theIndonesian – Pada saat ini, kota-kota Indonesia belum bisa memberikan tanda-tanda positif mengenai kemunculan peradaban kota yang tangguh di masa datang. Suram atau cerahnya masa depan kota-kota besar di Indonesia tidak semata terkait dengan masalah ekonomi nasional. Nukilan buku (Menyiasati) Kota Tanpa Warga, karangan Jo Santoso.
Konsep megalopolitan atau megapolis sempat ‘menggema’ beberapa tahun lampau. Istilah megalopolitan pertama kali dipopularkan oleh ahli geografi Jean Gottman pada 1961. Jean Gottman di tahun tersebut menerbitkan hasil penelitiannya mengenai kelompok kota-kota besar di pantai timur Amerika Serikat yang diberi judul Megapolis.
Nama megapolis diambil dari rencana penggabungan ibukota Arcadian League di semenanjung selatan Yunani (wilayah Peloponnisos)—yang merupakan kota raksasa hasil pengelompokan kota-kota—pada abad 4 SM. Secara etimologi, megapolis merupakan gabungan dari suku kata ‘mega’ yang berarti satu juta atau dalam arti luas besar dan ‘polis’ berarti kota (Yunani).
Gagasan penggabungan wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jadebotabek) menjadi satu kesatuan megalopolitan muncul di era DKI Jakarta dipimpin oleh Gubernur Ali Sadikin pada 1970-an.
Konsep megalopolitan bukan dimaksudkan sebagai pemekaran wilayah Jakarta, tapi lebih kepada memikirkan secara bersama susunan perencanaan regional Jakarta dan wilayah penyangganya (kota satelit).
Jika ditelisik lebih jauh, konsep megalopolitan tidak mengubah batas administrasi suatu daerah/kota, tapi lebih kepada penetapan batas perencanaan semua wilayah terkait. Apa pun namanya, perencanaan kota maupun wilayah ujung-ujungnya adalah pengelolaan lingkungan. Ditinjau dari sudut pandang pengelolaan lingkungan, wacana megalopolitan perlu dicermati secara hati-hati.
Misalnya, diperlukan pendekatan holistik, agar daya dukung kota/daerah yang masuk ke dalam wilayah pengelolaannya dapat sustainable dan dapat memberikan kehidupan dan penghidupan yang aman dari berbagai bencana lingkungan.
Awalnya gagasan megalopolitan dimaksudkan untuk mengurangi tekanan jumlah penduduk terhadap Jakarta yang sudah padat. Namun, ternyata para perancang konsep megalopolitan Jadebotabek sejak semula tidak merancang kota-kota penyangga sebagai kota mandiri.
Jika konsep megalopolitan tetap dilanjutkan, kita pada akhirnya akan terjebak pada mata rantai birokrasi yang lebih panjang, dan menyebabkan berkurangnya kekuatan (power) daerah penyangga yang dilibatkan. Belum lagi dihadapkan pada persoalan siapa yang menjadi kepalanya dan sebagainya.
Andaikan tetap terjadi pemaksaan konsep megalopolitan yang belum tentu arah dan kebijakannya, bukan mustahil akan menyebabkan sebuah kota yang megablepotan.
Dua Sebab
Jo Santoso dalam bukunya (Menyiasati) Kota Tanpa Warga menyebutkan, ada dua sebab utama keterpurukan kota-kota di Indonesia. Pertama, terletak pada kebijakan dan strategi pengembangan perkotaan. Salah satu kebijakan yang berdampak buruk pada perkembangan kota-kota di Indonesia adalah, kebijakan yang melepas perkembangan kota pada mekanisme pasar, atau disebut juga dengan istilah neo liberalisme.
“Padahal di Indonesia mekanisme pasar an sich tidak berfungsi dengan baik karena adanya distorsi. Hal ini terkait erat dengan sistem dan praktik kehidupan politik yang didominasi oleh kepentingan kelompok dan perorangan, dan mengabaikan kepentingan seluruh penduduk kota,” kata Jo Santoso dalam bukunya tersebut.
Salah satu akibat dari semua itu adalah kota-kota di Indonesia tidak memiliki visi masa depan yang jelas, terutama dalam menghadapi globalilasi. Kedua adalah, terletak pada konsep dasar perencanaan pengembangan kota. Ketika sumber daya yang dimiliki pemerintah sangat terbatas, kota seharusnya mengembangkan pendekatan kemitraan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. “Kota-kota di Indonesia umumnya masih membuat perencanaan pembangunan kota dengan menggunakan paradigma lama,” ujar Jo Santoso.
Regional Planning
Urbanisasi dan industrialisasi merupakan dua kekuatan yang telah mentransformasikan banyak kota-kota negara maju di dunia. Kenyataan yang sama juga sedang berlangsung di Indonesia.
Namun, ketimpangan yang terjadi antara proses urbanisasi dan industrialisasi di negeri ini telah mengakibatkan kota-kota besar seperti Jakarta tumbuh dan berkembang secara kurang terorganisir dan tidak teratur. Sehingga, secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas hidup di banyak bagian kota lainnya.
Penataan kota Jabodetabek tidak pernah sinkron karena belum adanya makro regional planning yang bagus. Masing-masing wilayah menjalankan kebijakannya sendiri-sendiri tanpa mengindahkan kebutuhan dan kepentingan wilayah-wilayah tetangganya. Padahal idealnya, pertumbuhan kota-kota ini dikelola dalam satu sistem manajemen perkotaan.
Guna mendukung Jakarta menjadi kota megalopolitan, Jakarta saat ini belum mempunyai tools berupa planning yang terintegrasi dan juga institusi bersih yang menjalankan planning tersebut. Saat ini di Jakarta, yang perlu diperhatikan dalam planning sebuah kota adalah zoning regulation. Sayangnya Jakarta belum memilik zoning regulation tersebut.
Batas Pemisah
Di sisi lain, saat ini dilihat dari kondisi fisiknya, batas pemisah antara Jakarta dengan kota-kota penyangganya sudah sangat kabur/tidak jelas. Bukan hanya karena suatu kawasan permukiman di masing-masing wilayah cenderung terkait satu dengan yang lainnya (bahkan tumpang tindih), tetapi interaksi sosial dikalangan warga pun kian erat.
Sehingga, penduduk kota-kota tersebut bak menyatu dalam selera serta gaya hidup. Implikasi keterkaitan yang erat cenderung integratif, mendorong dinamika dan mobilitas penduduk di kawasan Jadebotabek menjadi semakin tinggi.
Dan, fenomena itulah yang kemudian menimbulkan persoalan bagi pemerintah daerah berupa tuntutan ketersediaan sarana transportasi yang memadai, kawasan permukiman yang seimbang, serta fasilitas umum dan sosial yang dapat memenuhi kebutuhan segenap lapisan masyarakat.
Bila berpijak pada kenyataan yang ada sekarang ini, maka bisa dikatakan cepat atau lambat, kota raksasa Megalopolitan Jadebotabek Raya akan terwujud. Banyak indikator yang menjelaskan kecenderungan tersebut.
Dalam konteks kota megalopolitan, penyusunan rencana pengembangannya haruslah berdasarkan kenyataan bahwa sebenarnya yang akan menjadi Megalopolitan Jadebotabek Raya adalah gugusan wilayah perkotaan yang terdiri atas Jakarta sebagai kota inti atau kota utama, dan sejumlah kota kecil seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cibinong, bahkan Cianjur sebagai kota satelit pada lingkarang orbit Jakarta.
Melihat semua permasalahan di atas, sudah seharusnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah memikirkan/membentuk Development Corporation. Development Corporation bisa berupa sebuah badan pengelola pembangunan kawasan yang independen dan beroritasi kepentingan publik yang mampu mengejawahtahkan visi dan misi pembentukan kota megalopolitan.
Jika tidak, maka konsep megalopolitan akan menjadi konsep yang megablepotan atau hanya sekedar konsep wacana semata.
Sistem Kluster
Masalah utama yang dihadapi Jakarta sebagai inti dari konsep megalopolitan adalah mismanaged urban planning. Mismanaged urban planning yang dihadapi antara lain, masalah transportasi, perumahan, sistem penanganan banjir (flood control), dan waste management.
Masalah tersebut dapat ditangani dengan menerapkan sistem kluster. Sistem kluster adalah suatu kesatuan geografis yang menyatukan semua lembaga (pemerintah, perusahaan, pengembang, industri, dan penunjang lainnya) yang terkait karena prinsip commonalities dan complementarities.
Ada beberapa alasan yang mendasari pembentukan sistem kluster. Antara lain, tingkat produktifitas, standar hidup, persaingan sehat dan saling melengkapi, efisiensi, serta high value. Konsep megalopolitan, dapat berdampak positif namun juga negatif.
Berdampak positif jika ternyata konsep tersebut mampu menjalankan kolaborasi antar seluruh institusi terkait (pemerintah pusat/daerah, perusahaan, institusi keuangan, dan lainnya)—dalam mekanisme Institutions for Collaborations (IFCs)—serta memberi yang terbaik, paling efisien, dan inovatif bagi warga masyarakatnya.
Namun, berdampak negatif jika ternyata konsep tersebut ternyata hanya saling menjegal, birokratik, tidak ada kolaborasi, tidak ada perekat (IFCs), tidak mampu mengutilisasi sense of bigness (economies of scale) dan sense of smallness (speed, humble).
Dukungan Politik
Konsep megalopolitan harus didukung secara politik, tidak hanya melalui konsep ekonomi. Hal ini karena menyangkut keberadaan kota induk. Apabila Jakarta ingin dijadikan sebagai kota induk berarti harus ada dukungan politik untuk melaksanakannya. Namun yang saat ini berkembang Megapolitan seperti apa, pemerintah belum memberikan gambaran yang jelas.
Padahal, keberadaan konsep megalopolitan ini sudah sangat mendesak tercermin dari kepadatan lalulintas yang berasal dari daerah-daerah penyangga DKI Jakarta, tanpa adanya koordinasi maka persoalan ini tidak akan terpecahkan..
Jakarta seperti halnya kota-kota besar lainnya di luar negeri juga dihantui oleh sampah, banjir, dan kemacetan lalulintas yang sebenarnya terkait dengan penataan permukiman. Strategi pembangunan kota Jakarta harus mampu mencapai tiga sasaran, yakni kota yang semakin manusiawi serta lingkungan yang semakin baik.
Dalam rangka mencapai tujuan strategis skala kota tersebut maka pembangunan perkotaan harus dimulai dari permukiman karena menyangkut daya saing Jakarta dibanding kota-kota lainnya
Istilah daerah penyangga atau daerah penunjang yang sering diistilahkan terhadap kota-kota di sekitar Jakarta harus segera dihapus, dan diganti menjadi daerah mitra. Jika tidak, maka kesan egois akan tampak di ‘wajah’ Kota Jakarta.
Hirarki efek komunikasi Jakarta Megalopolitan ini harus dianalisis kembali secara sungguh-sungguh, dengan mengedepankan hopes dan convenience bagi semua wilayah. Hal tersebut harus dilakukan agar semua daerah mempunyai rasa saling memiliki. Semoga.
(TheIndonesian)