theIndionesian – Marjinalisasi kaum miskin di negara-negara dunia ketiga berawal dari ketidakmampuan negara-negara tersebut untuk mengambil keuntungan dari enam efek yang terkandung dalam properti. Keenam efek properti tersebut adalah, mengolah potensi ekonomis aset, mengintegrasikan informasi yang tersebar ke dalam satu sistem, dan membuat orang bertanggung jawab (accountable). Lalu, membuat aset agar dapat dipertukarkan (fungible), menempatkan orang ke dalam jaringan, serta melindungi transaksi. Nukilan buku The Mystery of Capital, Hernando De Soto
Sukses! Mungkin itu kalimat yang tepat untuk menggambarkan properti (Republik) Singapura saat ini. Secara tidak langsung, negara yang terletak di penghujung Semenanjung Malaysia, berhampiran dengan Negeri Johor Darul Takzim (Malaysia) dan Kepulauan Riau (Indonesia) ini sukses menerapkan apa yang dikatakan oleh Hernando De Soto dalam bukunya tersebut.
Menurut Hernando, yang dimaksud yang dimaksud dengan efek pertama (mengolah potensi ekonomis aset) adalah, diperlukannya proses yang bisa mengalihkan cara menilai aset dari sudut pandang fisik semata-mata dengan lebih memusatkan perhatian pada potensi yang dimilikinya.
Nah, Singapura berhasil mengolah aset propertinya secara profesional yang kemudian dikembangkannya menjadi sebuah daya tarik (jual) yang tinggi. Singapura menjadikan aset propertinya sebagai ‘kunci’ untuk masuk ke dalam dunia pembangunan modern. Dalam mengembangkan aset properti, pemerintah Singapura dan pelaku bisnis properti (pengembang) saling bahu membahu untuk memberikan yang terbaik bagi negerinya tersebut.
Misalnya masalah free hold (kepemilikan untuk warga asing). Untuk menarik minat investor asing, pemerintah setempat menetapkan jangka waktu hingga 99 tahun izin kepemilikan properti. Selain itu, Singapura juga menetapkan suku bunga yang relatif rendah, kisaran 3-5%.
Padahal, yield (khusus untuk apartemen) rata-rata di Singapura hanya 3-4% per tahun dengan expected capital gain yang hanya berkisar 6-7%. (Di Jakarta, Indonesia, yield-nya berkisar 8-9% per tahun dengan dengan expected capital gain mencapai 12% per tahun. Jauh lebih tinggi disini bukan?). Namun, banyak kalangan investor berpandangan bahwa membeli properti di Singapura dianggap sebagai alternatif investasi yang cukup baik (aman) dibandingkan di Indonesia.
“2300 tahun yang lalu, Aristoteles menemukan fakta bahwa manusia dapat berbuat lebih banyak dengan barang-barang yang dimilikinya apabila ia lebih memperhatikan potensi barang tersebut. Dengan belajar mengolah potensi ekonomi aset melalui dokumentasi properti, properti formal menjadi jenjang menuju ranah konseptual. Di mana barang-barang diberi makna secara ekonomis dan kapital dilahirkan,” kata Hernando dalam bukunya tersebut.
Kedua, Singapura berhasil mengintegrasikan informasi properti yang dimilikinya tersebar ke dalam satu sistem. Maksudnya, adanya sistem yang terintegrasi, pemerintah Singapura bisa memperoleh gambaran mengenai kualitas aset yang tersedia tanpa perlu melihat aset itu sendiri secara langsung. Mereka tidak perlu lagi bepergian jauh keseluruh negeri hanya untuk menemui pemilik aset.
Sistem properti formal dapat memberi tahu mereka tentang apa saja aset yang tersedia dan kesempatan untuk menciptakan nilai tambah. Oleh sebab itu, potensi dari sebuah aset dapat dievaluasi dan dipertukarkan dengan lebih mudah, sehingga dapat meningkatkan produksi kapital negara tersebut.
Efek properti ketiga yang dikemukan oleh Hernando adalah membuat orang bertanggung jawab (accountable). Di Singapura, sistem properti berada di bawah satu hukum properti formal yang terintegrasi. Sistem tersebut menggeser legitimasi hak pemilik dari konteks politis masyarakat lokasi menuju konteks impersonal dalam hukum.
Integrasi tersebut membebaskan pemilik dari kesepakatan-kesepakatan lokal yang sangat membatasi gerak, dan membawanya menuju sistem hukum yang lebih terintegrasi, serta memudahkan pertanggungjawaban masing-masing personal.
Kemudahan Identifikasi
Beberapa waktu lalu, TheIndonesian.id menyempatkan diri untuk mengunjungi negara dengan jumlah penduduk mencapai 5,92 juta orang juta jiwa (September 2023) dan luas wilayah ‘hanya’ 728,6 km persegi tersebut.
Berdasarkan pengamatan, para pemilik properti di Singapura tidak perlu lagi mengandalkan hubungan dekat dengan orang-orang di sekitarnya atau membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu untuk melindungi hak atas aset mereka. Adanya kemudahan untuk mengidentifikasi dan menentukan lokasi aset, orang akan dapat bergerak secara mandiri tanpa perlu ‘menggantungkan nasibnya’ pada orang lain.
Keuntungan lainnya, setelah masuk ke dalam sistem properti formal, data pribadi si pemilik properti akan dengan mudah ikut terekspos. Singapura tampaknya juga telah menghilangkan kerahasiaan data pribadi seseorang, namun tanggungjawab atau akuntabilitas individu diperkuat.
Bagi mereka (pemilik aset properti) yang mengabaikan kewajibannya, seperti tidak membayar pajak atau tidak membayar barang atau jasa pelayanan yang telah mereka pakai, akan dengan mudah diidentifikasi.
Kemudian, pemerintah akan mengenakan hukuman, denda, embargo, bahkan hingga kesulitan untuk memperoleh pinjaman. Pemerintah Singapura juga dapat mempelajari pelanggaran hukum atau kontrak yang mungkin terjadi, dan mereka (pemerintah) bisa menunda pelayanan jasa atau pun mencabut properti legal seseorang.
Di Singapura, sistem Real Estate Investment Trusts (REITs) telah berjalan cukup lama, dan berhasil. REITs pada umumnya dikenal sebagai reksa dana (tertutup) yang dibentuk secara khusus untuk memiliki aset properti, mortgage atau keduanya (Chan, Erikson dan Wang 2003).
Melihat keberhasilan REITs di Singapura, penulis teringat efek properti keempat yang dikemukakan Hernando, yaitu membuat aset agar dapat dipertukarkan (fungible). Menurut Hernando, dengan memisahkan segi ekonomis aset dari keberadaan fisiknya, aset dapat dipertukarkan atau dapat dirancang untuk menyesuaikan diri dengan transaksi apa pun.
“Mendeskripsikan aset ke dalam kategori standar, sistem properti formal yang terintegrasi memungkinkan perbandingan atas dua gedung yang secara arsitektur berbeda tapi untuk tujuan yang sama. Melalui standarisasi, orang dapat menentukan langkah yang tepat untuk mengolah asetnya. Orang yang punya aset bangunan, misalnya, setelah tahu luas bangunan dan kondisi lingkungan sekitar, ia akan dapat memperkirakan apakah bangunan itu lebih menguntungkan jika dijadikan perkantoran, hotel, toko buku, tempat olahraga, atau sauna,” ujar pendiri dan presiden Institut Kebebasan dan Demokrasi (Institute of Liberty and Democracy/ILD) di Lima, Peru, ini.
Efek properti kelima yang dikemukan oleh Hernando adalah menempatkan orang ke dalam jaringan. Kontribusi terpenting dari sistem properti formal bukanlah perlindungan terhadap hak milik seseorang atas suatu barang, tapi juga meningkatkan status si pemilik sebagai pelaku ekonomi yang mempu mengolah aset dalam suatu jaringan yang lebih luas.
Dengan memahami dan merancangnya secara tepat, sebuah sistem properti akan membentuk suatu jaringan di mana orang-orang bisa mengolah aset mereka menjadi aset yang lebih berharga.
Bagi negara yang yang terbagi atas ras Cina (77%), Melayu (14%), suku India (8%), serta suku lainnya (1%) ini, sistem propertilah yang dapat mengeluarkan potensi abstrak dari sebuah bangunan dan kemudian melekatkannya ke dalam sebuah respresentasi. Sehingga, mereka (Singapura) dapat memanfaatkan bangunan tersebut lebih dari sekedar tempat berlindung. Singapura dalam properti legalnya dapat mengubah bangunan—yang memiliki banyak kegunaan publik—ke dalam bentuk yang bertanggung jawab (accountable dan responsible).
Efek properti terakhir atau keenam yang dimaksud Hernando adalah melindungi transaksi. Singapura dalam menerapkan sistem properti formal (yang dapat bekerja seperti jaringan) menjaga dan melacak semua catatan atas aset properti—seperti sertifikat, akta notaris, dan kontrak-kontrak yang menunjukan aspek-aspek ekonomis sebuah aset—secara terus menerus dan dilindungi (oleh hukum).
Petugas yang diberi wewenang untuk menjaga catatan publik akan mengurus arsip-arsip tersebut secara penuh tanggung jawab. Petugas yang bersangkutan juga harus memastikan agar informasi mengenai aset dapat disusun dalam format tepat, sehingga dapat terus menerus diperbarui dan diakses dengan mudah.
Keamanan transaksi properti di Singapura memungkinkan warga memobilisasi sejumlah besar aset mereka dengan aktivitas transaksi yang sangat sedikit. Kesimpulannya, sistem properti legal yang terintegrasi dengan baik di Singapura pada intinya ada dua hal.
Pertama, Singapura mengurangi biaya eksplorasi aset dengan merepresentasikan aset tersebut ke dalam bentuk yang bisa lebih mudah di akses. Kedua, Singapura memudahkan usaha pengolahan aset dalam rangka produksi dan pembagian kerja yang lebih jauh. Sekarang, bagaimana dengan Indonesia?
Harga Rumah Tidak Naik
Awal tahun ini, Menteri Pembangunan Nasional Singapura Desmond Lee memperkirakan harga rumah di Singapura tidak akan naik dalam waktu yang lama, di tengah tingginya suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan meningkatnya pasokan rumah yang telah selesai dibangun, dilansir dari Bloombergtechnoz.
Dikutip dari laporan Straits Times, Lee memproyeksi suku bunga akan tetap tinggi untuk waktu yang lebih lama. “Suku bunga yang kami lihat antara 3,7% dan 4,4%, jadi itu akan berdampak,” ujar Lee.
Jika pasar penjualan kembali tetap kuat, pemerintah Singapura harus mempertimbangkan untuk meningkatkan diskon yang diberikan kepada masyarakat agar harga rumah susun yang dibangun sesuai pesanan tetap terjangkau di area-area utama.
Pemerintah Singapura juga sedang mencari waktu yang tepat untuk mencabut peraturan yang mengharuskan pemilik rumah pribadi untuk menunggu 15 bulan sebelum mereka dapat membeli rumah susun yang dijual kembali oleh Housing & Development Board (HDB).
Penjelasan Lee, harga rumah pribadi di Singapura dapat bergerak sideways pada 2024 setelah naik 6,7% tahun lalu. Analis Bloomberg Intelligence Ken Foong mengungkapkan sebuah catatan baru-baru ini. “Harga dapat dibatasi oleh kenaikan bea materai pada April 2023, dan ketidakpastian ekonomi dan suku bunga, serta lebih banyak peluncuran,” kata dia.
Orchard Road
Bicara Singapura, kita akan tertuju pada Orchard Road yang merupakan salah satu ikon ‘negeri singa’ tersebut. Orchard Road merupakan nama jalan yang telah popular sejak 1840. Padahal, panjang jalan tersebut hanya sekitar 2,2 kilometer.
Sebenarnya, Orchard Road bisa dikatakan mirip Jalan Malioboro di Yogyakarta dan kawasan Braga di Bandung. Yang membedakannya adalah soal penataan dan kebersihannya. Orchard Road hanya merupakan jalanan dengan deretan shopping mall dan hotel. Soal harga jual produk yang ditawarkan, kedua kawasan di Indonesia tersebut jauh lebih murah.
Namun, Pemerintah Singapura mampu ‘menyulap’ Orchard Road menjadi salah satu kawasan belanja terkenal di dunia. Bisa dikatakan, setiap harinya beribu-ribu orang berbondong-bondong mengunjungi wilayah tersebut hanya untuk berbelanja. Bayangkan berapa devisa yang masuk ke kantong pemerintah setempat dari wilayah itu saja.
Sejarah Singapura
Awalnya, pada abad ke-14 Masehi, Singapura dikenal dengan nama Temasek yang merupakan bagian kesatuan dari Nusantara. Temasek adalah salah satu pelabuhan dan bandar di ujung Sumatera (Andalas) yang berada di bawah pemerintahan Kerajayaan Sri Vijayan (Sriwijaya). Temasek juga dikenal dengan sebutan ‘kota laut’.
Namun, kekuasaan Sriwijaya di Temasek tidak lama. ‘Hilangnya’ Temasek dari genggaman kekuasaan Sri Vijayan tidak lepas dari adanya kemunduran dalam kerajaan tersebut. Selepas hilangnya kekuasaan Sri Vijayan atas Temasek, Temasek menjadi rebutan antara Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Ayuthia (Siam). Namun, kubu pertahanan bandar tersebut berhasil menghalang serangan bala tentara Siam.
Nama Singapura diambil dari bahasa Melayu yang berarti ‘kota singa’. Sejarah menyebutkan, awal penggunaan nama Singapura bermula ketika adanya kunjungan dari Raja Sri Vijayan Sang Nila Utama. Sang raja melihat seekor hewan seperti singa (padahal yang ia lihat adalah macan), maka lahirlah nama Singapura.
Pada 1819 Inggris tiba di Singapura, dan Sir Thomas Stamford Raffles menetapkannya sebagai sebuah pusat perdagangan. Dalam kurun abad 19-20, Singapura merupakan jajahan Inggris dan menjadi salah satu anggota Negeri-Negeri Selat (Straits Settlements) bersama Pulau Pinang dan Melaka.
Kemudian, Singapura di jajah Jepang pada 1942-1945, yaitu bertepatan ketika Inggris kalah dalam Perang Dunia II. Singapura dikembalikan kepada kerajaan Inggris pada akhir Perang Dunia. Dan pada 1959, Singapura diberi hak untuk memerintah secara mandiri.
Pada September 1963, Singapura menjadi anggota persekutuan Malaysia. Tapi, dua tahun kemudian Singapura memisahkan diri. Pada 9 Agustus 1965, Singapura merdeka dan didirikan sebagai sebuah negara republik.
(TheIndonesian)