theIndonesian – Menentang feodalisme, Haji Oemar Said Tjokroaminoto punya andil menempa para tokoh pergerakan nasional. Dialah guru politik serta induk semang Presiden Sukarno serta tokoh pergerakan lain seperti Semaoen, Musso, Alimin, dan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.
Tangan dingin Tjokro mengubah Sarekat Islam dari organisasi saudagar batik pribumi menjadi gerakan politik yang kuat dan besar. Pidato dan tulisannya menginspirasi puluhan ribu orang dan menumbuhkan semangat kebangsaan. Rakyat jelata menganggapnya ‘Ratu Adil’, sementara pemerintah Belanda menjulukinya ‘Raja Tanpa Mahkota’.
Buku Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa terbitan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) bekerja sama dengan majalah Tempo menulis, di usianya yang tak panjang, Tjokro meletakkan fondasi awal bangunan republik. “Meninggalkan kemapanan keluarga bangsawan, ia meretas jalan kesetaraan. Dialah ‘bapak’ para tokoh pergerakan,” tulis buku tersebut.
Pada diri Tjokro kita bisa menemukan pemberontakan sekaligus kelenturan. Ia menanggalkan atribut feodalisme, menyimpan gelar raden, memprotes laku dodok—jalan jongkok di depan bangsawan—juga menuntut kesetaraan bangsa Hindia. Ia kemudian menyerukan pengikutnya mengenakan ‘pakaian Eropa’ sebagai lambang ‘pribumi sama-sama seperti orang Belanda’.
Tapi, tidak seperti tokoh pergerakan lain yang radikal, pria kelahiran Ponorogo, 16 Agustus 1882, ini bergerak di ‘bawah perlindungan’ pemerintah Belanda untuk menggerakkan perjuangannya. Tjokro memilih bersikap kooperatif guna membesarkan Sarekat Islam, organisasi yang didirikan Samanhoedi, saudagar batik dari Laweyan, Solo, pada 1912.
Bersama Douwes Adolf Rinkes, penasihat gubernur jenderal Belanda untuk urusan pribumi, ia membangun cabang-cabang Sarekat. Empat tahun setelah didirikan, perserikatan ini memiliki lebih dari 180 cabang dengan 700 ribu anggota, dua puluh kali lipat jumlah awalnya. Tjokro menghabiskan hampir separuh waktunya untuk merawat organisasi ini—walau tidak selalu mulus pada perkembangannya.
Tjokro bagaikan ‘dewa penolong’ pada tahun-tahun permulaan Sarekat Islam yang sulit. Ia bergabung dengan organisasi itu pada Mei 1912 atas ajakan Haji Samanhoedi. Sang pendiri memang mencari-cari orang yang berpendidikan baik serta berpengalaman untuk memperkuat organisasinya.
Salah satu trilogi darinya yang termasyhur adalah ‘Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat’. Ini menggambarkan suasana perjuangan Indonesia pada masanya yang memerlukan tiga kemampuan pada seorang pejuang kemerdekaan. Dari berbagai muridnya, yang paling ia sukai adalah Sukarno hingga ia menikahkan Sukarno dengan anaknya yakni Siti Oetari, istri pertama Sukarno.
Pesannya kepada para murid-muridnya ialah ‘jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator’. Perkataan ini membius murid-muridnya hingga membuat Sukarno setiap malam berteriak belajar pidato hingga membuat kawannya yaitu Moeso, Alimin, Kartosoewirjo, Darsono, dan yang lainnya terbangung dan tertawa menyaksikannya.
***
Provokasi Semaoen mengubah strategi Tjokroaminoto menjadi militant anti-Belanda. Ia pun menggalang Tentara Kandjeng Nabi Muhammad. Sembilan hari para peserta kongres sibuk berdebat mengaduk-aduk hadis dan kitab-kitab rujukan. Di Jakarta, Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) kala itu memang sedang berkongres yang ke-19 pada 3-12 Maret 1933.
Debat ini menindaklanjuti seruan Tjokro, Presiden Dewan PSII, yang dilontarkan dua bulan sebelum kongres. Bertajuk ‘Seruan kepada Ulama-ulama’, ajakan ini lantas dijadikan pembuka jalan untuk menguatkan fondasi gerakan. Intinya, para ulama diminta memperhatikan instruksi sang penanda tangan seruan itu, yang tidak lain Tjokro sendiri.
Buku H.O.S Tjokroaminoto: Hidup dan Perdjuangannja (Djilid II), Amelz, sang penulis, melampirkan naskah asli. Tampak jelas bahwa Tjokro ingin membumikan perjuangan bersandar pada Islam sebagai basis ideologi.
Tjokro sangat dipercaya sebagai ‘Ratu Adil’ kaum tertindas. Tapi ia juga bertangan besi menyingkirkan lawan politiknya. Di rumahnya, yang berada di Gang Peneleh VII, Surabaya, sejumlah pemuda seperti Musso, Aliminm Semaoen, dan Kartosoewirjo ditempa. Akhirnya mereka bersimpang jalang dengan sang mentor.
***
Sukarno hanyalah remaja yang gemetar saat berangkat ke Surabaya meninggalkan kotanya, orang tuanya, kakaknya, dan teman-temannya. Ketika kakinya hendak menapak ke dalam gerbong kereta api uap di Stasiun Mojokerto, air matanya meleleh.
Sukarno, yang kala itu baru berumur 15 tahun, dikirim ayahnya Soekemi Sosrodihardjo, bersekolah di Hogere Burger School. Soekemi menitipkannya kepada Tjokoroaminoto. Orang inilah, seperti ditulis Sukarno dalam otobiografinya, yang kemudian mengubah seluruh hidupnya.
Rumah Tjokro tidak seberapa luas. Tjokro tinggal bersama istrinya, Soeharsikin, dan lima anaknya, yaitu Oetari, Oetarjo Anwar, Harsono, Islamiyah, dan Sujud Ahmad. Mereka sekeluarga tinggal di bagian depan, sementara bagian belakang rumah disekat menjadi 10 kamar kecil-kecil.
Di ruangan sempit inilah Sukarno, Alimin, Musso, Soeherman Kartowisastro, Semaoen, dan lainnya indekos. Alimin dan Musso yang dating lebih dulu mendapat kamar di bagian lebih depan.
Sukarno tinggal di bilik yang tersisa, paling belakang. Tanpa jendela. Tak ada kasur, juga bantal. “Begitu gelapnya hingga pada siang hari pun aku harus menyalakan lampu,” ujar Sukarno.
Di rumah yang pengap dan kampung yang padat inilah, Sukarno, Musso, Alimin, dan anak-anak muda yang indekos itu menemukan dunianya. Mereka tidak kesulitan mencari rupa-rupa bacaan dari ‘ujung kiri’ hingga ‘ujung kanan’ di Surabaya—sebagai kota besar.
Rumah sang ketua umum Sarekat Islam, organisasi terbesar di Nusantara kala itu, tak pernah sepi dari tamu tokoh pergerakan dan agama. Uniknya, Tjokro jarang makan di luar rumah meski semua jenis makanan dia suka. Tak sembarangan menerima tamu.
Jarang orang tahu bahwa Tjokro pernah hendak dibunuh mertuanya. Ia rela menanggalkan pekerjaan dan gelar ningratnya. Bentrok tak terhindarkan antara Tjokro dan mertuanya, Wakil Bupati Ponorogo Raden Mas Mangoensoemo.
Dengan hati gundah, Tjokro meninggalkan rumah sang mertua menuju Semarang. Padahal istrinya, Soeharsikin, Tengah mengandung anak pertama. Peristiwa menyedihkan itu terjadi pada tengah tahun 1905.
Tjokro mengambil keputusan tegas tersebut karena ia tidak setuju dengan sikap-sikap yang dianut mertuanya. Menurut pakar Sejarah Anhar Gonggong, Tjokro yang mendapat Pendidikan modern itu menganggap Raden Mangoensoemo terlalu menghamba kepada penjajah.
Haryono Sigit, cucu Tjokro, kepada Tempo, pernah berkomentar, perselisihan keduanya pecah dipicu keputusan Tjokro berhenti sebagai birokrat; juru tulis Patih Ngawi. Tindakan Tjokro itu membuat berang Mangoensoemo.
Padahal, Tjokro digadang-gadang meraih tempat terhormat dalam kariernya di pangreh praja. “Eyang Tjokro hendak dibunuh sama mertuanya,” kata Haryono, mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh November itu, dikutip dari buku Tjokroaminoto Guru Para Pendiri Bangsa.
Sakit ginjal dan maag kronis akhirnya merenggut hidup Tjokro pada 17 Desember 1934, di usianya yang ke 52 tahun. Tjokro mengembuskan napas terakhirnya di pangkuan Resoramli, yang menungguinya Bersama Jumarin—kader PSII yang asli Padang—dan Rostinah. Tjokro kemudian dimakamkan di pemakaman umum Kuncen, Kampung Pakuncen, Kecamatan Wirobrajan, Kota Yogyakarta.
Setelah Tjokrp meninggal, lahirlah warna-warni pergerakan Indonesia yang dibangun oleh murid-muridnya. Ideologi sosialis atau komunis diwakili oleh Semaoen, Musso, dan Alimin. Ideologi nasionalis diwakili Sukarno, dan Kartosoewirjo mewakili ideologi Islam. Namun, ketiga muridnya itu saling berselisih menurut paham masing-masing.
Sejarah akhirnya mencatat, kemenangan kaum nasionalis yang diwakili Sukarno, akhirnya mengantarkan Sukarno sebagai presiden Republik Indonesia pertama. Bayangkan jika yang menang adalah ideologi kaum sosialis atau komunis, tidak menutup kemungkinan Semaoen atau Musso yang akan menjadi presiden di republik ini.
Berbeda dengan Kartosoewirjo. Kekecewaannya terhadap pemerintah pusat yang diwakili Sukarno membulatkan tekadnya membentuk gerakan Darul Islam yang berakhir menjadi Negara Islam Indonesia (NII) dan diproklamirkan oleh Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949. Tercatat beberapa daerah menyatakan menjadi bagian dari NII terutama Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh.
Jadi, tidak salah jika kemudian Tjokroaminoto dijuluki sebagai guru para pendiri bangsa. Sebab, sejumlah muridnya adalah ‘presiden’ bagi bangsa dan ideologinya masing-masing.
(TheIndonesian)