus mewaspadai segala bentuk penguasaan migas Indonesia oleh segelintir orang atau demi kepentingan sekelompok orang.
Migas, tulis buku tersebut, harus menjadi alat strategis pemersatu bangsa, di mana kemakmuran melalui migas harus tercapai sesuai dengan amanat UUD 1945. Sudan dan Nigeria bisa dijadikan contoh. Kedua negara tersebut terpecah belah karena perang saudara akibat perebutan migas, yang kala itu menjadi kekayaan sumber daya alam nomor satu di kedua negara itu.
Sebagai akibat dari perang saudara karena migas itu, masyarakat dunia menyebut situasi di kedua negara tersebut saat itu sebagai kutukan minyak (the oil curse) yang kemudian menjadi tanah kutukan (the cursed land).
***
Pada 1979, dunia terhenyak dan mulai bertanya-tanya tentang esensi incorporated ketika E Vogel pertama kali melontarkan istrilah Japan Incorporated yang termuat dalam bukunya Japan As Number One.
Melalui karakter sebagai hard nation, Jepang memungkinkan melawan kontrol Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II. Bersatu padunya seluruh kekuatan Jepang menjadi satu kekuatan tak tertandingi. Persaingan yang terjadi antara Mitsui, Sumitomo, dan Mitsubishi yang terjadi di Jepang, sebagai misal, harus ditiadakan karena menghadapi bangsa lain.
Pertarungan domestik untuk menjadi nomor satu (ichiban) di antara perusahaan-perusahaan raksasa Jepang, langsung menjadi ichiban internasional, ketika masuk dalam pertarungan global.
Menjadi pertanyaan adalah, apakah Indonesia mampu menjadi pemenang dalam pertarungan global dengan kekayaan sumber daya migas yang ada?
Memang harus ada syarat untuk menuju ke Indonesian Corporated, termasuk di antaranya adalah pemerintah Indonesia harus membangun terwujudnya National Trust Building (NTB) dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, bernegara dan kesetaraan, serta tanpa diskriminasi dalam membangun Indonesia.
Pemerintah atas nama negara sebagai pemilik usaha (business owner), pemilik lahan (land owner), pemilik aturan (rule governor), dan pemberi jaminan keamanan (security guarantor) harus mampu menunjuk satu bidang lokomotif yang akan membawa ratusan gerbong industri yang ada di Indonesia dengan satu tujuan, yakni ‘Stasiun Kemakmuran Indonesia’.
Dalam konteks ini, migas sangat relevan untuk menjadi lokomotif kemakmuran karena sebagai industri strategis dan obyek vital negara hadir di dalam kegiatan hulunya. Namun migas tidak berdiri sendiri, dan harus menggandeng perbankan nasional sebagai ‘bahan bakarnya.
Secara alami, migas dan perbankan nasional akan masuk dalam interaksi keuangan global. Indonesian Incorporated hanya bisa diwujudkan melalui semangat gotong royong, saling mendukung serta menolong—dan ini harus menjadi pemahaman bersama sesama anak bangsa.
***
Berdasarkan data yang dikutip TheIndonesian.id dari situs resmi SKK Migas, saat ini Indonesia masih memiliki potensi migas yang masih menjanjikan. Berdasarkan data tersebut, dari dari 128 cekungan yang ada, cekungan yang sudah berproduksi baru 20 cekungan.
Data lain menunjukkan, sebanyak delapan cekungan sudah di bor namun belum berproduksi, 19 cekungan mengindikasikan ada cadangan hidrokarbon, 13 cekungan sudah di bor dan tidak ada temuan hidrokarbon, serta 68 cekungan belum di bor.
Secara keseluruhan, cadangan migas berdasarkan data hingga 31 Desember 2021, mencapai 2,38 miliar barel minyak dan 42,93 triliun kaki kubik (tcf) gas, dengan luas wilayah kerja hulu migas di Indonesia mencapai lebih dari 460 ribu km2.
Saat ini, fasilitas hulu migas meliputi 630 platform di onshore maupun offshore, tiga LNG plant, 12 LPG Plant dan 19 FPSO/FSO/FPU dengan dukungan lebih dari 20.300 km jaringan pipa.
Hingga saat ini sudah beroperasi sekitar 1.000 lapangan migas dan sekitar 30 ribu sumur minyak. Jumlah wilayah kerja yang berkontrak mencapai 174, dengan 98 wilayah kerja sudah berproduksi dan 76 masih dalam tahap eksplorasi
Publik mahfum, kebutuhan energi migas nasional terus meningkat setiap tahunnya. Saat ini untuk minyak, Indonesia masih melakukan impor guna memenuhi kebutuhan energi minyak di dalam negeri yang terus meningkat.
Sedangkan untuk gas, produksi melebihi konsumsi dalam negeri, dengan komitmen dan kebijakan pemerintah adalah memprioritaskan pemenuhan gas untuk domestik, selebihnya baru dilakukan ekspor.
Menurut Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang berlaku saat ini, kebutuhan minyak pada 2050 akan mencapai sekitar 3,97 juta minyak per hari atau meningkat sekitar 250% dibandingkan konsumsi saat ini.
Maka dengan rata-rata produksi minyak berada di bawah volume kebutuhannya, menyebabkan impor minyak terus meningkat dan menjadi beban bagi negara. Sementara produksi gas yang melebihi konsumsi di dalam negeri lalu kemudian di ekspor dalam bentuk LNG, memberikan penerimaan langsung kepada negara, sehingga berdampak positif bagi upaya mendukung pembangunan nasional.
Berdasarkan slogan (tagline) ‘Long-Term Plan (LTP) Target 2030’, yaitu produksi minyak satu juta barel per hari (barrel oil per day/bopd) dan produksi gas 12 miliar kaki kubik per hari (billion standard cubic feet per day/bscfd) adalah dalam rangka meningkatkan ketahanan energi dan mengurangi current account deficit (CAD).
Guna mencapai tujuan tersebut, maka dibutuhkan peningkatan investasi. SKK Migas untuk mewujudkan target LTP 2030 telah menyusun rencana strategis Indonesia Oil & Gas (IOG) 4.0, dengan cita-cita dapat mencapai level terbaik dalam produksi migas, peningkatan kapabilitas nasional dan lingkungan berkelanjutan.
Arah kebijakan dan strategi yang telah ditetapkan pemerintah dengan memberikan dukungan bagi upaya peningkatan produksi minyak dan gas bumi. Target peningkatan produksi migas pada 2030, yaitu produksi minyak satu juta barel per hari dan gas 12 miliar kaki kubik per hari telah menjadi lampiran pidato Presiden Republik Indonesia dalam rangka HUT ke-76 Republik Indonesia.
Ada lima strategi utama yang telah ditetapkan. Pertama, optimalisasi produksi lapangan eksisting. Kedua, transformasi sumber daya contigent ke produksi. Ketiga, mempercepat chemical enhanced recovery (EOR). Keempat, menggalakkan kegiatan eksplorasi migas. Kelima, mempercepat peningkatan regulasi melalui one door service policy (ODSP) dan insentif hulu migas.
Pemerintah juga telah memberikan dukungan perbaikan fiscal terms, berupa perbaikan fasilitas perpajakan, penetapan harga domestic market obligation (DMO) hingga 100% untuk kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dengan skema production sharing contract (PSC) cost recovery, serta pembahasan atau keringanan Branch Profit Tax (BPT) seperti pembebasan pajak apabila reinvestasi profit (dividen) ke Indonesia dan/atau, dan penerapan tarif pajak sesuai tax treaty.
Sejatinya, kejayaan industri migas Tanah Air bukan hanya soal pencapaian puncak produksi migas tertinggi, melainkan juga peningkatan atas manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Apakah pemerintah bisa memakmurkan rakyatnya melalui industri migas nasional? Pertanyataan tersebut masih belum terjawab.
(TheIndonesia)