theIndonesian – Indonesia di era 1972-1979 pernah mencapai kejayaan sebagai produsen minyak mentah. Berdasarkan berbagai catatan, saat itu republik ini mampu memproduksi minyak mentah sebanyak 1,4 juta barel per hari (bph). Namun, kini jumlah produksi itu terus menurun dan berada dikisaran di bawah satu juta bph.
Ironinya, di tengah terus menurunnya produksi migas nasional, Indonesia harus menanggung subsidi energi yang jumlahnya sangat fantastis, meskipun nilainya mengalami penurunan disbanding tahun sebelumnya. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi anggaran untuk subsidi energi pada 2023 mencapai Rp164,3 triliun, turun sebesar 4,4% secara tahunan.
Subsidi BBM dan elpiji tabung 3 kg terealisasi sebesar Rp95,6 triliun atau turun 17,3%, sementara anggaran subsidi listrik terealisasi sebesar Rp68,7 triliun atau tumbuh 22,2%. “Kalau subsidi energy growth-nya negatif 4,4 karena harga minyak turun,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Konferensi Pers APBN Kita, Rabu (3/1/2024).
Penurunan subsidi energi, terutama BBM dan elpiji, ini disebabkan oleh sejumlah kebijakan. Untuk elpiji, transformasi distribusi yang lebih tepat sasaran per 1 Maret 2023 memberikan kontribusi besar. Kemudian, registrasi konsumen melalui MyPertamina dan pembatasan pembelian BBM bersubsidi juga memberikan dampak.
Subsidi BBM yang disalurkan pada tahun lalu mencapai 16,5 juta kilo liter, sementara elpiji 3 Kg mencapai 7,7 juta metrik ton. Kemudian, listrik disalurkan untuk 40 juta rumah tangga. Indonesia bisa dikatakan merupakan salah satu negara yang ‘beruntung’ karena diberi berkah berupa sumber daya hidrokarbon yang sangat besar. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, Indonesia masih menyimpan cadangan terbukti minyak dan gas bumi (migas) yang besar.
Cadangan terbukti atau proven researve migas Indonesia mencapai 10% dari potensi sumber daya yang ada. Mengacu data Kementerian ESDM per Januari 2023, proven reserves minyak bumi di Indonesia mencapai 2,41 BBO (billion barrel oil), sedangkan proven reserves gas bumi berada pada angka 35,3 TCF (trillion cubic feet).
Proven reserves Indonesia hanya 10% dari potensi sumber daya, atau dapat diartikan potensi sumber daya Indonesia adalah 10 kali lipat dari proven reserve tersebut. Guna menjadikan potensi sumber daya tersebut menjadi proven reserve memang diperlukan kajian lebih dalam, penambahan data yang kemudian dianalisis dan evaluasi untuk dilakukan pengeboran di beberapa cekungan-cekungan yang memiliki potensi minyak besar.
Seperti Sumatera Selatan, Jawa Timur, Sumatera bagian tengah (sekitar Blok Rokan), sedangkan untuk gas bumi berada di Bintuni, Kutai, dan Sumatera bagian Utara. Adanya cadangan terbukti sebesar yang disebutkan, pemerintah masih terbuka lebar untuk membuka peluang investasi di sektor migas. Pemerintah juga memberikan regulasi yang atraktif, seperti dengan memberikan share split tidak lagi di angka 85-15, melainkan mulai dari 80-20, di mana bagian pemerintah sebesar 80%, dan KKKS 20%.
Seiring dengan meningkatnya risiko yang ditentukan oleh pakar geologis dan geofisik, bagian pemerintah akan berkurang di mana untuk gas bumi bisa menjadi 50-50, dan minyak bumi 55-45, atau bagian pemerintah 55% dan sisanya bagian KKKS.
Kekayaan migas di Indonesia hingga kini terus menjadi incaran korporasi-korporasi besar dunia. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan energi yang sangat besar. Lalu, bagaimana cara kita meningkatkan produksi migas nasional?
Selama ini, peningkatan kegiatan eksplorasi migas di Tanah Air masih bergantung dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Iklim politik yang tak menentu pun juga mempengaruhi eksplorasi migas.
Belum lagi ditambah persoalan teknologi metoda eksplorasi yang selalu berkembang. Hal tersebut hingga kini masih menjadi pertimbangan yang panjang dalam pemanfaatan sumber daya migas di Indonesia secara ekspansif.
***
Sementara itu, pemerintah c.q Kementerian ESDM memproyeksikan lifting migas tahun 2024 mencapai 2.057.000 barel setara minyak per hari. Rinciannya, lifting minyak 743.000 barel per hari dan gas bumi 1.314.000 barel setara minyak per hari.
Kementerian ESDM pun memproyeksikan selama lima tahun mendatang, lifting migas menunjukkan peningkatan yaitu 1.953.000 barel setara minyak per hari pada 2020, terdiri atas lifting minyak 755.000 barel per hari dan gas 1.198.000 barel setara minyak per hari.
Sekedar informasi, pada 2021, diproyeksikan lifting migas 1.984.000 barel setara minyak per hari yang terdiri dari lifting minyak 716.000 barel per hari dan gas 1.268.000 barel setara minyak per hari. Sedangkan untuk 2022, lifting migas diproyeksikan sebesar 2.015.000 barel setara minyak per hari yaitu lifting minyak 727.000 barel per hari dan gas 1.288.000 barel setara minyak per hari.
Pada 2023, lifting migas sebesar 2.036.000 barel setara minyak per hari yaitu minyak 743.000 barel per hari dan gas 1.293.000 barel setara minyak per hari. Terakhir, pada 2024 diproyeksikan lifting migas 2.057.000 barel setara minyak per hari, di mana lifting minyak 743.000 barel per hari dan gas 1.314.000 barel setara minyak per hari.
Proyeksi lifting minyak tersebut, berasal dari pengembangan sumur-sumur migas yang ada sekarang ini. Pemerintah juga melakukan berbagai usaha seperti peningkatan produksi dari sumur-sumur tua melalui penggunaan teknologi seperti Enhanced Oil Recovery (EOR) bio chemical surfaktan untuk menggenjot produksi migas.
***
Pascareformasi, sektor hulu migas di Indonesia mengalami perubahan seiring terbitnya Undang-Undang No 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Selain terbentuknya Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas)–kini bernama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), peran PT Pertamina pun ‘dikebiri’ dan disetarakan dengan kontraktor kontrak kerja sama migas lainnya. Tidak ada perlakuan khusus (special treatment) kepada perusahaan migas pelat merah tersebut.
Kendati kontroversial, kehadiran UU Migas dan BP Migas adalah momentum bagi Indonesia untuk lebih banyak menarik investasi. Untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif, Kementerian ESDM juga terus memperbaiki aspek regulasi dalam upaya menciptakan kepastian berusaha, pemberian insentif bagi daerah-daerah frontier, cadangan marginal, dan kegiatan peningkatan perolehan minyak (EOR).
Sumberdaya dan cadangan terbukti migas Indonesia sebetulnya sangat menjanjikan. Namun, belakangan, produksi migas Indonesia terus turun akibat lesunya eksplorasi. Ini juga disebabkan tingginya country risk Indonesia. Pemerintah, harus terus melakukan konsultasi dan kordinasi sehingga semua pihak bersama-sama mendapat manfaat yang optimal dalam pengembangan industri migas.
Secara substansi, sebenarnya pengelolaan di sektor hulu migas adalah bagaimana pemerintah dapat mengelola migas secara akuntabel berazaskan ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum, serta berwawasan lingkungan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU Migas.
***
Lepas dari kemelut di sisi hulu, sejumlah persoalan di sisi hilir juga menghadang di depan mata. Di sini, pemerintah kembali dinilai tidak memiliki komitmen dalam meletakkan kebijakan energi secara utuh. Kebijakan yang dikeluarkan sejumlah lembaga dan institusi pemerintah justru saling berkompetisi.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa subsidi selain menyebabkan penggunaan BBM tidak efisien, juga menimbulkan disparitas harga yang diduga kuat memicu terjadinya penyelewengan BBM. Sektor hilir sebenarnya lebih kepada masalah distribusi dan pemasaran migas. Infrastruktur industri hilir migas yang dibangun di Indonesia didominasi oleh Pertamina, nyaris dengan pola monopoli.
Sekedar contoh, untuk pengadaan BBM, Pertamina menguasai seluruh ranting kegiatan: pengilangan (refinery), transmisi (pipa, tanker), dan penyimpanan (depot, tangki penyimpanan), dibantu Hiswana Migas (Himpunan Swasta Nasional Minyak dan Gas) khususnya untuk distribusi.
Semangat liberalisasi hilir UU Migas No 22/2001 adalah menjadikan industri hilir migas Indonesia lebih terbuka bagi persaingan. Struktur industri yang semula terintegrasi vertikal (vertically integrated) dan didominasi oleh Pertamina kemudian “dipecah-pecah” (unbundled) ke dalam beberapa segmen. Usaha pengilangan, penyimpanan, ekspor-impor, dan transportasi BBM dibuka untuk perusahaan swasta, termasuk asing.
Sistem baru pengadaan BBM nasional pun diperkenalkan, melibatkan perusahaan lama dan baru, di bawah koordinasi Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Indonesia, dengan konsumsi BBM puluhan juta barel per tahun merupakan pasar besar yang telah lama dilirik investor.
Permintaan BBM yang besar dan tumbuh cepat, serta dorongan liberalisasi hilir oleh UU Migas No 22/2001 membuat bisnis penyediaan BBM di Tanah Air menjanjikan masa depan cerah. Namun, sejumlah kendala membatasi. Kendala berikutnya adalah infrastruktur BBM (pengilangan, transmisi, penyimpanan, dan distribusi) yang kondisinya masih minim atau langka dibanding dengan potensi permintaan BBM di Tanah Air.
Pembangunan infrastruktur BBM selain membutuhkan biaya mahal, waktunya panjang, juga butuh kejelasan master plan pembangunan infrastruktur yang mesti disiapkan oleh pemerintah. Pertanyaannya, seberapa jauh hal ini telah diantisipasi?
(TheIndonesian)