theIndonesian – Siapa di republik ini tidak mengenal kawasan bisnis Sudirman Central Business Distric (SCBD)? Mungkin hanya segelintir orang yang tinggal di pelosok desa atau perkampungan yang tidak mengenal wilayah ini.
Kawasan SCBD adalah salah satu magnet terbesar di Indonesia, khususnya Jakarta. Di sini berbagai aktivitas perekonomian dan perdagangan digerakkan. Karena itu, kawasan ini menjadi sangat strategis dari berbagai aspek.
Dari sisi bisnis properti, misalnya, SCBD adalah kawasan yang cocok untuk pembangunan perkantoran, apartemen, dan pusat perbelanjaan. Lokasi yang strategis membuat aksesnya juga mudah. Karena itu, bertempat tinggal di kawasan SCBD menjadi dambaan banyak orang Jakarta, khususnya para taipan dan konglomerat.
Awalnya, SCBD dikembangkan oleh PT Jakarta International Hotel & Development Tbk (JIHD) pada 1991. Di lahan seluas kurang lebih 45 hektare itu, perusahaan yang kabarnya sebagian besar sahamnya dimiliki oleh pengusaha Tommy Winata dan Sugianto Kusuma alias Aguan (Agung Sedayu Group) mengucurkan dana kurang lebih Rp 7,5 triliun. Sebuah angka yang cukup fantastis pada saat itu.
Kawasan itu kini berdiri bangunan-bangunan megah. Sebut saja Pasific Place, Automall, Apartemen Kusuma Chandra, Gedung Artha Graha, Bursa Efek Jakarta I dan II, Electronic City, Alila SCBD, PCPD Tower, Sequis Tower, Capital Residence, dan bangunan megah lainnya serta yang terbaru adalah The Langham
Pada 2006, hanya ada dua proyek properti yang sedang memasuki pembangunan tahap konstruksi di kawasan elit itu, yakni Pasific Place yang merupakan bagian dari The Ritz Carlton yang dimiliki oleh oleh Tan Kian (Mutiara Group) dan The Capital Residence milik Mahaka Group dan Tan Kian.
Alasan utama orang berkantor atau mempunyai tempat tinggal di kawasan SCBD adalah prestis. Di luar itu, faktor lokasi yang sangat strategis —terletak sebagai titik temu antara sepanjang jalan mulai dari Grogol, Jakarta Barat, hingga ke arah Jalan MT Haryono, Cawang, Jakarta Timur. Kemudian, dari arah Blok M, Jakarta Selatan menuju Bunderan Hotel Indonesia, hingga ke arah Kota.
Kelebihan utama lainnya yang ada di SCBD adalah fasilitas fiber optik. Jaringan fiber optik yang ada di SCBD merupakan yang teratas di kelasnya, dan tiada tandingannya.
Tan Kian
Dulu, untuk menggarap Pasific Place, dikabarkan konon Tan Kian menggandeng Artha Graha Group dengan menggunakan kontraktor asal Jepang. Nama Tan Kian terkatrol berkat kemasyhuran Hotel JW Marriott.
Sebelumnya, hotel itu masih satu kompleks dengan Apartemen Syailendra dan Plaza Mutiara. Tan Kian menerima uluran tangan John Willard Marriott Junior —atau Bill Marriott Junior— untuk mengelola hotel tersebut. Operator hotel terkemuka di Amerika Serikat yang dengan jaringan hotel berlabel “JW Marriott” di seluruh dunia. JW Marriott pun menjadi hotel bintang lima paling bergengsi di kawasan Jakarta Selatan. Khususnya bagi warga asing dan para pejabat tinggi asing yang singgah di Indonesia.
Mahaka mengembangkan The Capital melalui anak perusahaanya, PT Graha Putranusa, sedangkan Danayaksa adalah perusahaan pengembang yang berada di bawah bendera group Artha Graha.
Mahaka kala itu menunjuk PT Adhi Karya Tbk sebagai kontraktor utama. Adhi Karya dipercayakan bersama-sama dengan Prosys Enggineers selaku manajemen konstruksi, Belt Collins Pte, sebagai landscape, dan Hirsch/Bedner& Associates Pte Ltd sebagai desain interior.
Tan Kian terkenal sebagai konglomerat yang punya aset properti mewah nan mentereng di kawasan bisnis terpadu Central Business District (CBD) Mega Kuningan, dan Sudirman?
Tan Kian juga pendiri sekaligus pemilik imperium bisnis Dua Mutiara Group. Konsultan properti Leads Property Indonesia mengelompokkan Dua Mutiara Group ini sebagai pengembang eksklusif atau boutique developer.
Kenapa eksklusif? Tan Kian hanya membangun properti-properti premium dengan jumlah terbatas. Mereka juga bukan pengembang yang berbasis supply driven, melainkan pencipta tren dan pengendali pasar. Triliunan rupiah mereka gelontorkan.
Di satu sisi, nama Tan Kian sempat tersangkut dalam perkara dugaan korupsi ‘bancakan’ dana investasi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesian (Asabri).
Tomy Winata
Bicara kawasan SCBD, orang pasti langsung mengaitkannya dengan Artha Graha, atau sosok Tomy Winata di balik Artha Graha. Banyak orang kenal nama, tapi tak kenal siapa sebenarnya sosok taipan ini? Benarkah taipan ‘digdaya’ ini sukses berkaitan dukungan bisnis ‘negatifnya’? Benarkah ia merupakan salah satu ‘Mr Big’ dari “Gang of Nine?”?
Tak mudah menjawab pertanyaan ini. Pastinya, sebagai pengusaha, Tommy termasuk punya kisah sukses. Pria kelahiran Pontianak ini termasuk ulet dan tekun, merangkak dari bawah. Ketekunannya memang membuahkan hasil. Lewat Artha Graha, yang mungkin bisa diartikan ‘Rumah Uang’, Tommy terbilang ‘jagoan’. Dalam kurun 10 tahun, Tommy bisa mengembangkan imperium bisnisnya.
Pilar bisnisnya adalah properti dan keuangan. Di bawah payung PT Danayasa Arthatama, imperium bisnisnya menjadi jaring bisnis yang terdiri atas belasan perusahaan.
Soal kedekatan Tommy dengan kalangan militer, bukan rahasia lagi. Laporan yang disusun Data Consult mengindikasikan bahwa ekspansi bisnis grup ini memperoleh dukungan dana besar dari yayasan milik tentara, khususnya Yayasan Kartika Eka Paksi (YKEP).
Sejak mengenal YKEP, lewat Danayasa Arthatama yang didirikannya pada 1989, masa keemasan Tommy pun tiba. Proyek raksasa kawasan SCBD yang dilahirkan Tommy menjadi kawasan paling canggih, dan diduga telah meraup untung miliaran juta dolar.
Tommy pun merambah ke bisnis perdagangan, konstruksi, properti, perhotelan, perbankan, transportasi, telekomunikasi, real estate, hingga ke pemakaman umum. Bos Artha Graha ini punya tiga kunci sukses; uang, kekuasaan dan militer. Perpaduan yang menghasilkan power apa saja dan menghasilkan apa saja.
Dari kantornya yang megah di kawasan bisnis ini, TW —demikian panggilan akrabnya, konon dengan mudah dia bisa menghubungi hampir semua panglima Kodam (Komando Daerah Militer) di seluruh Indonesia —antara lain karena aktivitasnya di Yayasan Kartika Eka Paksi milik TNI Angkatan Darat.
Kedekatan Tommy dengan militer sudah terjadi sejak 1972, saat ia berusia 15 tahun. Mulanya, ia diperkenalkan oleh seorang seniornya kepada sebuah instansi militer di Singkawang, Kalimantan Barat. Di sana, Tommy membangun sebuah mess tentara dengan biaya Rp 60 juta.
Hubungan itu kemudian dibina. Selain mess, ia membangun barak, sekolah tentara, menyalurkan barang-barang ke markas tentara di Irian Jaya. Hingga akhirnya di era tahun 1970-an, ia menjadi seorang kontraktor yang andal dan membangun proyek militer di Irian Jaya, Ujung Pandang sampai Ambon.
Kesuksesan Tommy tak lepas dari nama besar Jenderal Tiopan Bernard (TB) Silalahi, mantan Sekjen Departemen Pertambangan dan Energi serta Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam Kabinet Pembangunan VI Soeharto.
Terkait Silalahi —yang hingga kini menjadi tokoh kunci dalam Artha Graha Group— Tommy memulai bisnis dengan memperoleh order pembangunan barak-barak asrama militer di Irian Jaya, ketika dia berusia 15 tahun. Di Irian, dia juga berkenalan dengan Yorrys Raweyai, salah satu tokoh Pemuda Pancasila— sebuah organisasi yang dikenal memiliki hubungan khusus dengan militer.
Kisah kesuksesan dan keberhasilan Tommy menuai kontroversi. Sejumlah mitra dan pesaing bisnisnya, menuding Tommy memanfaatkan militer untuk memudahkannya berbisnis. Seperti dituding Effendi Ongko dari Bank Umum Majapahit Jaya atau kisah Hartono, muncikari kelas nasional dalam proyek Planet Bali adalah kisah bagaimana cara Tommy mematahkan lawan bisnisnya.
Kini, terlepas dari semua kontroversi yang ada, bisa dikatakan Tommy berhasil membangun sebuah sentra bisnis utama bagi bangsa ini. Adanya gedung Bursa Efek Indonesia yang berlokasi di SCBD, menunjukan salah satu keberhasilan seorang TW. Selamat Bung!
Sugianto Kusuma alias Aguan
Sosok Sugianto Kusuma alias Aguan kembali mencuri perhatian public ketika menjadi salah satu taipan yang mengadakan pertemuan dengan calon presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto dan Menteri BUMN Erick Thohir.
Aguan lahir di Palembang, Sumatera Selatan, pada 9 Januari 1951. Di sana, Aguan menjalani pendidikan di sekolah menengah Tionghoa bernama Jugang Zhongxue, sebuah institusi pendidikan Tionghoa terkemuka di Indonesia yang didirikan pada 1951. Nasib Aguan mulai berubah perlahan ketika mulai menjalin hubungan dengan pemborong bangunan.
Aguan mulai merintis Agung Sedayu Group pada 1971. Dilansir dari laman resmi perusahaan, Agung Sedayu Group adalah perusahaan pengembang properti terkemuka yang bergerak di bidang pengembangan properti dan berpusat di Jakarta. Dalam dekade pertama Agung Sedayu Group (ASG) beroperasi, perusahaan ini mulai mendapatkan perhatian melalui perbincangan dari mulut ke mulut.
Aguan perlahan mampu mengembangkan bisnisnya melalui Agung Sedayu Group (ASG) dengan sukses membangun Harco Mangga Dua yang merupakan mal elektronik terintegrasi pertama di Indonesia.
Bisnisnya terus berkembang dengna tersebar di beberapa daerah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.Aguan juga diketahui memiliki posisi sebagai wakil komisaris utama di PT Bank Artha Graha sejak tahun 1990 hingga 1999. Pada 2004, ia bergabung dengan PT Bank Inter-Pacific Tbk. Agung Sedayu Group (ASG) juga terlibat dalam proses pengembangan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, bersama perusahaan Salim Group milik Anthony Salim.
Tidak hanya berbisnis, nama Aguan juga identik dengan Yayasan Buddha Tzu Chi bersama dengan bos Grup Sinar Mas, Franky Oesman Widjaja. Yayasan Buddha Tzu Chi merupakan sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial kemanusiaan.
Selain tampil bersama Prabowo, nama Aguan kembali mencuat karena menjadi bagian dari 10 pengusaha yang akan berinvestasi di Ibu Kota Nusantara (IKN), proyek prestisius yang digagas Presiden Joko Widodo. (theIndonesian)