theIndonesian – Seorang jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar mengajukan uji materiil aturan mengenai syarat pengangkatan Jaksa Agung sebagaimana diatur dalam UU Kejaksaan.
Norma yang mengatur hal tersebut, yakni Pasal 20 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 (UU Kejaksaan) ke Mahkamah Konstitusi (UU MK).
Sidang perdana Perkara Nomor 6/PUU-XXII/2024 ini digelar pada Kamis (1/2) di Ruang Sidang Panel MK. Jovi mengatakan, pasal 20 UU Kejaksaan menyatakan, “Untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat sebagai berikut: a. Warga Negara Indonesia; b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. Berijazah paling rendah Sarjana Hukum; e. Sehat jasmani dan rohani; dan f. Berintegritas, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.”
Jovi di hadapan Panel Hakim yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra menjelaskan bahwa ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Menurut dia, keterlibatan aktif penegak hukum dalam pragmatisme politik dengan sedang atau merangkap menjadi anggota politik dinilai akan merusak independensi kejaksaan secara inkonstitusional, utamanya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Alasannya, imbuh dia, Jaksa Agung yang memiliki keterlibatan dengan partai politik sangat memungkinkan adanya kontrak politik atau mendapatkan tekanan dari kolega politiknya.
“Terlebih lagi, saat ini belum ada mekanisme checks and balances berupa fit and proper test pada proses pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung. Sehingga, Jaksa Agung dapat saja diberhentikan dari jabatannya apabila dianggap membangkang dari kolega politiknya,” ungkap dia.
Jovi dalam petitumnya meminta agar Mahkamah menambahkan syarat “g”, yakni tidak sedang terdaftar sebagai anggota partai politik atau setidak-tidaknya telah lima tahun keluar dari keanggotaan partai politik, baik diberhentikan maupun mengundurkan diri di dalam Pasal 20 UU Kejaksaan.
Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam nasihat Panel Hakim memberikan catatan terhadap persoalan dalil yang dimintakan Pemohon agar MK menjadi positive legislator, karena hal tersebut hanya terjadi pada perkara-perkara khusus.
Keterangan Arief, pada permohonan ini, apakah benar ada aturan tentang Jaksa Agung yang masih terindikasi parpol terpilih menjadi Jaksa Agung. Arief pun meminta Mahkamah terlepas dari positive legislator dan tetap sebagai negative legislator.
“Mungkin petitumnya bisa ditambahkan dimaknai, iini bisa menjadi alternatif sehingga MK tidak keluar menjadi positive legislator. Jadi nanti bisa dibuatkan dari alternatif demikian,” jelas Arief.
Sementara Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dalam nasihatnya memberikan catatan tentang perlu bagi Pemohon untuk melakukan penyesuaian sistematika permohonan dengan PMK 2/2021, sehingga permohonan menjadi lebih jelas. Dia menambahkan, Pemohon perlu mempertegas kedudukan hukum selaku Jaksa yang ditugaskan di Kejari.
“Coba buatkan kualifikasi sebagai Jaksa yang dirugikan hak-haknya dari perkara ini apa saja. Jadi tidak usah semua dimasukkan dengan kualifikasi lainnya. Buatkan sesuai dengan lima parameter keterlanggaran hak-hak konstitusionalnya agar lebih sistematis,” terang Ridwan.
Wakil Ketua MK Saldi meminta agar Pemohon fokus pada dalil yang diminta pada MK atas hal yang ingin dimaknai serta konstruksi yang dikecualikan oleh pihaknya. Kemudian, Pemohon diminta perlu mencermati redaksional dari pasal yang akan dimaknai tersebut.
Sebelum mengakhiri persidangan, Saldi menyebutkan bahwa Pemohon diberikan waktu selama 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Sehingga selambat-lambatnya diserahkan ke Kepaniteraan MK pada Kamis, 15 Februari 2024. (tim)